PART 09

1083 Words
Author POV Celia menatap deretan pepohonan yang berbaris di sepanjang jalan yang di lalui oleh mobil sport berwarna hitam. Pria di sebelah kiri Celia fokus menyetir. Keheningan benar-benar menelan mereka. "Apa kau betah tinggal di daerah yang sepi ini?" Celia memecah keheningan. "Tinggal di sini tenang tanpa ada siapapun yang mengganggu," jawabnya. Celia menoleh padanya dan mengerutkan kening. "Daerah ini sangat sepi, Fran. Bagaimana bisa kau betah tinggal di sini? Apa kau tidak bisa membeli rumah di kota saja?" tanyanya. Franco tersenyum kecil. "Sudah terbiasa. Aku punya mansion di Tuscany." Franco memiliki mansion yang megah. Berpenghuni limabelas pelayan, empat penjaga mansion dan satu orang kepercayaan. Masing-masing pelayan memiliki tugas sendiri, para penjaganya pun duapuluh empat jam bertugas di mansion. Fazio, orang kepercayaan Franco itu bertugas mengawasi mereka dan menuruti setiap perintah dari Franco. Abel, Larvell dan Victor mereka tentu memiliki tempat tinggal sendiri. Tak kalah mewah dengan Franco. Namun mereka punya alasan yang sama seperti pemimpin mereka. Apa para pekerja tahu kalau Franco pemimpin gangster? Tentu saja! Mereka semua tahu, tapi mereka bungkam dan takut. Celia mengerutkan keningnya lagi. "Kenapa kau tidak tinggal di Tuscany kalau begitu?" "Lebih asyik tinggal di rumah tua dengan teman-temanku." Franco tersenyum tipis. Celia terdiam. Pilihan Franco dan teman-temannya tidak biasa. "Kau tidak ingin pulang?" tanya Franco melirik Celia sekilas. Celia mendesah. "Untuk apa aku pulang? Tidak ada lagi yang mempedulikan perasaanku." "Keluargamu?" Celia tersenyum getir. "Mereka sangat peduli juga perhatian. Saking perhatiannya, mereka begitu posesif. Seakan-akan aku ini tahanan! Aku bukan wanita yang bebas. Aku sendiri merasa aneh, aku punya nama Francesca yang artinya wanita yang bebas. Tapi nasibku justru sebaliknya ....." "..... tapi itu dulu, saat ada alasan lain kenapa mereka seperti itu padaku. Mereka menghindari aku dari kejahatan. Sekarang keadaan sudah aman, mereka tidak lagi terlalu posesif dan mereka seenaknya saja menjodohkanku dengan pria yang sama sekali aku tidak kenal. Pernikahan atas dasar kerja sama perusahaan," tambah Celia. Franco berdehem. "Jadi karena itu kau kabur?" Celia tersenyum geli. "Ya. Sampai aku tersesat di tempat ini. Aneh bukan?" Jika aku tidak dibentak dan ditampar Ayah, aku masih bisa bertahan. Tapi pria yang ku sayangi itu menamparku untuk pertama kalinya hanya karena aku menolak perjodohan. Rasanya hati ini sangat sakit, tidak ada yang membelaku. Ibu atau Nauora, batin Celia dengan lirih. Franco membaca pikiran Celia, dia menahan senyum puasnya. Merasa puas akibat hal yang terjadi pada Celia, membawa Celia sendiri ke tempat dimana ada orang-orang yang berencana balas dendam. Franco menepuk bahu Celia. "Sudahlah! Jangan terlalu dipikirkan. Ini hidup, pasti ada saja masalah. Nikmati masalah itu dan optimis bahwa kau bisa melewatinya." "Aku baru tahu pria seperti kau bisa memberikan aku nasehat." Celia tersenyum sembari menatapnya. ___________________________________ Seorang pelayan wanita cafe, menaruh secangkir coklat panas dan secangkir kopi hitam di atas meja. Celia tersenyum kepada si pelayan. Pelayan itu melenggang pergi. Franco mengajak Celia ke sebuah cafe di dekat pusat kota Bergamo. Pengunjung cafe itu tidak terlalu ramai. Franco menatap pemandangan luar cafe yang cukup ramai. "Aku mengajakmu kesini supaya kau tidak stress," gumam Franco. Celia menghirup aroma coklat panas lalu tersenyum. "Ya, aku memang bosan, tapi sebenarnya tadi aku ingin di rumah saja," katanya. "Apa aku salah mengajakmu kemari?" "Tidak. Justru aku berterimakasih, aku suka coklat panas. Di rumah itu tidak ada coklat panas." Franco tersenyum geli. "Kau suka coklat? Kalau kau terlalu sering minum coklat, kau akan gendut. Apa kau mau?" Celia menghela nafas. "Sebenarnya cokelat tidak sepenuhnya membuat tubuh gemuk. Huh, lagipula Aku bisa menjaga postur tubuhku." Hening... Franco menyesap kopi pesanannya masih dengan memandangi suasana luar dari balik dinding kaca. Celia sendiri sedari tadi menatap Franco, menilai Franco adalah pria yang perfect. Lihat saja bahkan pengunjung wanita tidak henti-hentinya melirik ke arah Franco dan berbisik-bisik centil kepada teman-temannya. "Ciao!" Panggil seorang gadis cantik yang duduk beserta lima gadis lainnya. *(Italia | Hai) Celia menoleh dan mengerutkan keningnya. "Mi hai chiamato?" tanyanya. *(Italia | Kau memanggilku) Gadis berambut highlight itu mengangguk. "Boleh aku bertanya?" "Oh, silahkan." "Siapa pria di depanmu itu?" bisiknya dengan tersenyum genit. Celia melirik ke arah Franco sekilas. "Dia-" "Sono il suo amante." Tiba-tiba Franco memotong ucapan Celia. *(Italia | Aku kekasihnya) Celia dengan cepat menoleh ke arah Franco. Apa maksudnya mengaku-ngaku sebagai kekasihku? Batin Celia. Franco berdehem. "Kami sudah tinggal satu rumah. Sebentar lagi--" "Non sono il suo amante!" sambar Celia tidak terima. *(Italia | Aku bukan kekasihnya) "Sayang, kenapa kau tidak mengakuiku? Kau marah karena aku tidak menciummu tadi? Baiklah, maafkan aku." Cih! Aku muak dengan suara lembut palsunya itu, ucap Celia dalam hati. Franco tersenyum geli membaca pikiran Celia. Gadis berambut highlight dan teman-temannya merasa patah hati mendengar pria yang disukai mereka ternyata sudah memiliki kekasih. Apalagi gadis highlight itu bertanya pada Celia, ia merasa malu bertanya dengan kekasihnya si pria tampan itu. "Kau beruntung memiliki kekasih setampan dia. Kalian tampak serasi," ujar teman si gadis highlight. Celia hanya tersenyum tipis lalu kembali menatap Franco, tatapannya menyiratkan meminta penjelasan. "Che cosa?" tanya Franco dengan wajah polosnya. *(Italia | Apa) Celia merasa kesal. "Harusnya aku yang bertanya begitu. Apa maksudmu mengaku-ngaku sebagai kekasihku?" Franco menatap Celia dengan tatapan menggoda. "Semalam kita b******u, Celia. Bukankah kau dan aku seperti sepasang kekasih?" "Cih! Memangnya hal itu akan menjadikan kita sepasang kekasih, tidak! Jangan sampai aku berhubungan dengan pria c***l sepertimu." Celia kesal. "Kau menyebutku apa tadi?" Sial! Aku keceplosan, umpat Celia merasa bodoh..Celia mengulas senyum. "Aku baru menciummu, tapi kau sudah menyebutku c***l?" Franco mengangkat satu alisnya. "Memang benar. Kau mengancamku dengan ancaman tak senonoh jika aku melihatmu saja, memangnya tidak boleh jika aku melihatmu?" balas Celia. Franco tersenyum geli. "Aku tidak mengancammu, Celia. Hanya memberimu peringatan supaya kau tidak membuatku ingin menyentuhmu, tatapanmu nakal tadi malam." Celia hanya memutar bola matanya, itu memang salahnya sendiri. Apalagi Franco bisa membaca pikiran Celia. Celia saat itu membayangi jika berciuman dengan pria dingin seperti Franco dan terjadilah seperti apa yang dibayangkan Celia. "Kau tahu? Aku mudah b*******h, saat-saat ini aku haus akan--" "Smettila! Buang pikiran mesummu itu, Franco! Aku muak mendengar kata-kata vulgarmu," potong Celia. *(Italia | Hentikan) Franco terkekeh. "Itu bisa saja terjadi." "Kau tidak benar-benar menjadikanku sebagai korban pelecehan, kan?" tanya balik Celia dengan sorot matanya yang memendam amarah. "Aku hanya bercanda." "Syukurlah." Celia bernafas lega. Hari ini Franco akan menghabiskan waktu dengan Celia. Jalan-jalan, makan berdua di luar dan membantu Celia menghilangkan rasa bosannya. Agar Celia betah tinggal di rumah tua itu, toh Franco akan memanjakan Celia. Berpura-pura ramah, hanya demi membuat Celia nyaman dan tidak memikirkan lagi untuk pulang ke Florence. Sebulan lagi, dendamku akan terwujud. Batin Franco. **********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD