1: Salam kenal, Puteri Jomblo

1366 Words
Pasti ada satu orang di sekolah, yang sangat terkenal, tapi ... kita tidak mengenalnya. Mungkin hanya tahu nama, dan reputasinya. Dan kita ... tidak punya kesempatan untuk mengenalnya, karena semua teman kita malah menjauhkan kita darinya. Sangat jauh. Itulah yang Lolla pikirkan, saat semua murid memberikan jalan pada seorang lelaki yang memakai jaket kulit. Mereka semua takut, dan menatap lelaki itu dengan ngeri. Tapi, anehnya, lelaki itu bersikap biasa saja. Ia terus berjalan, dengan headset yang terpasang di kedua telinganya. "Itu ... Sakka, 'kan? Dia udah masuk?" tanya Lolla berbisik pada Nada. Lolla baru saja keluar dari toilet, dan tidak sengaja bertemu Nada. Dan tidak sengaja pula, melihat kembalinya Sakka ke sekolah, setelah satu minggu diskors. Tapi, masalahnya, kenapa dia baru datang saat jam istirahat? "Iya, tutup mata lo, La. Nanti ngiler lagi." Nada menutup mata Lolla dengan telapak tangannya. "Ih, lebay. Dia nggak terlalu ganteng, ah." Lolla melepas tangan Nada yang menutupi matanya. Dan detik itu, Lolla rasanya tidak bisa bernapas saat Sakka lewat tepat di hadapannya. "Shit." Oops, Lolla mengumpat tidak dalam hati. Hal itu membuat Sakka berhenti berjalan, dan menoleh menatap Lolla.   "Tadi lo bilang apa?" tanya Sakka tajam. "Hah? Eh ... gue?" Lolla menunjuk dirinya sendiri dengan tampang speechless. Ini pertama kalinya ia bicara dengan Sakka. "Iya, Tuan Putri." Tanpa sadar, Lolla malah tersenyum malu. "Kok lo tau sih gue suka dipanggil tuan putri?" Mata Sakka menyipit dan memerhatikan Lolla dari atas hingga bawah. "Astaga, ternyata Lolla. Si Putri Jomblo. Gue baru sadar." Lolla membuka mulutnya. "Hah? Putri jomblo?" Sakka tersenyum miring. "Iya, itu julukan yang gue buat sejak kelas sepuluh. Keren, 'kan?" "Keren apanya?! Itu julukan yang sangat amat JAHAT." "Lo lupa? Gue emang jahat. Semua orang udah tau fakta itu." Sakka membuang pandangannya, dan kembali berjalan menuju kelasnya. "Sak-Sakka! Stop!" Sakka menoleh ke belakang dengan malas. "Apa? Lo mau nyanyi dangdut?" Lolla tidak mengerti maksud lelaki itu. "Bukan! Gue mau buktiin, kalau gue bukan putri jomblo!" "Oh, really?" Sakka berbalik badan, dan merasa cukup terhibur melihat semangat Lolla. "Apa ada cowok yang mau sama cewek sempurna yang kebetulan terlahir jenius, kayak lo?" Lolla mengernyit. Jadi, itu anggapan kebanyakan lelaki untuk Lolla? "Gu-gue ... yakin ada. Pasti ada! Dan kalau ada, cowok itu berarti bukan pengecut!" "Whoa, percaya diri sekali." Sakka melipat tangannya di depan d**a. "Oke, gue jadi penasaran, cowok yang lo maksud itu sebenernya siapa? Lo terdengar begitu yakin." Lolla menggigit bibirnya dan menghindari tatapan Sakka serta murid-murid yang memerhatikan mereka berdua. Dalam hati, ia ingin lelaki tidak pengecut itu adalah Reyhan. Bukan yang lain. Tapi... "Gue ... benci cewek." "Jangan deket-deket." Rasanya Lolla ingin berteriak saat mengingat sikap Rey pada dirinya. Sebenarnya, apa yang salah dari Lolla? Kenapa tidak ada lelaki yang menyukainya? Padahal, ia terlihat punya segalanya. Cantik? Yes. Imut? Yap. Pintar? Tentu saja. Langsing? Dia sedikit chubby, tapi badannya cukup bagus. Kaya? Sangat. Apa yang kurang? Kenapa semua kelebihannya itu malah membuat dirinya ditakuti semua lelaki? "Lolla, gue nggak kenal sama lo banget. Tapi, gue suka lihat keberanian lo. Jadi ... salam kenal, Putri Jomblo." Lolla terdiam di tempat, bahkan setelah Sakka sudah pergi, dan masuk ke kelas. "Lolla! Lo gila!" Nada mengguncangkan kedua bahu Lolla dengan berlebihan. "Kok gila, sih?" Lolla tersenyum bodoh, dan mengingat kata-lata terakhir Sakka. Dan yang terpenting, Sakka tersenyum pada Lolla sebelum kembali berjalan! Hingga Lolla lupa kalau lelaki itu sebenarnya berniat mengejek. Menyebalkan, ya. "Udah berapa kali gue bilang, jangan pernah berurusan sama biang masalah itu! Dia b******k, La!" Lolla menggeleng. "Senyumnya tadi nggak terlihat b******k, Nad. Gue bisa bedain!" "Oh, NO. Jangan bilang, lo suka sama dia! Jangan! Aduh, amit-amit!" "Nggak, kok. Gue sukanya cowok baik-baik kayak Rey. Gue tadi mungkin, cuma terpesona aja sama Sakka." "Terpesona? Ih, geli banget! Udahlah, ayo ke kelas." Nada merangkul Lolla, dan berjalan bersama ke kelas. Saat Nada dan Lolla mau masuk kelas, Lolla berhenti karena melihat Sakka yang berdiri di luar kelasnya. Kelas Lolla dan Sakka ternyata bersebelahan. "Cie dihukum!" Eh, Lolla kok berteriak begitu? Niatnya, dalam hati, lho! Sakka mendelik. "Lo lagi! Mau nyari ribut, hah?!" Lolla langsung ditarik Nada masuk ke dalam kelas. "Lo ini sinting ya, La? Ngapain ngeledekin dia yang lagi dihukum?" "Gue nggak sengaja. You know, kebiasaan." Nada menghela napas dan mengusap kepala Lolla. "Kebiasaan lo itu, bisa menimbulkan masalah. Hati-hati." Lolla mengangguk patuh. "Yes, Mom." *** Lolla memerhatikan pelajaran Matematika dengan serius. Ia menyatat segala yang ditulis di papan tulis, dan mengerjakan soal yang diberikan dengan cukup cepat. Setidaknya, sama cepat dengan Rey. Rey menaikkan alisnya, saat Pak Syafarin menilai buku Lolla. Seratus? Really? "Makasih, Daddy Syafarin." Lolla tersenyum manis, dan menerima bukunya. Lalu, Lolla menjulurkan lidah ke arah Rey saat ia mau kembali duduk. Ha-ha! See? Rey mendengus, dan menatap Pak Syafarin curiga. "Pak, tadi nggak salah ngasih nilai? Dia masa dapet seratus?" Pak Syafarin hanya terkekeh. "Kamu murid baru, ya?" Rey mengangguk. "Lolla itu murid paling pintar seangkatan. Dia selalu juara umum sejak kelas sepuluh. Hampir semua nilainya sempurna. Entah dia les, atau memang terlahir pintar. Saya juga tidak mengerti." Rey memasang tampang tidak percayanya. "Masa, sih? Dia nggak terlihat pintar, Pak." "Iya, betul. Dia terkesan lucu dan ceria, dia tidak terlihat seperti kutu buku yang serius. Tapi, ternyata?" Pak Syafarin menyerahkan buku Rey yang sudah dinilai, sambil tersenyum. "Nilai kamu masih kalah sama dia. Beda tipis." Rey membuka bukunya. "Lain kali, nilai saya akan lebih tinggi dari dia, Pak." "Saya tunggu." Rey kembali ke tempat duduknya, dan melirik pada Lolla yang sedang mengobrol dengan teman sebangkunya. Tempat duduk Rey dan Lolla tidak jauh, hanya terhalang beberapa meja. Dan tempat duduk Lolla malah di paling belakang. Berhubung yang lain sedang serius mengerjakan soal, suara yang sedang mengobrol itu jadi terdengar jelas. Jadi, Rey tidak perlu menguping. "Ih, bukan gitu caranya, Nad." "Astaga, gue pusing." "Ayo, lo pasti bisa. Semangat!" "Lo enak pinter, lah gue? Dapet lima besar aja, itu gue udah sujud syukur, La." "Ayo, kalau lo bisa masuk tiga besar, gue beliin Hp baru, deh." "Anjir, serius?! Oke, deal!" Rey berdecih. Lalu bergumam pelan, "Orang kaya, ya. Dasar sombong." "Oii, pinjem pulpen, dong." Rey menoleh ke belakang, dan memberi pulpen pada teman barunya. "Nih, Tan." "Thank you, Blis." Rey mendengus geli. "Kok Blis? Nama gue Rey." "Lagian lo manggil gue 'Tan'. Kurang asem banget lo." "Kan nama lo Titan. Bodoh." "Eh, iya juga. Gue lupa." Titan menggaruk kepalanya, sambil menyengir tidak jelas. "Nama sendiri aja lupa." "Gue tuh ingetnya, nama gue Liam Payne." "Terserah, dasar stress." Rey terkekeh pelan, dan itu membuat beberapa murid perempuan tersenyum melihatnya. Rey terlihat tambah tampan saat terkekeh begitu. Lolla pun ikut bertopang dagu. Memerhatikan Rey yang asyik mengobrol dengan Titan. Dari sekian banyak murid lelaki, kenapa Rey mengobrol dengan Titan? Titan itu kan sedikit rada-rada. Kalau Rey tertular, bagaimana? Nada menoyor kepala Lolla. "Lagi-lagi merhatiin tuh cowok. Gimana ini jawaban gue? Ada yang salah, nggak?" Lolla kembali memeriksa buku Nada. "Erm ... ada dua soal yang kurang bener. Seharusnya--" "Gapapa, nanti aja lo jelasin. Gue mau langsung minta nilai aja, ah." "Loh? Kok gitu? Sekarang aja gue kasih tau yang bener." "Jangan. Lo tadi udah ngajarin gue caranya, 'kan. Ini jawaban murni gue. Walau masih ada yang salah, yang penting udah berusaha." Nada tersenyum dan bangkit berdiri. Berjalan menuju Pak Syafarin, untuk meminta nilai. "Lo emang beda, Nad." Lolla jadi teringat, masa-masa SMP. Semua temannya selalu menyontek PR dan tugasnya. Mereka memasang senyum manis, dan bicara halus. Tapi, jika Lolla menolak memberikan contekan, mereka langsung memaki Lolla seperti Lolla adalah penjahat. "Dasar pelit. Mentang-mentang pinter!" "Sok banget, dasar orang kaya." "Dia pinter juga pasti karena les di tempat mahal. Belagu." "Udahlah, nggak usah temenin cewek sok pinter kayak dia." "Iya, biarin aja dia nggak punya temen. Mampus." Lolla tidak sadar kalau dirinya sedang menjadi pusat perhatian, karena ia tiba-tiba menangis. "Lolla, Lolla! Lo kenapa?!" Nada panik, namun Lolla malah langsung memeluk Nada. "Makasih, Nad." "La, lo kenapa tiba-tiba nangis?" Lolla menggeleng. "Gapapa." Nada hanya menghela napas dan mengusap punggung Lolla. Mungkin, orang yang sedang menangis, memang selalu berbohong jika ditanya 'kenapa'. Nada tidak marah, jika Lolla tidak mau menceritakan masalahnya. "Nad, jadi temen gue terus, ya? Janji?" "Janji." Di sisi lain, Rey semakin tidak mengerti dengan tingkah Lolla. Apa dia hanya mencari perhatian? "Dasar cewek aneh." []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD