14. Malam Suram

1028 Words
Tidak ada. Hanya ada pakaian tergantung rapih. "Kok ini pakaiannya Cowok semua? Hayoloh, lo terciduk." Kiara memijit pelan keningnya. Dia malu dengan sikap Rifka yang keponya tingkat dewa. "Itu…" Alista terhenti. Tidak ada jalan lain. Dia harus menyebut seseorang yang bahkan sampai sekarang memberi trauma tersendiri. "...punya Papa." "Ooh. Kok bajunya keliatan persis sama baju--" "Rifka. Bisa berhenti nggak? Apa tujuan lo ke sini buat kepoin kamar ini? Gitu?" Karisa memperingatkan. Intonasinya naik satu oktaf. "Iya, Rif. Perbuatan lo termasuk tindakan nggak sopan." tambah Kiara. "Ya udah, sih, santai aja." Rifka menutup kembali lemari tersebut. Ketiganya kompak melangkah keluar. Di bawah kolong sana, Arsen menghela nafas lega. Suasana di sekitarnya pengap membuat dia gerah. Arsen keluar dari kolong tersebut dan melepaskan pakaian serta kerudung Bi Hanifah. "Huh! Akhirnya." **** "Bye, kalian!" satu tangan Alista melambai. Ia sedikit kesusahan karena membawa beberapa belanjaan. Dia terperangah ketika Karisa membalikkan badan dan menghadap dirinya. "Beneran lo pulang sendirian?" "Ya ampun, Kar. Iya. Lo udah keberapa kali sih tanya kayak gini ke gue?" "Gue khawatir lo kenapa-kenapa." "Nggak usah khawatir gitu. Lo lupa, ya, gue jago bela diri? Udah sana. Nanti ketinggalan bus." Alista gemas dengan Karisa. Padahal sudah beberapa kali sahabatnya itu menanyakan hal yang sama. "Hati-hati, ya." Langsung dibalas anggukan cepat oleh Alista. Mereka bertiga kini sudah menaiki bus. Alista memandang sedih. Ia berbalik badan, lalu lanjut berjalan kembali. Cahaya begitu remang-remang. Maklum, pencahayaan nya hanya menggunakan lampu bohlam. Itupun diletakkan di pos ronda. Banyak yang bilang, gang ini rawan kejahatan apalagi kalau malam. Alista tentu tahu hal itu. Tadinya dia akan menggunakan ojek online, sayangnya ponsel itu tertinggal di rumah. Suara tawa laki-laki mendadak terdengar. "Mampus lo." "Bilang ke Damian, apa dia masih berani lawan kita-kita." "Lo lupa, Bos? Dia kan bisu." "Tapi nggak menutup kemungkinan dia buka mulut soal kejadian ini. Apa kita bunuh aja Cewek ini?" "ENGGAK! JANGAN BUNUH AKU! KALIAN JAHAT!" "Aduh, bisa turunin volume suara lo?" "Tuh, lo liat, kan, Bos? Dia bisa aja buka suara." "Sebaiknya kita bunuh aja." "Diam." Cowok itu mengadahkan tangan. Dia mencondobgkan badan, mencengkram kuat dagu Cewek itu. "satu kata pun lo buka suara soal kejadian ini, gue nggak akan segan-segan bikin lo trauma lagi." Alista bersembunyi di balik pohon besar yang entah sudah berusia berapa tahun. Ia membekap mulutnya sendiri usai mendapati Sasya sedang bersama dengan tiga Cowok. Sepertinya… Alista tidak asing dengan wajah para Cowok itu. Dia mengingat-ingat. Kedua matanya seketika terbelalak. Mereka adalah Cowok yang ia labrak di halaman belakang sekolah. Alista sungguh miris melihat keadaan Sasya seperti itu. Ia bersiap untuk keluar dari tempat persembunyiannya, namun tunggu. Di saku mereka terlihat gagang pisau. Nyali Alista mendadak lenyap entah ke mana. "Cabut." Tubuh Alista melipir ke belakang pohon saat Mereka mulai pergi dengan motor masing-masing. Netra hitamnya kini terarah pada Sasya. Setelah menengok ke sana kemari, memastikan Mereka pergi jauh, Alista bergegas mendatangi Sasya. "Sa! Lo kenapa?!" panik Alista. Ia kaget dengan keadaan Sasya yang seperti ini dan terdapat bagian yang robek. Alista berjongkok, kemudian melepaskan jaket miliknya untuk dipakaikan ke Sasya. "Astaga. Lo…" Alista tidak bisa melanjutkan kata-kata nya. Kedua bola matanya terasa perih. "... kenapa bisa gini?" suaranya nyaris hilang. Tangis Sasya pecah saat itu juga. Alista mengelus-elus punggung Gadis tersebut. Tidak tahu kenapa, dia ikut terenyuh padahal baru satu bulan ini dia mengenal Sasya. "A--aku udah hancur, Mi…" "Aku nggak pantas hidup…" "Aku benci Mereka…" "I--ibu pasti marah liat aku. Aku harus mati sekarang, Mi! Bunuh aku!" Sasya mulai kehilangan kendali. Dia meraih serpihan kayu di dekatnya. Nekat, dia mengarahkan benda berbahaya itu ke lehernya. "Sa!" Alista mengambil alih serpihan itu. Dia lempar jauh-jauh. "lo jangan bertindak bodoh, Sa! Jangan berniat buat bunuh diri. Ada gue. Gue siap nemenin lo. Semuanya pasti bakal baik-baik aja. Kedepannya… bakal berjalan seperti biasa. Nggak ada yang berubah." "Aku udah kotor, Ra! Hidup aku, masa depan aku, mimpi aku, semuanya hancur gara-gara Mereka! Aku benci diri aku sendiri! Aku bodoh!" Sasya berdiri, dia mengusap kasar air matanya. "minggir. Jangan halangi aku." "Lo mau apa? Bunuh diri? Hanya karena ini aja, lo nyerah? Lo nggak berniat kasih hukuman ke orang yang udah ngelakuin ini ke lo? Berarti lo kalah. Mereka menang. Setelah lo bunuh diri, Mereka senang, Sa. Mereka bakal besar kepala dan semakin berani ngelakuin hal yang sama ke Cewek lain. Apa lo mau orang lain merasakan penderitaan yang sama? nggak mau, kan?" Alista meraih lengan Sasya, "ayo. Kalau lo Cewek kuat, ikut gue ke kantor polisi buat lapor perbuatan Mereka." Sasya justru melepas paksa genggaman itu. "Nggak." "Lo--" "Aku nggak bisa nanggung malu, Al! Aku nggak mau bikin ayah sama ibu khawatir." "Apa? Lo mau diam aja? Gitu? Sa, Mereka--" "Kasih aku waktu, Al. Please." lagi-lagi Sasya memotong ucapan Alista. Dia berjalan tertatih-tatih pergi dari tempat itu untuk menuju halte bus. Alista tidak bisa membiarkan. Kakinya itu berlari dan berhenti tepat di hadapan Sasya. "Lo nggak bisa pulang sendirian. Mereka bisa aja balik lagi. Lebih baik kamu nginap di rumah gue." **** QueenBoba Jangan pulang malam ini, ya! Ada temen gue yang nginap. Arsen mengerut heran. Tumben sekali Arsen menyuruhnya untuk tidak pulang. Biasanya Cewek itu koar-koar jika jam segini belum balik. "Queen Boba? Siapa tuh?" Altair tak sengaja melihat isi pesan Arsen langsung menilik penasaran m Buru-buru Arsen memasukkan ponselnya di saku. "Kepo." "Nggak asik lo ah. Bilang aja dia pacar lo. Coba liat fotonya. Siapa tau gue jatuh cinta." dengan entengnya Altair berkata demikian. "Dia seleranya tinggi, Bro." "Setinggi apa? Gue mau memantaskan diri." "Sembarangan lo. Gue dengar lo udah punya pacar." "Ye, itu mah bisa diputusin. Gampang." Arsen jadi siaga tiga. Fix. Dia harus menjauhkan Cowok macam Altair ini dari Alista. Bisa-bisa Adiknya itu menangis setiap hari. "Jangan kemakan rayuannya dia. Altair manis diawal, tapi lama-lama dia bosen." timbrung Damian, meletakkan sekotak martabak. "Dateng-dateng bisikin hal sesat aja lo." maki Altair. "lagian gue masih normal. Buat apa gue ngerayu si Arsen? Idih." "Berisik. Ngeledek gue, lo nggak bakal gue kasih contekan PR fisika besok." ancam Damian. "Baperan amat sih lo. Orang gue bercanda juga." "Weh, gue boleh nginep di sini?" tanya Arsen. Damian, sang pemilik rumah pun menjawab. "Lo nggak dicariin nyokap?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD