3: Mimpi

1496 Words
Lolla berada di sebuah ruang sempit. "Di mana ini?!" Lolla melihat sekitar, dan ternyata dia berada di dalam lift. Ia mulai merasa pusing, dan napasnya jadi terasa sesak. "To-tolong! Buka! Hentikan lift ini!" Lolla duduk di pojok lift, sambil memegang kepalanya. Lift tiba-tiba terasa jatuh dengan kecepatan penuh, Lolla hanya bisa teriak dengan keras. Saat Lolla mengira, dirinya sudah mati, pintu lift terbuka. "Lo gapapa, Lolla?" "Tuan Putri kenapa nangis?" Lolla bingung, karena bisa melihat Rey dan Sakka saat pintu lift terbuka. "Kalian kok bisa di sini?" "Cepat bangun, Tuan Putri." "Nanti lo terlambat sekolah!" Dan Lolla pun terbangun dari tidurnya. "Hah ... astaga." Mimpi macam apa itu?! Lolla memijat kepalanya, yang benar-benar terasa pusing. Lagi-lagi mimpi buruk yang sama, tapi kali ini ... akhir mimpinya jadi berbeda. Biasanya, saat lift jatuh dengan kecepatan penuh, Lolla akan langsung terbangun. Kali ini tidak. Dan kenapa ada Rey serta Sakka di dalam mimpi buruknya? "Apa mereka berdua itu jodoh gue?" Lolla menggeleng cepat. "Jodoh itu satu. Kalau gue dapet dua, kasihan nanti yang jomblo nggak kebagian." Lolla semakin bingung dengan maksud mimpinya. Saat ia melihat jam dinding di kamarnya, ini sudah hampir jam tujuh! "Mampus!" Lolla turun dari tempat tidur, dan langsung berlari ke kamar mandi. Untung saja Lolla sudah terbiasa mandi dengan kecepatan kilat. Lima menit kemudian, ia sudah memakai seragam SMA-nya. SMA Tunas Prawira. Lolla cukup senang sekolah di sana, karena lulusan dari SMA itu ada yang berhasil jadi penyanyi terkenal. Troy Alexander. Yep, Lolla adalah fans besar dari Troy. Ia pernah foto bersama Troy satu kali, itu juga penuh perjuangan. Kembali ke Lolla, ia sudah siap berangkat sekolah. Lolla menuruni tangga rumahnya yang sangat mewah, lalu berlari untuk mencium pipi mama dan papanya. "Lolla berangat dulu, ya! Dahh!" "Lolla sarapan dulu! Emangnya kamu telat banget?" "Nggak mau dianter Papa aja, Sayang?" Lolla terus berjalan cepat, sambil menjawab pertanyaan mama dan papanya, "Aku udah telat banget banget, Ma! Nggak, Pa. Aku sama Pak Bejo aja!" "Oke, Sayang! Have fun!" "Jangan serius belajar mulu, ya! Cari cowok, dong!" Lolla pura-pura tidak dengar pesan mamanya yang satu itu. Cari cowok? Aduh.... *** Lolla janji, akan berlari, setelah turun dari mobil. Ia sudah terlambat lima belas menit. Bahaya! Hari ini yang piket galak. Tapi, Lolla tidak jadi berlari, saat melihat ada seorang anak yang malah merokok, di kantin luar. Pokoknya bukan kantin resmi yang bersih di dalam sekolah. Dan Lolla semakin terkejut saat melihat lelaki perokok itu adalah Sakka. Iya, Sakka! Lolla menghampirinya dengan langkah kesal. "Heh! Udah bel, kenapa lo masih di sini?" "Ngerokok. Mau gue masuk sekarang, atau sepuluh menit lagi, hukumannya pasti sama. Jadi, yaudah. Mendingan ngerokok dulu 'kan?" Lolla tebatuk, saat asap rokok Sakka tidak sengaja terhirup. Sakka langsung menghela napas panjang, membuang rokoknya, lalu menginjaknya dengan kesal. "Puas?" Sakka memandang Lolla tidak suka. Pasti Lolla pura-pura batuk, agar Sakka merasa tidak enak, dan mematikan rokoknya. Begitu pikir Sakka. "Gue punya penyakit asma." Lolla tersenyum. "Makasih udah mau matiin rokoknya." Sakka menggaruk kepalanya, karena merasa malu sendiri. Ia sudah berburuk sangka ternyata. "Lo duluan aja masuk. Akan terlihat aneh, kalo lo jalan sama gue." "Aneh kenapa?" tanya Lolla tidak mengerti. "Aneh aja. Cewek sempurna tapi jomblo, jalan sama cowok berandal tapi pacarnya banyak." Sakka menyengir jahil. "Pacar lo banyak? Serius?" Sakka memutar matanya. "Nggak, gue bilang gitu biar terdengar keren aja." "Syukurlah." Lolla mengembuskan napas lega. "Eh, maksud gue, ternyata lo jomblo juga! Kita jadi sama, deh." Lolla berusaha terkekeh, walau terdengar aneh. "Lo ini bawel, ya. Ayo masuk! Lo nggak takut dihukum, hah?" Sakka memakai tas ranselnya dengan malas, lalu bangkit berdiri. "Kan ada lo, gue jadi ada temen pas dihukum." Sakka berdecih. "Gue bukan temen lo. Gue nggak mau temenan sama cewek manja yang bawel." "Terus maunya jadi apa? Sahabat, mau?" Sakka menghela napasnya lagi. "Bisa diem, nggak?" Sakka sungguh semakin kesal mendengar celotehan Lolla. Mereka akhirnya berjalan masuk, dan langsung disambut oleh Bu Sukma. "Aduh, Anak Manis ... kenapa terlambat?" Bu Sukma menangkup wajah Lolla. Sebenarnya, Lolla adalah murid kesayangan guru-guru. "Saya ... kesiangan, Bu. Macet juga di jalan." "Ohh, tidak masalah. Langsung masuk kelas aja ya, Nak." Lolla melirik ke Sakka yang memasang wajah kecut. "Terus ... Sakka gimana, Bu?" tanya Lolla. Bu Sukma dengan cepat menjewer telinga Sakka. "Baru masuk, dan terlambat mulu! Nggak bosen ya dihukum Ibu?!" "Adu-duh ... hari ini 'kan nggak seterlambat kemarin, Bu! Kemajuan, dong?" "Kemajuan apanya?! Tetap saja terlambat!" Lolla terkekeh pelan melihat ekspresi Sakka yang lucu saat dijewer Bu Sukma. Tapi, Lolla berhenti terkekeh saat Sakka melotot dengan tajam ke arahnya. "Apa melotot-melotot?! Kamu nantangin Ibu, ya?! Sana berdiri dan hormat di depan tiang bendera!" "Panas, Bu! Nanti kalo saya jadi item, Ibu mau tanggung jawab biaya perawatan kulit saya?" balas Sakka, dan mendapat jeweran lebih keras. "Siapa suruh datang terlambat?! Kamu cowok kok takut panas?!" "Saya 'kan bukan cowok biasa ... saya ini--aduuhh, jeweran Ibu keren! Kuping saya bentar lagi copot, nih!" Lolla lagi-lagi tertawa. Dan Bu Sukma melirik Lolla dengan hingung. "Kenapa masih di sini? Cepat masuk kelas, Nak." "Erm ... saya terlambat, sama kayak Sakka. Masa cuma dia yang dihukum? Rasanya itu nggak adil, Bu." "Kamu mau dihukum?" Lolla mengangguk. "Sekali-kali, Bu. Saya gapapa, kok." "Haduh, yaudah. Sana berdiri di lapangan sama Sakka, sampai jam pelajaran pertama selesai." Di saat Lolla tetap tersenyum, Sakka sudah hampir ingin mencekik Lolla. "Ayo, Sakka!" Nada ceria Lolla, membuat Sakka semakin ingin mencekiknya. "Hmm." Akhirnya mereka berdua berdiri di depan tiang bendera. Lima menit pertama, Lolla masih tersenyum lebar. Sakka juga hanya menguap, karena masih kurang tidur. Tapi, setelah sepuluh menit, Lolla rasanya pusing sekali. "Lo gapapa, Tuan Putri?" tanya Sakka, saat melihat wajah Lolla menjadi merah. Lolla juga memejamkan matanya, sepertinya tidak kuat kena sinar matahari. "Hah, nyusahin aja." Sakka membuka topinya, dan memakaikan topi itu di kepala Lolla. Bahkan, sampai menutupi mata Lolla. "Eh? Ini topinya bersih nggak, Sak?" "s****n, masih untung gue kasih pinjem!" Sakka jadi emosi. Lolla bukannya bilang terima kasih, malah menghina topinya. Terdengar suara tawa pelan Lolla. "Makasih, Sakka." "Sama-sama! Apa hobi lo sekarang itu nyusahin gue mulu?" "Nggak, kok. Maaf...." Sakka berdecak. "Gue harap ini yang terakhir." "Oke, Sakka." *** "Lolla! Gue kira lo ngak masuk!" Lolla masih tersenyum saat duduk di kursinya, bersama Nada. "Masuk, kok. Cuma terlambat." "Topi siapa, tuh? Jelek banget! Dekil, pasti nggak pernah dicuci!" semprot Nada saat melihat topi yang Lolla pakai. "Topi seseorang yang baik hati." "Siapa? Tukang kebun sekolah?" Lolla merengut. "Ih, bukan. Ini topi ... Sakka." "Hah?! Dasar cowok b******k nggak modal! Masa ngasih lo topi jelek begini?!" "Nada ... dia ngasih topi ini saat gue hampir pingsan karena dijemur di lapangan. Maksud dia baik, 'kan?" "Oohh, gitu." Nada melepas topi yang ada di kepala Lolla. "Tapi, topi ini membuat lo jelek, La. Nggak cocok." "Ih, biarin aja!" Lolla dan Nada pun berebut topi, hingga tak sadar kalau ada seorang lelaki yang sudah berdiri dari tadi di dekat mejanya. "Ekhem!" Rey berdeham cukup keras. "Lolla, kita dipanggil ke ruang guru." "Hah? Ada apa? Gue mau dihukum lagi, ya? Ya ampun, gue salah apa lagi?" Lolla panik, dan wajahnya jadi terlihat lucu. "Bukan dihukum. Udah, ikut gue aja. Ayo!" Rey menarik tangan Lolla, karena ia buru-buru. Ia tidak sadar, kalau perbuatannya membuat perempuan itu merasa senang. Sesampainya di ruang guru, terlihat guru-suru sedang mendiskusikan sesuatu. Banyak nama murid yang ditulis di papan tulis. Ada apa ini? "Lolla dan Reyhan. Akhirnya kalian dateng!" Bu Sukma bangkit berdiri, memperkenalkan kedua muridnya pada yang lain. "Bapak dan Ibu, ini dia dua murid kelas XII IPA yang jenius." Lolla dan Rey jadi semakin bingung. "Jadi, kami memutuskan untuk mengadakan kelompok belajar! Dan di setiap akhir semester, nilai dari kelompok belajar terbaik, akan mendapatkan hadiah liburan ke Puncak, dan uang lima juta rupiah!" Lolla membuka mulutnya. "Beneran, Bu?" "Iya, dan ada hadiah bonus bagi ketua kelompok. Yaitu ... doa dari saya, supaya panjang umur dan murah rejeki." Lolla dan Rey saling berpandangan, sama-sama menunjukkan ekspresi malas. "Hei, doa seorang guru itu mujarab!" protes Bu Sukma. "Iya, Bu." Rey memaksakan senyuman. "Terus? Saya dan Lolla jadi ketua, ya? Cuma dua kelompok? Apa tidak kurang, Bu?" "Ada banyak kelompok. Satu kelompok berisi lima orang. Kalian juga ada di kelompok yang sama, kok." "Lah? Terus?" Lolla mulai bingung. "Kenapa kita berdua doang yang dipanggil?" "Karena ... kami semua mau kelompok kalian yang menang. Ibu mohon, kalian berdua harus bekerja sama, ya." Lolla jadi semakin bingung. "Kenapa harus kami yang menang?" Bu Sukma menghela napas. "Karena orangtua Sakka ingin nilai putranya bagus. Mereka memberi ide ini, dan mau memberi hadiah ke kalian kalau nilai Sakka berhasil membaik. Tapi, jangan bilang Sakka kalau orangtuanya yang mensponsori perlombaan kelompok ini. Yang ada, Sakka malah membuat nilainya semakin hancur." Lolla sempat termenung. Orangtua Sakka terdengar sangat peduli, tapi kenapa Sakka bisa senakal itu? "Jadi, selain Sakka, kami bebas memilih anggota kelompok?" tanya Rey datar. Padahal dia tidak tau Sakka itu yang mana. "Ohh, boleh. Dua orang lagi siapa?" tanya Bu Sukma, mau mengganti nama-nama kelompok yang ada di papan tulis. "Titan." "Nada." []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD