Bagian 3

2111 Words
Bukankah kebahagiaan harus dicari? Lalu jika pencarian itu dihentikan secara paksa, apa yang bisa aku lakukan? Selain terpekur menerima kenyataan yang tidak ingin kujalani. -Sidney Fanella Prakasa-                                                                                          ----- Sidney Pov  "Pernikahan kita akan aku percepat menjadi minggu depan..." cetusnya mengejutkan. Aku menatapnya horor. Bahkan rasa perih di pergelangan tanganku pun seolah menguap dengan sendirinya. Paris, pria itu. Apa yang dia katakan? Mempercepat pernikahan? Minggu depan? Apa dia pikir bisa dengan semudah itu? Pikirannya ... Kritis! "Kau gila!" desisku menggeleng tak habis pikir. "IYA. AKU MEMANG GILA. LALU KENAPA?" Bentaknya meradang, aku sampai kaget melihat raut murkanya. Nafasnya memburu. Terbukti dari gerakan d**a dan bahunya yang naik-turun secara bersamaan. Dia marah? "Dengar!" tegasnya sembari merengkuh bahuku cukup kuat, "Aku ingin kita segera menikah, aku tidak mau kau didekati pria lain. Terutama Bayu Renaldi, aku tidak sudi kalau kau berdekatan dengannya seperti tadi!" lanjutnya menatap tajam. Aku hanya mengerjap beberapa kali. Tidak terima akan pernyataannya barusan. Memang ada masalah apa dengan Bayu? Dia mantan kekasihku. Bahkan aku masih mencintainya, lalu kenapa pria ini seolah menilai Bayu sebagai seseorang yang jahat? "Jadi sebaiknya, kita segera membicarakan hal ini pada orangtua kita. Aku yakin mereka pasti akan setuju dengan usulanku ini," putusnya sambil melepas bahuku, lantas dia kembali menghadapkan tubuhnya ke arah kemudi. Ia menarik persneling dan mobil pun melaju di kemudikannya. "Paris! Kau jangan bertindak sesuka hatimu. Pernikahan itu bukan hal yang mudah untuk di maju-mundurkan...." "Lalu, apa yang kau inginkan?" tatapannya tidak lepas dari jalanan. Aku mendesah berat, sungguh! Aku belum siap jika harus menikah dalam waktu yang cepat. Rasanya itu-- "Aku hanya ingin segera memilikimu, apa salah? Lagi pula, kalau di lama-lama kan aku khawatir tidak bisa menahan hasratku, kau tahu?" liriknya sekilas, ada nada frustrasi yang tertangkap pendengaranku. Aku menautkan kedua alis, "Maksudmu?" Paris mengusap wajahnya sebentar, ia pun sedikit melonggarkan dasi yang kuyakin mendadak seolah mencekik lehernya. "Aku selalu menahan diri untuk emm ... tidak menyentuhmu, hanya dengan melihat lekukan tubuhmu saja, juniorku langsung turn on. Dan aku merasa tersiksa karena tidak bisa melampiaskan hasratku, maka ada baiknya jika pernikahan itu kita percepat saja. Agar aku tidak harus susah payah menahan keinginanku untuk tidak menyentuhmu," jedanya sembari menarik nafas. "Kau tahu? Jika aku mau, mungkin aku bisa saja memaksamu untuk melakukan seks di luar nikah. Tapi aku tidak mau dicap sebagai lelaki b***t, Sayang. Aku tidak ingin merusak kesucianmu sebelum saatnya tiba. Selain itu, aku juga ingin memastikan bahwa tidak ada pria lain lagi yang bisa mendekatimu setelah kita menikah nanti...." urainya berlanjut panjang lebar dan sesekali melirikku di tengah mengemudinya. Aku cukup kaget. Mungkin lebih ke syok tepatnya. Sampai aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kalimat rumit yang ia lontarkan barusan cukup sukses membuat kepalaku berdenyut pusing.                                                                                      ---- Aku menggigit bibir bawah saat Paris menuntun tanganku memasuki rumahnya yang bertingkat 3 ini. Bukan karena aku baru pertama kalinya dibawa ke rumah orangtua pria ini, tapi--ah ntahlah! Sungguh! Paris tidak main-main dengan ucapannya. Dia benar-benar akan membicarakannya pada orangtuanya. Lalu apa yang harus aku lakukan? "Paris?" sebuah suara lembut kudengar dari arah tangga. Pria yang masih menggenggam tanganku ini menghentikan langkahnya. Kulihat, sosok cantik nan anggun itu menuruni tangga berbentuk spiral dengan hati-hati. Senyuman hangatnya terukir di bibir merah pucatnya. "Mama...." gumam Paris tak sabar. "Kok, kamu udah pulang? Dan, oh ... ada calon menantu juga rupanya," ujar mama Paris beralih menatapku semringah. Aku hanya mengangguk kecil. Rasanya canggung sekali dan akhirnya aku memutuskan untuk diam saja di sebelah Paris. "Apa kabar, Sayang?" tegur Tante Bianca menyambutku dengan pelukan hangatnya. Aku hanya mengangguk kikuk di dalam pelukannya. "Ba--baik, Tante ... kabar Tante sendiri bagaimana?" balasku sedikit gugup. Pelukan pun disudahi, tante Bianca tersenyum lagi mengelus bahuku. "Kok, manggilnya Tante, sih? Panggil Mama aja ... kan gak lama lagi kamu bakalan jadi istri Paris. Jadi, mulai dari sekarang ... biasain panggil Mama, ya!" ujar tante Bianca meminta. Memanggil Mama? Apa itu harus? "Iya, Sayang ... Mama benar. Gak ada salahnya kalau kamu belajar manggil mamaku dengan sebutan Mama juga dari sekarang. Biar nanti terbiasa kalau kita udah menikah...." tambah Paris, kemudian berhasil mencuri ciuman di pipiku. Spontan aku pun melotot ke arahnya. Pria itu malah tercengir seakan tak merasa berdosa. Plok. "Aduh! Mama apaan, sih?" pekiknya horor saat tangan mamanya mendarat di lengan kekarnya. "Belum sah udah berani cium-cium. Ijab kabul dulu, baru bebas nyium istri kamu...." tukas tante Bianca mengomel. Pria di sebelahku lantas meringis sembari menggaruk kepala belakangnya. "Ayo duduk, Sayang. Nanti biar Mama panggilin Bik Hesti buat bikinin minuman," ajak tante Bianca merangkul bahuku. Aku menurut saja, mengimbangi langkah wanita di sampingku menuju sofa hitam yang ada di ruangan tengah. Sementara pria menyebalkan itu menguntit kami dari belakang. "Jadi ada tujuan apa kalian datang ke sini? Tumben banget, biasanya juga kamu pulang ke rumah kalau lagi libur," tanya tante Bianca lebih mengarah ke anaknya. Paris mengempaskan diri ke atas sofa single. Sementara aku duduk berdampingan dengan wanita yang melahirkan pria berhidung mancung itu di sofa sampingnya. "Jadi gini, Ma ... setelah aku pikir-pikir, apa sebaiknya kalau pernikahan aku sama Sidney dipercepat aja? Ya, sekadar untuk menjaga-jaga dari hal yang tidak diinginkan terjadi saja gitu, Ma...." ujar Paris mulai melancarkan kalimatnya. Aku? Memilih diam di sebelah tante Bianca. Sudah kubilang, aku tidak bisa berontak lagi setelah melihat amukan daddy waktu itu. Daripada terus-terusan membuat daddy marah dan merenggangkan hubunganku dengan daddy, lebih baik aku menyerah saja. Meskipun aku tidak tahu dengan nasibku ke depannya akan seperti apa? Tapi sudahlah, mau tidak mau aku harus tetap menjalaninya, bukan?                                                                                          --- Aku melangkah lunglai ke dalam rumah. Hari ini sangat melelahkan kau tahu? Setelah perbincangan serius di rumah Paris tadi bersama mamanya, akhirnya aku diantar pulang juga. Aku tidak habis pikir dengan pria itu, kenapa dia ngotot sekali ingin mempercepat pernikahannya. Hanya karena sebuah alasan akan kehadiran Bayu dan tentang hasrat tertahannya itu? Padahal tante Bianca sendiri sudah bilang, kalau waktunya tidak bisa dimajukan begitu saja. Bukankah itu terlalu mendadak? Membuat pihak WO yang menanganinya akan merasa terdesak dan tentu saja menyebabkan persiapannya menjadi kurang matang. Hal itu yang dikatakan oleh mama Paris tadi. Tapi rupanya pria sialan itu tidak mau mengalah juga. Justru dia mengusulkan untuk mempercepat akad nikahnya saja, sementara resepsinya bisa dilaksanakan sesuai waktu yang sudah ditentukan. Astagaa~ apa harus secepat itu? "Sidney, kamu sudah pulang ternyata?" seru suara mommy yang baru saja keluar dari kamarnya. Aku menoleh sekilas, selanjutnya aku menyeret kaki ke arah sofa. Setibanya di sofa panjang, aku lantas mendaratkan pantatku di sana. "Mommy rasa kamu semakin betah aja ya berlama-lamaan sama calon suami kamu itu," cetus mommy mendekat ke arahku. Ah! Andai mommy mengerti apa yang sejujurnya kumau, pasti aku akan sangat senang sekali sepertinya. Tapi sayang, mommy lebih setuju dan berpihak pada daddy maka membuatku terpojok dan tidak mempunyai pilihan yang lain untuk kuambil. Huft ... "Gimana, Sayang? Paris itu pria yang baik, kan?" tegur mommy antusias sambil menatapku dari tempat duduknya sekarang. Setelah dia mencengkeram pergelangan tanganku hingga memerah dan perih seperti tadi, apa masih pantas aku mengakuinya sebagai pria yang baik? "Mom, Sidney capek. Sebaiknya Sidney masuk kamar saja, ya...." izinku mendesah lelah. Aku sedang malas membahas pria itu. Kalau mommy mau, mungkin mommy bisa berbincang dengan calon besannya saja yang sudah menyetujui usulan anak prianya tadi. Menyebalkan! Tanpa menunggu respon dari mommy aku lekas beranjak dari dudukku. Sejenak membungkukkan badan dan memberikan kecupan kilat di pipi mommy, sesudahnya aku pun melenggang meninggalkan sofa.                                                                                           ---- Sret! Aku menyingkapkan tirai penutup di ruang fitting ini. Sebuah kebaya modern berwarna putih sudah melekat sempurna di tubuh rampingku. Dan kini aku sulit untuk sekadar berjalan cepat karena keterbatasan langkah yang terhimpit kain batik bawahan kebaya ini. Kenapa harus dicoba juga, sih? Aku melangkah seadanya, menjauhi kamar ganti dan menghampiri sosok wanita paruh baya bersanggul rendah yang tengah asyik mengobrol dengan pria menyebalkan itu di sofa tunggu. "Nah, itu calon istri kamu!" seru pemilik butik ini menunjuk ke arahku yang baru muncul. Paris, dia yang semula sedang fokus melihat-lihat majalah fashion di tangannya pun lantas mendongak menatap ke arahku. Hanya dalam satu detik ekspresinya langsung berubah, mulutnya terbuka dan matanya tak berkedip saat memperhatikanku. Bahkan majalah di tangannya pun sudah meluncur ke atas pahanya. Duh, kok jadi risi gini ya dilihatin Paris sebegitunya... "Sudah! Jangan melongo gitu, Ris ... nanti lalat nakal masuk lagi ke dalam mulut kamu. Hihihi," cetus wanita di sampingnya terkikik. Pria itu pun segera mengatupkan mulutnya rapat dan mulai salah tingkah akibat kikikkan jahil wanita di sampingnya. Tangannya mengusap tengkuk beberapa kali, sampai akhirnya dia bangkit menghampiriku. "Sayang, kamu cantik sekali...." gumamnya takjub, tubuh tingginya kini sudah menjulang di hadapanku. Aku membuang pandangan ke arah lain. Sungguh! Aku paling risi kalau ditatap orang lain seperti itu. "Ehem!" sebuah deheman membuat tatapan Paris beralih, baguslah! Dengan begitu, dia tidak menatapku terus seperti ingin menerkamku di sini. Hei! Aku jadi ingat kata-katanya beberapa hari yang lalu. "Aku selalu menahan diri untuk emm ... tidak menyentuhmu, hanya dengan melihat lekukan tubuhmu saja juniorku langsung turn on. Dan aku merasa tersiksa karena tidak bisa melampiaskan hasratku," Glek. Aku tiba-tiba merasa haus, tenggorokanku mendadak mengering. Hanya mengingat kalimat itu saja bulu kudukku sudah meremang. Apalagi kalau-- "Akh!" aku memekik kaget saat tubuhku kini merapat dengan tubuhnya, baru aku sadar ketika tangan Paris melingkup di pinggangku. Aku mendongak, bertemu tatap dengan manik abu yang menyelami iris coklatku. Ya Tuhan! Jangan bilang-- "Kau menggodaku, Sid ... aku--juniorku terbangun gara-gara melihat lekukan tubuhmu yang tercetak di balik kebaya ini," tukasnya serak dan aku semakin tercekat saat sorot matanya menggelap tak biasa. Tuhan! Bisakah kau menyelamatkanku dari pria ini? Lalu, kemana tante pemilik butik ini? Bukankah tadi dia ada di sofa sana? "Tante Garnis mengerti apa yang kumau, dia pergi ke depan untuk mengurus model-model pakaiannya yang terpajang di manekin," celetuk Paris seolah tau apa yang kupikirkan. Aku tercenung. Tante Garnis? Maksudnya wanita pemilik butik ini? Apa? Dia kembali ke depan dan meninggalkan aku bersama dengan pria ini di sini? Hanya berdua? Dan-- "Nice bobs, Sid...." bisik Paris menurunkan pandangannya ke-- "ASTAGA!" pekikku memelotot dan baru menyadari kalau kebaya ini memperlihatkan belahan d**a yang bisa terlihat cukup jelas dari arah pandang Paris. Sial! Kenapa aku baru sadar sekarang? Tiba-tiba saja leherku serasa digelitik. Aku baru sadar saat ada embusan nafas yang hangat menerpa kulit leherku, dan rupanya itu berasal dari mulut Paris. Dia-- "Aku mencintaimu calon istriku...." bisik Paris semakin serak hingga darahku berdesir tak karuan ketika leherku mendapat kecupan hangat dari bibir basah Paris. Siaga satu! Leher adalah areal sensitifku, dan biasanya aku suka kelepasan meloloskan-- "Ugh!" Paris menghentikan kecupannya di leherku. Dia mengangkat wajah dan menatapku sayu. Aku mengernyit, apa yang dia lihat? "Kau menikmati kecupanku di lehermu, huh?" tanyanya menyeringai. Belum sempat aku mencerna kalimatnya, tangan kanan Paris sudah berlari ke tengkukku dan menekannya. Mataku terbelalak lebar saat bibir basah itu sudah menyatu di bibir tipisku. Tubuhku menegang, merasakan sensasi aneh yang menyerang hati saat bibirnya bergerak lembut di bibirku. Dia menciumku? Dan aku menikmatinya? Meskipun ini bukan ciuman pertamaku, tapi aku belum pernah merasakan sensasi seperti ini. Lumatannya seperti diiringi dengan ketulusan rasa yang mendukung. Aku kembali teringat akan ucapan cintanya tadi. Dia bilang dia mencintaiku? Secepat itu? Bahkan kami dipertemukan karena perjodohan, tapi dia mencintaiku dalam waktu yang teramat singkat. Haruskah aku percaya? "Aku mencintaimu, Sidney. Jadilah milikku selamanya...." ucapnya lirih di tengah deru nafasku dan dirinya yang baru saja melepaskan ciuman lembutnya. Dia menunduk, mengumpulkan oksigen yang menipis karena lumayan lama bermain di bibirku barusan. Aku pun sama, hanya saja aku masih tidak percaya dengan kalimat cintanya tadi. Tidak mungkin jika dia mencintaiku secepat itu! Aku saja butuh waktu lama untuk beradaptasi dengannya. Apalagi hatiku masih setia dengan cinta yang lama. "Bayu...." bisikku tanpa sadar. Dan hal itu membuat wajah Paris terangkat secara spontan. Aku merutuk dalam hati, bodoh! Apa yang sudah aku bisikkan barusan? Demi Tuhan! Tatapan Paris sekarang seperti ingin memangsaku dalam arti sebenarnya. Kau tahu singa jantan yang kelaparan dan kebetulan melihat mangsaannya melintas ke depan matanya? Ya, seperti itulah sorot tajam dari manik abu Paris sekarang. Tangan yang semula melingkar di pinggangku, kini beralih merengkuh bahuku. Rengkuhannya sangat kuat, hingga menimbulkan sebuah rasa sakit yang membuatku meringis kecil. "Bayu? Ada hubungan apa kamu dengan pria sialan itu, Sayang?" selidiknya dengan suara rendah, menyeramkan. Aku masih meringis, tapi pria ini tidak memperdulikan itu. Justru sekarang kepalanya memiring ke kiri tanpa memutuskan tatapan tajamnya. Ada jeda sesaat sebelum akhirnya, "ADA HUBUNGAN APA KAU DENGAN SI k*****t BAYU RENALDI ITU?" bentaknya mengejutkanku. Aku memejamkan mata. Ya Tuhan! Aku mulai takut dengan kemarahannya ini. Amarahnya seperti amukan daddy ketika marah besar, dan aku selalu memilih untuk diam daripada melawan. Tangannya mengguncang bahuku, mengharuskan mataku kembali terbuka dan menatap iris abunya. Seakan tersihir oleh sorotan intimidasinya, samar-samar bibirku pun bergumam. "Dia, Bayu adalah ... Mantan kekasihku,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD