Bagian 4

2796 Words
Paris Pov "Dia, Bayu adalah ... Mantan kekasihku," Aku terkejut? Sangat. Bahkan jantungku serasa dicopot paksa oleh tangan transparan yang menelusup masuk menembus d**a. Mendengar kenyataan yang baru saja ku ketahui. Bayu, pria berengsek itu adalah mantan kekasih dari gadis yang akan menjadi istriku tak lama lagi. Hah, kenyataan macam apa ini? Jadi, mereka? Bayu dan Sidney sempat menjalin cinta? Bahkan di saat penantianku yang menghabiskan waktu selama 6 tahun lamanya, Bayu justru sudah lebih dulu mengenal bahkan memacari gadisku. Arghtt!! Apa jangan-jangan dia sudah merenggut kegadisan calon istriku saat mereka berpacaran? Membayangkan hal itu terjadi, mendadak keringat dingin berkeluaran dari pelipis. Bukan bermaksud untuk menilai rendah gadis yang akan ku peristri, hanya saja aku terlalu tahu banyak mengenai si k*****t Bayu. Bahkan, sebelum aku terjun ke dunia malam pun pria itu sudah merayap lebih dulu memasuki lingkungan bebas. Kau tahu maksudku? Dan aku jadi meragukan calon istriku sekarang. Apakah dia masih virgin atau justru-- Shit! Dering telepon yang berbunyi dari ponsel pintarku sukses membuat pikiranku terpotong dan memecah keheningan di antara aku dan Sidney yang masih menunduk takut setelah mengucapkan kalimat pahit tadi. Aku merogoh ponsel di dalam saku celana. Rupanya mama yang menyebabkan deringan itu berbunyi. Sebelum aku menjawabnya, aku mengusap wajah sesaat sembari mengembuskan nafas berat. Sedetik kemudian, kugeser tanda hijau di layar. Menempelkan benda tipis ini ke telinga kanan dan membelakangi Sidney untuk sementara. "Ya, Ma?" sambutku. "Lagi di mana kamu? Lagi sama Sidney, ya?" "Iya, Ma. Aku lagi di butik, Sidney baru ngepas kebaya buat ijab kabul nanti," "Oh ... Udah selesaikah? Atau masih lama?" Kedua alisku bertaut spontan, "Emang kenapa, Ma?" "Emm ... Mama minjem Sidneynya boleh?" rajuk mama tiba-tiba. "Maksud Mama apa?" Kudengar mama menghela nafas di seberang sana, "Mama mau nyalon, Sayang ... tapi Mama gak ada teman. Kalo Mama ajakin Sidney, kayaknya bukan ide buruk, kan?" Oh, jadi mama mau ngajakin Sidney ke salon? Tapi aku belum sempat menyelesaikan masalahku dengan Sidney mengenai Bayu sialan itu. "Halo? Sayang, ayolah ... Gak lama kok, paling cuman 2 jam. Mama juga kan pengen ngadain pendekatan secara pribadi sama calon menantu Mama...." bujuk mamaku tercinta. Aku mendesah pasrah. Mungkin aku bisa memenuhi permintaan wanita cantik yang sudah melahirkanku hingga sebesar sekarang ini, untuk masalah tadi bisa kubahas di lain kesempatan. Lagipula, sebelum aku membahasnya dengan Sidney, aku harus mencari tahu seluk beluk jalinan kasih mereka saat dulu masih berpacaran. Setidaknya, aku bisa tahu apa yang mereka lakukan sebelum Sidney memutuskan hubungannya dengan pria b***t itu! "Jadi, gimana? Boleh gak? Kamu kok gak jawab-jawab, sih? Mendadak gagu, ya ?" cetus mama sedikit kesal. Aku terkekeh. Mama selalu asal ceplos kalau lagi kesal sama anaknya. "Iya, Ma ... iya. Mama boleh ajakin calon menantu Mama buat nyalon. Sepulang dari butik, aku bakal langsung antar Sidney ke rumah Mama." ujarku memutuskan. "Gitu, dong! Itu baru anak Mama. Makasih ya, Sayang. Mama tunggu kalian di rumah!" Dan setelah itu, mama pun langsung memutuskan percakapannya. Ya, kalau kemauannya sudah dipenuhi mama memang selalu bertindak semaunya. Seusai berbincang dengan mama dan memasukkan kembali ponsel ke dalam saku seperti semula, aku lantas berbalik lagi dan-- "Sid, di mana kamu?" seruku seketika panik saat calon istriku menghilang dari tempatnya tadi berdiri. Astaga! Ke mana dia? Padahal aku hanya membelakanginya saja kan, tapi kenapa dia tiba-tiba menghilang? Apa jangan-jangan dia kabur selagi aku berteleponan ria dengan mama tadi? Di tengah kepanikanku yang mengira calon istriku kabur tanpa sepengetahuanku. Tiba-tiba saja, aku menangkap suara ketukan ujung heels yang beradu dengan lantai. Secepat kilat, aku pun mengalihkan pandangan ke asal suara. Aku baru bisa bernafas lega ketika mendapati sosok gadisku yang cantik muncul dari arah ruang ganti. Kebayanya sudah ia tukar lagi dengan pakaiannya tadi. Dres selutut berwarna biru langit yang dipadukan dengan blezer tipis berwarna putih s**u yang membalut bagian atasnya. Rambut coklatnya masih tetap diikat satu dari belakang. Entahlah, aku tidak tahu apa nama gaya rambutnya, yang jelas dia selalu cantik di kedua mata penglihatanku. "Kau? Astaga! Aku pikir kau melarikan diri saat aku menerima telepon tadi." lenguhku lega seraya menghampiri dan memeluk tubuhnya erat. Sungguh! Mungkin aku berlebihan karena mengira dia melarikan diri dan semacamnya, tapi itu adalah bukti kekhawatiranku. Aku tidak sanggup jika harus kehilangan gadisku ini. Setelah 6 tahun lamanya menunggu, wajar jika aku berpikiran untuk ketat menjaganya. Sudah kubilang! Aku tidak rela jika dia didekati pria lain, terutama--sudahlah aku malas menyebut nama busuknya itu! "Kau, kenapa tidak bilang kalau mau menukar lagi pakaian?" tatapku kesal setelah puas memeluknya. Dia mengernyit, namun hanya terbilang beberapa detik saja kurasa. "Memangnya kenapa? Jangan kau pikir karena tak lama lagi aku dan kau akan menikah, lalu aku harus melapor setiap saat kepadamu kemana pun aku pergi. Aku bukan anak kecil yang butuh diawasi!" tukasnya bersedekap dan aku rasa dia sama kesalnya sepertiku. Oh God! Apa aku salah jika aku ingin tahu ke mana dia pergi? Wajar bukan. Aku ini calon suaminya, jadi dia harus memberitahuku dulu kalau mau bertindak apapun. "Oke baiklah. Maaf kalau aku terlalu berlebihan. Aku hanya mencemaskanmu saja, Sayang. Aku pikir kau memilih pergi dan kembali pada mantan kekasihmu itu!" ucapku setengah menyindir. Dia menoleh, lantas menatapku datar. Kenapa? Dia merasa tersinggung dengan kalimatku barusan? "Sudahlah! Aku ingin pulang sekarang," sahutnya seolah enggan membahas soal pria k*****t itu. Baguslah jika Sidney malas membahasnya. Karena aku pun sama halnya seperti itu. Mungkin, di lain kesempatan aku akan menanyakan kembali perihal hubungan mereka di masa lalu. Tapi bukan sekarang waktunya! "Kau mau pulang?" tanyaku menatapnya. "Iyalah. Memang apa lagi? Badanku sangat capek dan aku butuh istirahat sepulang dari sini." jawabnya tanpa sedikit pun balas menatapku. Aku mengusap dagu sejenak. Kalau Sidney capek itu artinya, dia tidak bisa menemani mama ke salon. Ah, bagaimana ini? Padahal aku sudah bilang iya saat di telepon tadi. Aku mendesah gusar. Membuat calon istriku beralih menatapku heran. "Kau kenapa? Keberatan mengantarku pulang? Ya sudah, aku bisa pulang sendiri kalau begitu!" katanya dan bersiap untuk melangkah namun segera kutahan bahunya spontan. "Tidak! Bukan begitu maksudku," "Lalu apa?" tatapnya jengah. Kuusap wajah sekilas, "Sebenarnya, Mama memintamu untuk menemaninya ke salon dan tadi aku sudah mengiyakannya. Tapi kalau kamu capek, aku bisa mengatakannya pada Mama. Semoga saja dia bisa memaklumi dan kamu bisa dengan tenang istirahat di rumah...." terangku tanpa ragu. Kulihat Sidney tampak berpikir. Aku bingung, apa yang ia pikirkan? Kalau dia capek seharusnya dia langsung mengangguk dan setuju dengan keputusanku barusan, bukan? Tapi-- "Aku rasa aku juga butuh pergi ke salon. Rambutku sudah lama tidak di creambath...." cetusnya membuatku tertegun. Bukannya dia bilang dia capek? "Tapi, Sayang ... bukannya tadi kamu bilang capek?" ujarku mengingatkan. Gadis cantik ini memutar bola mata sesaat. Sampai akhirnya, "Aku bisa sekalian minta pijat di sana. Dan sebaiknya, kamu antar aku ke rumah Mamamu sekarang! Aku khawatir, Tante Bianca sudah menungguku," jelasnya sambil berlalu. Aku terperangah di tempat. Apa yang menyarang di dalam kepalanya? Bukankah dia capek? Tapi, mendengar kata salon dia langsung berubah pikiran. Bahkan dia terlihat bersemangat sekali sekarang. Tuhan! Apa semua kaum hawa selalu bereaksi seperti itu jika mendengar kata salon? Oh entahlah! Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran seorang perempuan.                                                                                         ---- Seusai mengantarkan Sidney dan mama ke salon mewah langganan mama, aku memutuskan untuk pergi ke apartemen. Tubuhku terasa lengket, aku butuh air dingin untuk membersihkan diri. Dan sekarang Range Roverku sudah tiba di basemen gedung apartemen. Setelah melepas safety, aku langsung bergegas turun dan berjalan meninggalkan basemen menuju lobi apartemen. Suasananya tampak lenggang seperti biasa, hanya beberapa orang saja yang berlalu lalang keluar masuk lift. Aku pun ikut melangkah menuju lift yang di isi oleh 3 orang pria dan satu perempuan yang mungkin sama-sama menempati salah satu apartement di gedung ini. Tak lama kemudian, aku sampai di lantai 16. Keluar dari lift sembari melepas kancing tangan kemeja dan melipatnya hingga sikut. Tidak harus berjalan jauh lagi, aku pun sudah sampai di depan pintu apartemenku. Kumasukkan password dan terbukalah pintunya. Akhirnya, aku sampai juga di istana pribadiku. Well, sejak menjadi CEO di salah satu anak cabang Pranata Corp, aku memang tidak tinggal satu rumah dengan orangtuaku. Aku ingin mandiri dengan membeli apartemen ini memakai uang hasil jerih payahku. Rasanya akan nyaman sekali ketika kau memilih untuk hidup mandiri tanpa diawasi orangtuamu! Meskipun aku masih sendiri, tapi bukan berarti aku tidak boleh tinggal berpisah dengan orangtua, kan? Aku menjatuhkan p****t ke atas sofa. Merentangkan kedua lengan di atas kepala sofa dan menaikkan kedua kaki ke atas meja di hadapanku. Tubuhku benar-benar butuh siraman air segar. Tapi sebelum aku pergi ke kamar mandi, sebaiknya aku menelepon Daffa dulu untuk meminta bantuan. Daffa Andreas, dia sahabat karibku sekaligus orang kepercayaanku dalam hal apapun. Aku rasa, tidak ada salahnya juga jika aku meminta dirinya untuk mencarikan data tentang Bayu si pria b******n itu! Kurogoh ponsel dari saku celana, mengangkatnya ke depan wajah dan segera men-dial nomor Daffa sebelum menempelkan ponsel ke telinga kanan. Nada sambung mulai terdengar, namun tak berlangsung lama karena di detik berikutnya suara Daffa pun terdengar menyerukan kata 'halo'. "Di mana kau ?" tanyaku langsung. "Ah, kau! Aku sedang di rumah Ruby, ada apa?" Aku mengernyit, Ruby? Ah ya, wanita itu adalah teman kencannya dan pantas saja dia terdengar kesal saat menyahut. Kegiatannya pasti sedikit terganggu oleh teleponku ini. "Aku tahu kau sedang sibuk, tapi tolonglah temanmu ini, Daf...." ujarku sedikit memelas. "Ck. Sialan kau! Padahal Ruby sudah siap mengangkangkan kakinya untuk kunikmati, tapi telepon darimu terpaksa harus membuat dia menunggu. Katakan! Apa yang harus kubantu?" Oh astaga! Daffa tidak pernah berubah. Sesibuk apapun dia, jika aku menelepon pasti akan dia angkat dulu. Langka sekali dia abaikan, aku jadi terharu oleh sikap setia kawannya! "Emm ... baiklah, Daf, aku langsung pada intinya saja. Aku ingin kau mencari tahu tentang masa lalu Bayu. Kuharap kau--" "Bayu? Maksudmu Bayu Renaldi?" selanya cepat, dia memang tahu tentang persaingan aku dengan pria k*****t itu. "Ya. Pria b******n yang--ah sudahlah, kurasa kau tahu apa maksudku. Aku ingin mengetahui tentang masa lalu percintaanya dengan gadis yang dipacarinya terakhir kali. Aku harap, kau bisa membawa semua informasinya ke apartemenku setelah kau menyelesaikan urusan ranjangmu bersama teman kencanmu itu!" pintaku tak mau dibantah. Kudengar dia mengembuskan nafasnya sejenak, "Ya ya ya, aku akan mencari informasi tentang apa yang kau mau. Meskipun aku tidak tahu alasannya kenapa kau tiba-tiba ingin mengulik lagi soal pria bengal itu. Tapi demi sahabat karibku yang sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri, aku akan dengan segera mendapatkan informasinya. Itu pun setelah aku membuat Ruby menjerit nikmat dulu, ya." cerocosnya nakal, lalu terkekeh setelah sempat mengeluarkan pekikan kecil dari mulutnya. Kenapa dia? Apa teman kencannya melempari kepalanya dengan benda yang ada di sekitarnya? Haha ... kurasa Daffa pantas mendapatkannya. Mulutnya memang sulit untuk disaring jika sudah berbicara seputar seks. Sedikit banyaknya sudah berhasil juga menular padaku. Ayolah, kami sudah bersahabat sejak 4 tahun yang lalu, okay! "Baiklah. Selamat menikmati hidangan lezatmu, Dude...." ucapku terkekeh geli lantas memutuskan sambungan sebelum ia membalas perkataanku dengan kalimat frontalnya. Dan kurasa ini sudah saatnya aku membersihkan tubuhku!                                                                                         ---- Ting tong. Aku baru saja selesai mandi dan mengeringkan rambut, bahkan kaus saja belum sempat kupakai. Tapi dentingan bel sudah berbunyi saja hingga membuatku menerka kalau si pemencet bel itu pasti Daffa Andreas. Jika benar, kenapa cepat sekali? Aku pikir dia masih bergulir ke ronde selanjutnya bersama teman kencannya itu. Ting tong. Aku mendesah kasar. Tidak sabar sekali dia! Akhirnya setelah mengalungkan handuk kecil di sekitar tengkuk aku pun bergegas keluar kamar. Hanya dengan memakai celana kargo panjang tanpa mengenakan atasan kurasa Daffa tidak akan menerkamku. Dia masih menyukai liang lawan jenis kan dibanding sesama jenis? Ting tong! Astaga! Apa dia tidak bisa bersabar sedikit? "Sebentar!" teriaku jengkel dan sekarang aku sudah berdiri di depan pintu. Tanganku menyentuh grendel pintu. Saat aku menarik pintu terbuka, bola mataku pun langsung melebar detik itu juga. Holy s**t! Wanita ini? Ada urusan apa dia datang ke apartemenku? "Hai, Honey?" sapanya tersenyum lebar, dan kini pandangannya tearah ke d**a bidangku, "Ow, sepertinya kau sudah tahu kalau aku akan datang...." ujarnya menjijikan, kemudian melangkah masuk tanpa kupersilakan. "Kau? Untuk apa kau ke sini?" aku tidak suka dengan kedatangannya. Wanita berlipstik merah darah itu langsung berbalik menghadapku. Dia menggigit bibir seolah menggodaku. Alih-alih tergoda, aku malah jijik ingin muntah di depan wajahnya. "Ayolah, Honey ... jangan ketus begitu. Aku, merindukanmu ada di dalamku, Sayang...." bisiknya s*****l dan tanpa kuduga tubuhnya sudah merapat di tubuh toplesku. Kuku-kukunya ia gerakkan membuat pola garis lurus di sekitar d**a dan perut 6 kotakku. Sialan! Aku harus segera mengusirnya sebelum dia bertindak yang aneh-aneh. "Kau! Lebih baik kau pergi saja dari apartemenku. Sudah kubilang, aku tidak mau berhubungan denganmu lagi, Jalang," usirku dengan nada dingin yang sukses membuatnya mendongak menatap tak percaya. "Setega itu kau padaku? Padahal dulu kau selalu senang jika aku mengajakmu bercinta." balasnya lirih, menjijikan. Aku mendengus jengah. Lalu mendorong tubuh kotornya yang merapat di dadaku. Sialan! Sepertinya, aku harus mandi kembali setelah kulitku ditempeli jalangnya Bayu ini. "Aku muak melihatmu di sini. Pergilah! Sebelum aku menendang tubuhmu agar kau keluar dari apartemenku ini!" tatapku sengit. Dia menatapku sendu. Bibirnya bergetar hebat, mungkin kata-kata pedasku barusan berhasil menyakiti hatinya. Terbukti dari matanya yang berkaca-kaca, wanita kotor itu akan menangis sepertinya. Dia pikir aku akan kasihan? Oh, bukan Paris namanya jika aku mudah luluh melihat air mata buayanya itu! "Kau jahat Paris ... Kau berubah! Aku benci padamu, Marcelino Paris Pranata!!" teriaknya murka, mendorong tubuhku sebelum akhirnya dia pergi berlari meninggalkan apartemenku ini. Aku tersenyum kecut. Dia mengataiku jahat? Aku tidak tersinggung sama sekali. Kalau aku jahat, lalu penghianatan yang diberikannya dulu sejahat apa, huh? Tidakkah dia berpikir? Dasar wanita ular! Aku bergeleng tak habis pikir, lantas bergerak untuk menutup kembali pintu. Sambil menunggu Daffa datang ke sini, mungkin ada baiknya jika aku mandi lagi sekarang. Sudah kukatakan! Aku tidak sudi kulit tubuhku ditempeli wanita sialan tadi. Angel ... Namamu tak seindah perlakuanmu!                                                                                       --- "Jadi, apa tanggapanmu setelah tahu kalau calon istrimu itu memang pernah berpacaran dengan Bayu Renaldi selama hampir 3 tahun lamanya? Apa kau mempunyai niat untuk membatalkan pernikahan kalian?" Bodoh! Pertanyaan macam apa yang Daffa lontarkan? Aku? Membatalkan pernikahan? Hanya karena gadis cantikku pernah berpacaran dengan pria b******k bernama Bayu selama jangka waktu 3 tahun. Itu tidak masuk akal, okay! Sekalipun usia pacaran mereka melebihi 3 tahun pun, mungkin aku akan tetap memperistrinya. Alasannya sederhana, karena aku mencintai gadis itu sejak lama. Dan aku akan menghalalkan segala cara untuk merebutnya menjadi milikku. Terserah tanggapan kalian seperti apa. Yang jelas, hanya Sidneylah alasanku bisa meraih kesuksesan seperti sekarang. Berkat kehadiran dia aku bisa merintis karirku sebagai CEO. Meskipun tidak secara langsung dia mendampingiku, tapi demi ingin menikahinya aku rela bekerja keras menuruti kemauan papa sewaktu aku masih kuliah dulu. "Penuhi keinginan Papa, dan kau akan dengan mudah mendapatkan apa yang kau mau!" Kalimat mujarab itu bahkan masih tercetak jelas di dalam otakku. Karena itulah aku susah payah memenuhi keinginan papa hingga seperti ini. Sesuai janjinya, papa pun menuruti kemauanku bukan? Ya. Hanya satu keinginanku saat papa tanya, aku ingin menjadikan gadis bernama Sidney Fanella Prakasa sebagai istriku. Apapun caranya, yang terpenting papa berhasil membuat gadis itu menikah denganku. Dan entah keajaiban dari mana, tak lama dari itu papa membawa kabar gembira untukku. Tanpa harus kujelaskan, kalian sudah mengetahuinya bukan? Sekitar 3 harian lagi, aku dan Sidney akan melangsungkan ijab kabul. Seperti permintaanku, pihak orangtua setuju jika akad nikah dilangsungkan lebih cepat dari seharusnya. Soal resepsi bisa dilaksanakan sesuai waktu yang sudah diatur oleh tim WO. "Tidak! Aku tidak akan membatalkannya, yang ada ... aku malah ingin Sidney segera menjadi istriku!" tandasku mantap. Daffa, dia menautkan kedua alis. Ya, dia baru datang ke apartemenku setelah dia menghabiskan 3 kali putaran bercintanya dengan teman kencannya itu. Sialan! Dia benar-benar maniak seks. "Apa kau yakin dengan keputusanmu itu?" "Tentu saja! Sudah lama aku menginginkannya, Daf, dan di saat momen itu sudah di depan mata ... sangatlah bodoh jika aku membatalkannya begitu saja," tuturku menjelaskan. Daffa mengangguk paham, dia termenung sejenak sebelum akhirnya kembali menatapku untuk bertanya. "Tapi, calon istrimu itu kan bekas pacar Bayu, bukankah biasanya kau selalu meninggalkan apa saja yang sudah didahului atau direbut oleh rivalmu itu?" pertanyaannya berhasil menyentak hatiku. Apa yang dikatakan oleh Daffa memang benar. Aku tidak akan memberikan toleransi kepada wanita yang sudah berhubungan dengan Bayu Renaldi. Bagiku, apa yang sudah tersentuh tangan kotor pria itu bersifat haram untuk kusentuh lagi. Tapi jika masalahnya menyangkut gadis yang kucintai, maka dengan mengabaikan prinsipku sendiri aku tidak sanggup untuk melepaskan Sidney. "Sidney adalah pengecualian, Daf. Meskipun dia sudah pernah berpacaran dengan Bayu. Tapi aku tetap akan memperistrinya, aku sudah terlanjur mencintainya bahkan sejak pertama kali dia menolongku 6 tahun yang lalu." gumamku sedikit menerawang. Daffa membuang napas panjang. Punggungnya ia sandarkan dan tak sengaja aku menangkap gerutuan samarnya selagi ia membuang pandangan ke arah lain. "Semoga saja calon istrimu itu gawangnya belum dimasuki Bayu, Ris...." Dan tanpa berniat menegur gerutuannya. Aku hanya tersenyum samar diiringi dengan sahutan batinku yang mengamini harapan dari sahabatku Daffa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD