Bagian 1

2067 Words
Dunia ini tidak adil! Di saat orang lain mendapatkan kebahagiaannya justru di sini aku meratapi nasibku yang amat menyedihkan. -Sidney Fanella Prakasa-                                                                                           --∞-- Sidney Pov "Sayang, kau menginginkan konsep pernikahan seperti apa? Internasional wedding? Disney land? Garden Party? Atau--" "Terserah! Atur saja sesukamu," tangan kananku mengibas malas dan lekas beranjak meninggalkan pria cerewet yang tak ada hentinya mengoceh meski raut bosan tergambar jelas di wajahku. Ayolah! Pernikahan itu bukan keinginanku. Jadi kenapa aku harus repot memilih ini dan itu? Bukankah kedua pihak orangtua yang merencanakannya? Maka, urus saja semuanya sampai tuntas! "Sayang! Kamu mau ke mana?" seru pria itu, dia lantas menyusulku. Tepat di ambang pintu, aku pun berhenti dan berbalik. Dia sedikit terkejut dengan gerakan mendadakku. Tapi dengan sigap dia bisa mengerem langkah kakinya agar tidak menabrakku. "Aku ingin pergi, dan aku sudah muak dengan konsep-konsep pernikahan yang terus kau bahas..." ujarku ketus tanpa sedikit pun menunjukkan rasa tertarik padanya. Pria di hadapanku menghela nafas berat. Dia mengusap wajahnya kasar. Aku akui dia memang tampan dan sangat memesona, tapi jika tidak ada rasa di hatiku apa aku harus berpura-pura menyukainya? Jangan mimpi! Aku ini perempuan yang anti pura-pura. Seburuk apapun keadaanku, aku tidak akan pernah sedikit pun menutupinya. Dan aku paling tidak suka berbohong apalagi dibohongi! Kedua tangannya yang besar merengkuh bahuku dengan lembut. Manik abunya menatap langsung ke mataku. Dengan datar kubalas juga tatapannya itu. "Sid, aku mohon. Setidaknya untuk konsep pernikahan kita, aku ingin meminta pendapatmu. Orangtua kita pun menyerahkan hal itu pada kita sebagai calon pengantin. Jadi--" "Aku tidak peduli! Bukankah aku sudah bilang kalau sejak awal pun aku tidak pernah menerima perjodohan ini. Tapi apa? Kalian semua memaksa dan menyudutkanku sampai aku TERPAKSA menerimanya. Dan sekarang, kau sangat merepotkanku! Jika kau masih menginginkan pernikahan ini terjadi, maka atur saja sendiri! Aku hanya ingin tinggal menerima beresnya saja. Mengerti?" paparku panjang lebar, lantas mengempaskan dua tangan besarnya dari bahuku dan segera pergi meninggalkannya. "Ah, Sid ... lalu kau mau ke mana?" Aku terus melangkah. Mengabaikan semua teriakannya. Maaf jika aku menyebalkan, tapi semenjak perjodohan itu aku terima dengan terpaksa, aku bertekad untuk berlaku sesukaku tanpa bisa dicegah oleh siapa pun. Jangan sebut namaku Sidney jika aku hanya pasrah menerima kenyataan! ---- Namaku Sidney. Lengkapnya, Sidney Fanella Prakasa. Anak tunggal dari pengusaha besar yang memiliki beberapa anak cabang perusahaan di kota-kota besar di setiap Provinsi. Hingga detik ini, aku bersyukur karena aku bisa terlahir dari rahim seorang wanita cantik seperti mommy. Selain wajahnya yang begitu awet muda hingga sekarang, mommy pun sangat lembut dan penuh kasih sayang. Beliau tidak pernah membiarkanku haus kasih sayang, sejak aku mengenal dunia hingga sebesar sekarang mommy adalah orang yang paling berjasa di dalam hidupku. Bahkan mungkin aku sendiri tidak tahu harus dengan cara apa aku membalas semua jasa-jasanya. Selain mommy, aku pun dibesarkan oleh pria tampan yang sampai saat ini masih sibuk mengelola perusahaan besarnya. Dia adalah daddy, pria gagah dan bijaksana yang selalu menjadi panutan jika aku menghadapi kebuntuan saat mencari jalan. Meskipun tak jarang aku berselisih paham akibat berbeda pendapat dalam hal apapun, tapi aku sangat menyayanginya. Beliau pun adalah orang berjasa kedua setelah mommy yang melahirkanku. Mulanya, aku pikir mereka adalah orangtua yang akan membiarkanku hidup dengan pilihan sendiri. Karena dimulai dari aku beranjak SMA hingga lulus kuliah kemarin, aku tidak dituntut untuk melakukan apapun. Justru mereka dengan mudahnya memberikanku fasilitas yang sangat memanjakanku. Aku senang? Jangan ditanya! Aku sangat senang sekali. Bahkan aku merasa dianugerahi nikmat yang tidak dapat kudustakan. Tapi kesenangan itu tidak berlangsung lama. Ternyata, sampai pada saat daddy mengatakan kabar yang membuat jantungku nyaris terlepas dari tempatnya. Dari segi itulah aku baru bisa menilai, bahwa apa saja yang sudah diberikan padaku selama 22 tahun kehidupanku ini ternyata tidaklah gratis. Ya! Semua itu mutlak harus aku bayar. Mungkin bukan bayaran berupa materi, tapi mereka menuntutku untuk menikah dengan jodoh yang dipilihkannya dari jauh-jauh hari. Apa aku boleh berontak? Hal itu sudah sempat aku lakukan, tapi apalah dayaku sebagai anak perempuan yang sudah terbiasa dimanjakan dengan kemewahan yang mereka berikan. Pemberontakanku berujung sia-sia, karena hanya dengan satu ancaman saja yang dilayangkan semuanya terasa tak berarti apa-apa lagi. Termasuk dengan pemberontakan yang aku lakukan tempo hari. --- "Menikah?" Bahkan aku baru berada di Indonesia lagi sekitar 2 minggu lamanya. Tapi, kabar yang kudapat malah membuatku ingin kembali kabur ke Amerika. Jika itu bisa, mungkin aku tak akan menyia-nyiakannya... "Iya, Sayang. Kami sudah memilihkan pria yang akan membahagiakanmu sampai akhir hayat. Dan pria itu sudah setuju dengan perjodohan ini..." ujar mommy tersenyum senang. Berbanding terbalik dengan aku yang meluruhkan kembali badanku ke atas sofa. Raut wajahku mungkin hanya datar, tapi dalam hatiku? Jantungku terasa ada yang menyopot paksa dari tempatnya. Mendengar kabar ini, membuat aku seolah akan kehilangan segalanya. Kebebasan, keinginan, kebahagiaan, terutama kekasih tercinta yang sudah menjalin hubungan denganku selama hampir 3 tahun lamanya. "Sayang, kamu kenapa?" tegur mommy, aku tidak tau kapan mommy menghampiriku. Tangannya membelai rambutku lembut. Aku menoleh perlahan, menatap raut mommy yang kebingungan akan reaksiku. "Ada apa?" tanya mommy lagi. Mataku berkedip sekali. Setelah itu, kutatap mata mommy lamat-lamat, berniat mencari kebohongan yang mungkin saja sedang mommy sembunyikan untuk mencandaiku. Aku harap mommy sedang melontarkan lelucon yang sama sekali tidak lucu ini. Tapi setelah kuselidiki, tidak ada kebohongan sedikit pun yang kutemui. Maka itu artinya... "Mommy menjodohkan aku?" lirihku nyaris menyerupai bisikkan. Mommy tersenyum hangat diiringi anggukan lembutnya. Perlahan, tangan halusnya meraih kepalaku, lalu aku pun dipeluknya. Punggungku dibelai mommy penuh kasih sayang. "Mommy harap kamu gak nolak ya, Sayang ... Percayalah, pria pilihan mommy dan daddy tidak akan pernah salah untukmu. Dia berasal dari keluarga baik-baik seperti kita. Dia anak dari sahabat sekaligus relasi bisnis daddy kamu, dan dia sangat senang mendapat kabar akan dinikahkan dengan kamu..." urai mommy di balik punggungku. Aku hanya membisu. Satu kenyataan itu akan menghancurkan seluruh impianku. Termasuk impian yang kubangun bersama Bayu, kekasihku selama hampir 3 tahun ini. Malam pun datang. Selepas mendapat penjelasan dari mommy tadi sore, aku memilih diam tak berkata apapun. Aku pergi ke kamar dan berusaha menjernihkan pikiranku. Bayang-bayang tentang pernikahan yang tak kuinginkan berhasil membuat kepalaku berdenyut sakit. Tidak ingin sakit itu terus menyerang, akhirnya aku pun tertidur dengan posisi tubuh yang meringkuk. Dan setelah puas tertidur beberapa jam lamanya, kini aku sudah sedikit segar setelah merendamkan diri di dalam bathub yang diisi air hangat dicampur cairan sabun beraroma lavender. Pakaian santai sudah lengkap melekat di tubuh. Mataku melirik ke arah jam minimalis di atas nakas, sudah jam 7 malam. Itu artinya, makan malam akan segera tiba bukan? Aku menguncir rambut, lalu memutuskan untuk turun ke bawah menemui daddy dan mommy. Makan malam akan berlangsung, tinggal selangkah lagi untuk menyuarakan pendapatku. Bukan pendapat! Tapi, lebih ke sejenis pemberontakan kecil yang kumaksud. Ya! Aku berniat untuk melakukan itu setelah makan malam selesai. Aku tidak bisa menerima perjodohan itu, maka aku harus bicara pada mommy dan daddy. Kuharap, mereka mau memenuhi permintaanku. Semoga saja! Makan malam berjalan seperti biasanya. Tidak ada obrolan yang kami bahas. Suasana hening menyelimuti, ditambah lagi dengan rasa keinginanku yang tidak sabar untuk menyuarakan isi hati. Apapun caranya, aku harus bisa membujuk daddy agar pernikahan konyol itu tidak terjadi sama sekali. Aku memang ingin menikah, tapi tidak dengan pria asing pilihan orangtuaku. Bukan maksud meragukan pilihan mommy dan daddy, tapi ini masalah hati. Aku tidak bisa menikah tanpa rasa cinta yang mengiringi! Sejak 3 tahun yang lalu, aku hanya ingin mewujudkan mimpiku. Yaitu, menikah dan hidup bahagia bersama Bayu Renaldi. Lelaki tampan dan penuh perhatian yang begitu aku cintai. Bukan pria yang tak kukenal seperti-- "Sidney!" aku tersadar dari lamunan ketika suara berat daddy menggema memanggil namaku. Sambil mengangkat wajah, aku pun menyahut "Ya, Dad?" "Daddy harap, kamu tidak menolak untuk dijodohkan. Paris adalah pria terbaik untuk kamu!" tukas daddy membuka pembahasan, dan sepertinya ini adalah saat yang tepat untuk aku berbicara. "Tapi, Dad ... Sidney belum mau menikah!" mungkin ini alasan yang masuk diakal untuk saat ini. Daddy terdiam sejenak. Tangannya bergerak meraih gelas di samping piringnya. Air jernih yang mengisi gelas itu pun sudah berpindah tempat ke perut daddy melalui mulut dan tenggorokannya. "Daddy rasa, usia kamu sudah cukup untuk menikah. Meskipun kamu baru lulus kuliah ... tapi itu tidak masalah menurut daddy!" ungkap pria berwajah tegas itu terlihat tenang. Aku menahan diri untuk tidak menyela. Lidahku bergerak membasahi bibir yang mendadak kering. Padahal, sesaat yang lalu aku baru saja minum. "Daddy kamu benar, Sayang. Setidaknya, kamu sudah selesai S1, kan? Lalu, apa lagi yang mau kamu kejar? Karir? Mommy rasa ... setelah menikah pun jika kamu ingin berkarir, suamimu tidak akan keberatan..." timpal mommy menyambung seraya memberi interupsi pada Bik Inah untuk membereskan piring-piring bekas makan kami. Aku menunduk. Apa aku harus memberontak sekarang? Meskipun kecil kemungkinan pemberontakanku membuahkan hasil, tapi mencoba tidak ada salahnya, kan? Kuangkat kembali wajahku. Memberanikan diri untuk menatap wajah kedua orangtuaku silih berganti. "Apa yang kamu pikirkan, hem?" tanya daddy, sepertinya beliau membaca mimik mukaku saat ini. Aku menarik nafas dan membuangnya sekaligus. Memasang wajah tegas di hadapan mereka. Inilah saatnya untuk pemberontakan... "Sidney tidak bisa menerima perjodohan itu, Mom ... Dad!" tandasku mantap, sukses membuat mata daddy membesar dan menajam. Sekilas, daddy menoleh ke arah mommy. Hingga akhirnya, "Apa maksudmu? Kamu menolak perjodohan ini? Alasan apa yang kamu punya untuk penolakan ini, hem?" Daddy memberondongiku dengan kalimat pertanyaannya. Tanpa sadar, kedua tanganku sudah saling meremas. Aura kemarahan pun mulai menguar, sorot tajam daddy membuatku tidak berani untuk sekadar balas menatapnya. Seberani apapun aku, tapi jika daddy sudah melemparkan sorot tajamnya seperti itu, mungkin auman harimau pun tidak bisa menandingi seramnya ketajaman mata daddy yang seakan langsung menembus kepala. Sepertinya, aku sudah salah mengambil tindakan. "Kenapa kamu diam? Apa kamu tidak punya jawabannya? Lantas, apa yang membuatmu menolak perjodohan itu, hah? Siapa yang sudah meracuni otakmu sampai kamu berani memberontak keputusan Daddymu sendiri, Sidney?" Aku hanya menunduk sambil memejamkan mata, daddy benar-benar marah dan nyaliku seketika menciut sekarang. "Jika kamu masih tetap ingin menolak. Maka jangan salahkan Daddy kalau semua fasilitas yang kamu miliki akan Daddy cabut tanpa tersisa sedikit pun ... termasuk, Atm kamu pun akan Daddy blokir! Pergilah dari rumah dan jangan pernah menganggap lagi aku sebagai Daddymu!!" lontar daddy dingin, berhasil membekukan tubuhku setelah mendengar semua ancaman yang baru saja terlontar dari mulutnya. Masih dengan hawa dingin yang menyelimuti. Daddy pun pergi meninggalkanku seorang diri, bahkan mommy tidak diizinkan untuk memelukku atau sekadar menghiburku. Aku ditinggal sendiri. Hanya ditemani dengan sisa-sisa kemarahan daddy yang sontak membuat air mataku menetes tanpa kuminta. Hanya karena perjodohan itu, daddy sampai tega membiarkanku terluka dan ketakutan dengan kemarahannya. Aku hanya ingin menikah dengan pria yang kucintai, Dad ... apa aku salah? --- "Sidney..." Aku terlonjak. Semua lamunanku buyar saat suara bariton menyebutkan namaku dengan khasnya. Aku mendongak. Rasa terkejut menghampiriku sekarang. Pria ini, pria yang beberapa hari lalu memutuskanku. Kenapa dia ada di sini? "Bayu," gumamku. Dia tersenyum lemah. Lalu tanpa meminta izin lebih dulu, dia sudah mendaratkan bokongnya ke atas kursi di seberangku. "Apa kabarmu, Sid?" tanyanya menatapku sendu. Sorot cinta itu ternyata masih ada. Apa aku boleh berharap lagi? "Kabarku baik," jawabku pelan, sambil sengaja membuang pandangan. "Bohong!" bantah Bayu, "Kamu bohong, Sid. Aku tau, kamu tidak baik-baik saja, kan? 3 tahun aku menjadi kekasihmu, kau pikir kamu akan bisa membohongiku?" cecarnya setengah berteriak. Aku tahu. Sangat sulit membohongi Bayu. Tapi, aku juga tidak mungkin terus mengeluh, kan? Semuanya sudah terjadi. Pernikahanku dengan Paris tinggal beberapa bulan lagi dan Bayu pun sudah memilih untuk mundur. Lalu, keluhan apa lagi yang pantas aku utarakan? "Sid..." tangannya menggenggam tanganku yang terkulai di atas meja. "Sid, tatap aku..." pintanya, tidak! Aku tidak mampu menatap pria yang masih kucintai ini. Aku-- "Aku mohon, Sid. Tatap aku kalau kamu masih sayang sama aku!" mohonnya tegas, lalu sebelah tangannya pun menyentuh daguku dan mengarahkan wajahku agar berhadapan dengannya. Kini tatapan kami bertemu. Rasa cinta itu masih ada di dalam pancaran mata kami. Lantas, apa boleh jika aku meminta untuk kembali bersatu dengan Bayu? "Sid, apa kau masih mencintaiku?" tanyanya sendu, "Kalau iya, itu artinya ... cintaku gak bertepuk sebelah tangan. Karena jujur, aku pun masih sangat mencintaimu. Bahkan, aku ingin kita kembali bersatu, seperti dulu. Merajut tali kasih yang--" "BAYU RENALDI! JAUHKAN TANGAN KOTORMU ITU DARI TANGAN CALON ISTRIKU SEKARANG!" Teriakan menggelegar itu sukses membuat pandanganku dan juga Bayu beralih ke arah pintu kafe. Bahkan seluruh pengunjung kafe ini pun memusatkan perhatiannya ke arah pria tinggi berwajah tampan yang sekarang tengah melangkahkan kakinya ke arahku dan Bayu dengan rahang yang mengeras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD