Bagian 2

2304 Words
Paris Pov  Apa aku sudah bilang jika aku sangat bahagia ketika papa menjodohkanku dengan anak dari sahabat lamanya itu? Sidney Fanella Prakasa. Gadis itu, aku sudah sangat lama menginginkannya. Dan akhirnya penantianku pun terbayar dengan hasil jerih payah usahaku yang menjadi CEO sukses di salah satu anak cabang perusahaan milik Pranata Corp. Setelah 3 tahun lamanya aku merintis sebagai CEO dan berhasil membawa nama baik Pranata Crop ke seluruh negara maju di dunia, akhirnya papa setuju untuk melamarkan Sidney untukku.  Ya! Hanya sekitar 2 bulan lagi aku akan memilikinya sebagai istriku. Istri? Oh, rasanya aku sangat tidak sabar menantikan hal indah itu, terutama malam pertamanya. Malam pertama? Mungkin akan sedikit kukoreksi dua kata pembawa nikmat itu. Dari malam pertama menjadi malam penuh nikmat-- khusus untukku. Karena sebenarnya, aku sudah merasakan bagaimana nikmatnya melakukan seks meski tanpa cinta. You know what i mean? Kalau kalian berpikir aku ini pria suci yang belum pernah menjamah seorang wanita selama aku melajang, mungkin kalian salah besar menilaiku sebagai pria seperti itu. Karena pada kenyataannya, aku ini sudah berulang kali melakukan aktifitas seks bersama para w***********g di club malam tempatku melampiaskan rasa stres dan kejenuhan. Hal itu aku lakukan hanya semata untuk pemuas nafsu saja, bukan karena cinta dan lain sebagainya. Selain sebagai pelampiasan akibat stres karena pekerjaan, aku juga menyewa para jalang seperti mereka karena untuk memenuhi hasratku jika sedang merindukan gadis yang kuinginkan selama ini. Kalian tau? Sudah 6 tahun lamanya aku memendam hasrat kepada Sidney. Maka sangat wajar bukan jika aku melampiaskannya kepada jalang-jalang yang haus belaian di luar sana? Oke, mungkin caraku salah. Tapi seperti inilah aku. Manusia tidak ada yang sempurna dan aku, Marcellino Paris Pranata juga memiliki kekurangan. Yaitu senang bermain perempuan untuk memuaskan nafsu birahiku yang tak pernah bisa kucegah. Dan jangan khawatir! Setelah aku menikah dengan Sidney nanti, aku akan meninggalkan kebiasaan burukku itu. Karena apa yang aku mau sudah pasti termiliki. Maka seluruh jiwa raga pun akan aku persembahkan untuk istriku seorang. Tidak akan aku biarkan tubuhku disentuh jalang lagi. Sebagai timbal baliknya, tidak akan aku biarkan juga istriku berdekatan dengan pria selain aku.                                                                                              ---- Aku melirik arloji, akhirnya jam makan siang tiba juga. Tak lama lagi calon istriku pasti akan datang membawakan makan siang. Pascaperjodohan itu berlangsung, Sidney memang diharuskan mengantarkan makan siang untukku secara rutin. Aturan itu dibuat oleh mamaku tercinta. Walaupun aku tau dia melakukannya karena sedikit paksaan dari calon ibu mertuaku yang tak lain adalah ibu Sidney, tapi itu tidak masalah. Lama-lama pun dia pasti akan terbiasa. Benar, kan? Dan sesuai perkiraanku tadi, sebuah ketukan terdengar di balik pintu ruanganku. "Masuk!" seruku dari sini. Pintu didorong pelan dari luar, sosok Vikalah yang pertama muncul dengan anggukan hormatnya. "Ibu Sidney sudah datang, Pak..." katanya dengan bahasa formal. Aku mengangguk, "Suruh dia masuk!" "Baik," patuhnya, lantas pintu pun segera ia lebarkan. Berdirilah gadis cantikku dengan dres biru tosca selutut yang melekat di tubuh rampingnya "Silakan," ucap Vika santun. Senyumanku merekah, melihat calon istriku yang sudah masuk melewati pintu yang kembali ditutup oleh Vika dari luar. Kemudian, aku pun beranjak dari kursi kebanggaanku ini, melangkah menghampiri gadisku dengan kedua tangan merentang lebar. "Akhirnya kau datang juga, Sayang..." sambutku hangat lalu membawanya ke dalam pelukan setelah aku berdiri di hadapannya, "Kau tau ... walau setiap jam makan siang kau datang ke kantor, tapi entah kenapa aku selalu merindukanmu, Sayang. Aku ingin segera kita menikah..." ujarku sungguh-sungguh, sambil tak bosan menghirup aroma sampo dari rambut coklatnya yang tergerai indah. Satu hal yang membuatku kecewa, gadis ini masih sama. Tidak pernah mau membalas pelukanku layaknya pasangan kekasih pada umumnya. Tapi tak mengapa! Mungkin, dia belum terbiasa saja dengan perlakuanku ini. Setelah puas memeluk tubuh rampingnya yang selalu ingin segera kusentuh, aku pun merangkul bahunya dan menggiringnya ke arah sofa. Rautnya masih sama. Masam. Tak pernah ada sedikit pun senyuman yang menghiasi bibir pink-nya. "Apa kau sudah makan?" tanyaku, kami sudah duduk di atas sofa panjang yang membelakangi jendela besar yang menampakkan padatnya jalanan raya ibu kota di siang hari. "Sudah," jawabnya pendek seraya menaruh rantang yang dibawanya ke atas meja. Aku menghela nafas. Rasa kecewa kembali melanda. "Padahal aku ingin sekali makan siang bersamamu..." gumamku mendesah pelan. "Ck. Jangan banyak mengeluh. Makanlah cepat!" katanya ketus, selalu seperti itu. Pada akhirnya, aku pun kembali makan siang sendiri di dalam keheningan. Meskipun di sebelahku ada gadis cantik yang menemani, tapi dia lebih sibuk bermain dengan gadgetnya dari pada aku calon suaminya.                                                                                             --- Aku sudah selesai makan sepuluh menit yang lalu. Dan sekarang aku sedang merebahkan diri di atas sofa dengan berbantalkan paha Sidney yang menyangga kepalaku. Ah, kalau saja kami sudah menikah. Mungkin aku bisa berolahraga ranjang di kamar pribadi yang tersedia di sudut ruangan sana. Sayangnya, pernikahan kami masih 2 bulan lagi, jadi aku harus pandai-pandai menahan hasratku yang selalu bergejolak ini. Walaupun aku sering tidur dengan jalang, tapi aku tidak mau m*****i kesucian calon istriku sebelum kami sah menikah. Aku mencintainya dan aku tidak mau merusak kehormatannya sebelum waktunya tiba. "Sayang?" panggilku, wajah cantiknya terhalangi oleh gadget hitam yang sedang dipegangnya. Astaga! Apa aku sudah bilang kalau aku paling tidak suka dicuekkan? "Sayang!" panggilku lagi, sekaligus merampas gadgetnya dengan tangan kananku. "Kau? Kembalikan itu padaku!" serunya berusaha merebut kembali, tapi sudah aku jauhkan dari jangkauannya sehingga dia kesulitan untuk mengambilnya karena gerak tubuhnya yang terbatas. "Aku tidak suka diduakan, Sid!" ujarku mengingatkan. Calon istriku memasang muka kesal. "Menyebalkan!" desisnya marah lalu bersedekap. Aku mengulum senyum. Kalau sedang kesal seperti itu, Sidney terlihat sangat manis sekali. Dia menggemaskan dan aku ingin sekali membuatnya mendesah di bawahku. Arghtt! Tahan hingga waktunya tiba Paris... Punggungku terasa pegal sekarang, mungkin terlalu lama rebahan di sofa jadi membuat otot punggungku menjadi pegal. Aku bangun, menurunkan kedua kaki ke lantai dan merapatkan dudukku ke arah Sidney. Gadisku masih kesal rupanya, tapi aku tetap tidak akan memberikan gadgetnya yang sudah kutaruh di meja kecil samping sofa ini. "Kau marah, huh?" tanyaku merangkulnya dari samping dan menaruh daguku di pundaknya. "Diamlah! Aku tidak mau bicara denganmu," katanya judes lantas berniat untuk menjauhkan diri. Tapi terlambat, karena aku sudah melingkarkan tanganku di pinggang rampingnya. Dia lantas menoleh menatapku tajam, aku justru malah membalasnya dengan senyuman lebar. "Kau menggemaskan sekali, Sayang..." ucapku dan cup! Kukecup sudut bibirnya singkat. Matanya terbelalak. Mungkinkah dia kaget? "Kau!" "Kenapa? Kau tidak suka aku cium?" "Menurutmu?" sentaknya memelotot. Aku menyeringai, lalu mendekatkan mulut ke telinganya. "Bahkan jika aku tidak pandai menahan diri, mungkin aku sudah menelanjangimu sejak kau datang tadi, Sid..." bisikku s*****l dan sukses membuat tubuhnya menegang di tempat. Sebelum akhirnya mulutku menjauh, kugigit kecil ujung telinganya. Membuat ia menggelinjang dan telinganya seketika berubah merah.                                                                                            ---- "Sayang, kau menginginkan konsep pernikahan seperti apa? Internasional wedding? Disney land? Garden Party? Atau--" "Terserah, atur saja sesukamu!!" dia memotong kalimatku sembari mengibaskan tangan seolah malas. Setelah kubuat telinganya merah karena sedikit kugigit tadi, kini aku pun sudah kembali duduk di kursi kebanggaan. Mulanya, Sidney berniat pulang setelah jam makan siang selesai, tapi aku tahan dia. Aku hanya ingin memastikan soal konsep pernikahan kami saja. Setidaknya, dia juga harus ikut andil dalam menentukan, bukan? Tapi sekarang dia justru sudah melenggang ke arah pintu setelah mengambil tas hitam dan rantang kosong bekas makanku tadi. "Sayang! Kamu mau ke mana?" seruku menyusulnya. Tepat di ambang pintu, langkahnya berhenti. Kemudian dia berbalik menghadapku, untung saja aku segera me-rem langkahku. Kalau tidak, mungkin sekarang aku sudah menubruk tubuh langsingnya hingga terjatuh. "Aku ingin pergi, dan aku sudah muak dengan konsep-konsep pernikahan yang terus kau bahas!" ujarnya sarkas tanpa sedikit pun menunjukkan rasa tertariknya padaku. Ya Tuhan! Aku menghela nafas berat. Lalu mengusap wajah kasar menghadapi sikap enggannya yang terang-terangan seperti itu. Sebenarnya, apa yang membuat dia tidak tertarik padaku? Sudah sangat jelas jika wajahku tidak buruk untuk dipandang. Materi pun tidak usah diragukan. Bahkan aku berani bersumpah, sudah banyak wanita yang mengejarku dan mengantri untuk kuperistri. Tapi karena aku sudah lebih dulu jatuh cinta padanya, maka wanita-wanita itu pun aku abaikan. Persetan dengan kecantikan dan tubuh seksi yang mereka miliki. Aku bahkan tidak perduli! Pilihanku sudah jatuh pada gadis di hadapanku sekarang. Kedua tanganku lalu merengkuh bahunya dengan lembut. Aku pun menatap matanya tepat di manik coklat terangnya. "Sid, aku mohon. Setidaknya untuk konsep pernikahan kita, aku ingin meminta pendapatmu. Orangtua kita pun menyerahkan hal itu pada kita sebagai calon pengantin. Jadi--" "Aku tidak perduli! Bukankah aku sudah bilang kalau sejak awal pun aku tidak pernah menerima perjodohan ini. Tapi apa? Kalian semua memaksa dan menyudutkanku sampai aku TERPAKSA menerimanya. Dan sekarang kau sangat merepotkanku! Jika kau masih menginginkan pernikahan ini terjadi, maka atur saja sendiri. Aku hanya ingin tinggal menerima beresnya saja," paparnya panjang lebar, lantas mengempaskan kedua tanganku dari bahunya dan kemudian pergi meninggalkanku. "Ah, Sid ... lalu kau mau ke mana?" erangku frustrasi. Punggungnya sudah menjauh, bahkan tepat di belokan sana sosoknya menghilang dari pandanganku. "Masih sulit meluluhkan ya, Mas?" Aku menoleh spontan ke meja sekretaris. Vika, dia terkikik di balik laptopnya. Sialan! Dia mengejekku, huh?                                                                                          ---- Sepeninggal Sidney, aku jadi tidak fokus mengerjakan dokumen-dokumen sialan ini. Ucapan Sidney yang menyakitkan terus membayangiku, ditambah dengan ejekan Vika yang membuatku semakin tidak konsentrasi mengerjakan pekerjaanku. Sepertinya aku butuh udara segar. Untuk menghilangkan rasa penat di kepala, aku memutuskan keluar dari ruangan. Setelah mengenakan kembali jas hitam kebanggaan, kakiku pun berayun ke luar ruangan. "Vika!" panggilku. Gadis itu langsung mendongak dan berdiri ketika melihatku di depan mejanya. "Ada yang bisa saya bantu?" bahasanya masih formal seperti ajaranku. "Saya mau ke luar sebentar. Kalau ada yang mencari, kamu urus saja dulu. Namun jika itu sangat penting, kamu bisa langsung menghubungi saya." ujarku dengan pembawaan khas seorang atasan. Vika pun mengangguk, "Iya, Pak..."  Lalu setelah itu, aku pun lekas melenggang meninggalkan mejanya. Berniat untuk mencairkan mood yang sedikit memburuk karena ulah Sidney tadi. Dan di sinilah aku. Berdiri sejenak di depan sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari gedung perusahaan. Aku butuh minuman dingin untuk menjernihkan pikiran. Setidaknya, sampai mood-ku kembali membaik seperti semula. Sepatu hitam mengkilatku sudah mulai menjejaki lantai kafe yang putih bersih. Pintu berbahan kaca tebal pun sudah kulalui dengan mudah. Mataku menyapu seisi kafe, berniat mencari meja yang memojok. Tapi saat pandanganku tertuju ke arah kanan dekat jendela panjang dan besar, alih-alih mendapat meja yang nyaman justru aku malah menemukan sosok calon istriku yang tengah duduk berseberangan dengan seorang pria yang belum jelas kulihat wajahnya itu. Aku menyipitkan mata, bertujuan untuk mempertajam penglihatan yang ingin melihat wajah si prianya. Dan ketika sosok pria itu sudah terlihat jelas di mata, otomatis rahangku pun mengeras. Pria itu ... b******k! Beraninya dia mendekati calon istriku? Dan, hey! Lancang sekali dia, aku tidak terima jika tangan halus istriku digenggam seperti itu oleh tangan kotornya. Nafasku memburu menahan emosi, kedua tanganku terkepal kuat di masing-masing sisi tubuh. Karena jarak meja yang ditempati mereka tidak terlalu jauh dari tempatku berdiri sekarang, telingaku pun menangkap sepotong kalimat yang diucapkan si b******n itu. "... Bahkan aku ingin kita kembali bersatu, seperti dulu. Merajut tali kasih yang--" "BAYU RENALDI! JAUHKAN TANGAN KOTORMU ITU DARI TANGAN CALON ISTRIKU SEKARANG!" teriakku menggelegar dan sukses membuat pandangan kedua orang itu beralih menatap ke arahku. Bahkan, seluruh pengunjung kafe yang awalnya sedang mengobrol santai di masing-masing mejanya pun kini malah memusatkan perhatiannya ke arahku juga yang sekarang sudah melangkah lebar ke tempat di mana calon istriku dan pria k*****t itu duduk dengan ekspresi terkejut di masing-masing wajahnya.                                                                                          --- "Paris! Lepasin, tanganku sakit b******k," Aku tidak perduli dengan rontaannya. Aku hanya ingin membawanya pergi menjauh dari si k*****t Bayu saja. Tadi pun aku langsung menarik tangan Sidney dan sedikit memberi peringatan pada pria b******k itu agar tidak mendekati calon istriku lagi. Sesudah itu aku langsung menyeret Sidney ke luar kafe. Tidak perduli dengan tatapan aneh yang disorotkan oleh para pengunjung kafe. Mereka tidak tahu apa-apa dan mereka juga tidak berhak untuk ikut campur! "Paris! Kau menyakiti tanganku," teriaknya lagi. Aku sedang dikuasai emosi. Dan aku tidak perduli pada keluhannya! Yang aku perdulikan hanya satu, membawa Sidney ke rumah orangtuaku dan meminta agar pernikahan kami segera dimajukan dari waktu yang seharusnya. Aku hanya tidak ingin apa yang sudah berada di genggamanku terlepas lagi direbut orang lain. Maka jangan salahkan aku kalau aku ingin segera mempercepat pernikahan kami! "Masuk!" suruhku cepat saat aku sudah berhasil menyeretnya ke depan pintu mobil yang sudah kubuka sebelumnya. "Enggak! Aku gak mau," tolaknya terus memberontak. Aku muak dengan penolakannya. Tak mau berlama-lama lagi menyuruhnya masuk ke dalam mobil, akhirnya aku pun nekat menggendong tubuhnya yang ringan. "Kyaaaaaa...." dia menjerit. Dengan mudah aku pun berhasil mendudukkannya di kursi penumpang. Kututup pintunya langsung dan segera berlari memutari muka mobil. Kini, aku pun sudah ikut masuk ke sisi satunya lagi. Tepatnya, aku sudah duduk di belakang kemudi. "Kau! Apa kau gila? Lihat pergelangan tanganku memerah gara-garamu b******k!" cacinya menunjukkan tangan kanan yang tadi kucengkeram. Aku menyesal. Mungkin aku terlalu diselimuti emosi, dan aku sudah melukainya seperti itu. "Maaf," hanya kata itu yang bisa kuucap. Gadisku mengerucutkan bibir. Dia masih sibuk mengusap kulit pergelangan tangannya. Aku meringis, sesakit itu, kah? Beberapa saat kami terdiam. Gadisku mendadak bungkam dengan gerakan mulut yang meniupi pergelangan tangannya, sementara aku? Apa yang kulakukan? Hanya diam membisu dengan kedua tangan yang mencengkeram setir. Bayu... Ada hubungan apa Sidney dengan Bayu? Kenapa mereka bisa sedekat tadi? Aku jadi tidak tenang. Aku tahu betul siapa Bayu Renaldi. Dan aku khawatir dia akan melukai gadisku. Seperti yang ku tahu, Bayu adalah pria berambisi yang akan melakukan apa saja untuk merebut apapun yang menjadi milikku. Jika dia bisa mendepakku dari jabatan senat saat di kampus dulu, maka tidak menutup kemungkinan kalau dia juga akan merebut apa yang kumiliki sekarang. Sidney, aku khawatir dia juga akan mengincar gadisku. Tidak! Aku tidak akan membiarkannya. Untuk melindungi apa yang sudah menjadi milikku, aku harus melakukan sesuatu yang bisa selalu membuat Sidney tetap berada di sampingku. Dan satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah-- "Pernikahan kita akan aku percepat menjadi minggu depan..." putusku final tak dapat diganggu gugat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD