PART 08

1004 Words
Celia POV Aku menuruni tangga seraya celingak-celinguk ke penjuru arah rumah tua ini. Rumah ini benar-benar sepi pagi ini, hanya ada beberapa pelayan. Itupun mereka melaksanakan tugas. Ada yang menyapu, mengepel dan lain-lain. Para pelayan tampak tidak berwajah ramah, mereka selalu menatapku datar. Menyapa? Sama sekali tidak! Bicarapun ketika ada hal yang penting. Suasana di tempat ini sangat berbeda. Aneh, seram dan asing. Ah, aku merindukan suasana mansion. Menyenangkan, tidak seperti tempat ini. Apa aku pulang saja? Tidak, tidak. Jika aku pulang pasti orangtuaku memaksaku untuk menerima perjodohan sialan itu. Bahkan sepertinya mereka tidak mencariku. Aku sudah di rumah ini sejak dua hari yang lalu, tapi tidak ada tanda-tanda pencarian orang hilang di sini. Sebesar itu Ayah dan Ibu marah padaku? Hanya karena perjodohan gila? Aku menyayangi mereka, tapi mereka selalu memaksa apapun yang mereka inginkan. Apapun! Segalanya. Kemana aku pergi, berteman dengan siapa, sampai-sampai mereka menyewa pengawal untuk mengikutiku kemana pun aku pergi. Itu terlalu berlebihan, bukan? Bahkan Ayah sama sekali tidak mengizinkan aku berteman atau memiliki kekasih, jika aku belum memperkenalkannya pada Ayah. Aku selalu menuruti kemauannya, membawa teman pria atau kekasihku untuk berkenalan dengan Ayah, tapi kenapa aku masih saja dijodohkan? Perjodohan atas dasar kerja sama perusahaan dan nama baik keluarga. Nama baik keluarga katanya? Jika memang begitu, kenapa nama marga kami dihapus olehnya? Dari lahir sampai aku berumur 15 tahun namaku sebenarnya adalah Celia Francesca Gaspard. Tapi entah kenapa saat insiden yang menimpa perusahaannya, Ayah menghapus nama marganya. Padahal Ayah berjanji membawa marganya pada keturunannya, orang-orang akan mengenal aku adalah anaknya. Kakakku, Nauora Lucrezia Gaspard. Ayah juga menghapus nama marganya. Ayah hanya mengatakan demi kebaikan aku dan Nauora dari kejahatan. Ibu juga bilang kalau aku dan Nauora adalah incaran penjahat. Oke, aku mengerti kenapa orangtuaku sebegitu posesifnya, mereka tidak ingin kedua putrinya celaka. Tapi bukankah Ayah memiliki banyak pengawal? Kenapa Ayah mesti takut dengan ancaman si penjahat. Ayah bisa melaporkannya pada polisi, tapi kenapa harus menghapus nama marga kami? Setelah insiden di perusahaannya, kami sekeluarga sementara waktu pindah dan menetap di Amerika. Selama 5 tahun kami di sana, setelah itu kami kembali Italia. Ayah bilang bila keadaan sudah aman, ia sengaja memboyong kami ke Amerika untuk menghindari si penjahat. Seberbahaya apa penjahat yang dimaksud? Sekarang baru dipastikan keadaannya aman, Ayah kembali sibuk bekerja, kerja dan kerja. Sampai melakukan perjodohan gila! Yang membuatku sakit hati, Ayah menamparku, memaksaku, berbuat kasar hanya karena aku menolak keinginannya. Ada satu pertanyaan yang masih melekat di otakku sampai saat ini. Siapa penjahat itu? Kenapa penjahat itu tidak mencari-cari aku dan Nauora? Ataukah dia tidak menemukan kami? Orangtuaku hanya menjawab penjahat yang mengincar kami, mereka adalah kelompok yang terdiri dari empat orang, mereka pandai menyembunyikan siapa diri mereka sebenarnya. Tidak ada yang tahu jika empat pria itu adalah gangster. Tunggu, gangster? Empat pria? Entah kenapa aku menghubungkan gangster yang dimaksud Ayah dengan empat pria di rumah ini. Oh astaga, Celia! Buang pikiran burukmu! Mana mungkin mereka gangster, kalau memang iya pasti kau sudah dibunuh sejak kemarin. Batinku. Sampai saat ini rasanya aman-aman saja. Tidak ada bahaya. Semua baik-baik saja. Aku bingung, kenapa hanya dengan Ayah melihat rekaman CCTV, Ayah bisa menyimpulkan bahwa penjahat itu mengincar kami. Aku juga sempat melihat rekaman CCTV diruang kerjanya saat itu, memang ada satu pria memegang bingkai foto. Fotoku dan Nauora. Mungkin penjahat itu yang terkesima melihat kecantikan kami di foto itu, bisa saja kan? Aku, keluargaku dan tim kepolisian tidak bisa melihat jelas wajah mereka. Mereka memakai penutup kepala. Aku melihat rekaman CCTV itu berpendapat bahwa empat pemuda yang dimaksud gangster itu sangat mahir dalam beraksi. Mampu menewaskan lima belas pengawal Ayah. Pantas saja Ayah sangat posesif padaku dan Nauora, benar mereka itu berbahaya. Apa gangster yang mati itu adalah orangtua mereka? Aku mendengar satu orang meneriakinya dengan sebutan Ayah dan Ibu. Aku melihat empat pemuda itu meratapi mayat gangster tua. Apa mereka mengincar aku dan Nauora karena orangtua mereka mati? Lalu kemana mereka sekarang? Tidak ada hal buruk terjadi padaku dan Nauora. "Celia!" Aku mengerjap, lamunanku buyar begitu saja. Seseorang memanggilku. Aku mencari si pemanggil. Suaranya seperti pria c***l itu, maksudku Franco. Ya, sejak kejadian semalam di garasi aku menganggap Franco si pria c***l. Beraninya dia merenggut ciuman pertamaku dan mengancam akan memperkosaku, jika aku berani menatapnya nakal. Ah, itu juga karena kebodohanku. Aku menatap bibirnya yang terkesan seksi. "Celia!" Aku mengerjap. Habituasiku sering melamun semenjak berada di rumah tua ini. Benar kataku, Franco pria c***l itu yang memanggilku. Pagi ini ia terlihat tampan dengan pakaian casual. Franco berdiri di ambang pintu utama, lalu melangkah ke tangga. Ya aku masih berdiri di tangga. Entah sudah berapa lama aku melamun dan kenapa yang sebelumnya aku menuruni tangga sampai bisa berhenti di tengah anak tangga ini. "Kau suka sekali melamun. Kalau kau nanti jatuh bagaimana? Kau bisa terluka," katanya di ujung tangga bawah. Ngomong-ngomong ada yang berbeda darinya, suaranya lembut dan tidak menatapku tajam. Apa yang membuatnya berubah begitu? "Jangan sok perhatian!" Sinisku. "Kau terlalu percaya diri," balasnya. Sekarang suaran dan sorot matanya berubah lagi, seperti dirinya yang biasa, dingin. Dia mudah sekali berubah sikap. Aku menatapnya tidak peduli. "Lalu apa kalau tidak perhatian?" "Bila kau jatuh, kau hanya merepotkanku saja," balasnya. Aku mencebikan bibir setelah mendengarnya. "Ikut aku!" ajak Franco. Aku mengerutkan kening. "Kemana?" "Ke suatu tempat, aku tahu kau bosan di rumah tua ini terus." "Tidak! Aku takut kau akan mac-" "Aku tidak akan macam-macam. Buang pikiran mesummu itu!" Sergahnya dengan cepat. Aku terkejut, bagaimana pria itu tahu apa yang ku pikirkan? Tadi aku berpikir takut kalau Franco mengajakku ke suatu tempat yang sepi dan melakukan hal senonoh padaku, seperti semalam. "Cepat, Celia!" Ajaknya lagi, dengan memaksa. Aku menggeleng. "Tidak! Aku tidak mau! Kau pergi saja sendiri." "Kau berani menolakku? Kau mau aku usir? Ingat! Di sini kau hanya menumpang," sarkasnya. Aku menghela nafas. Franco melangkah dan aku mengekorinya. Mobil sport-nya sudah terpakir di pelataran rumah tua ini. "Masuk!" Perintahnya saat sudah membukakan pintu mobilnya ke atas. Aku masuk dengan malas, sebenarnya aku tidak ingin kemana-mana. Tapi dia memaksa dan mengancamku. Franco sudah di sampingku dan melajukan mobilnya. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD