PART 07

1654 Words
Franco POV Aku melepaskan genggamanku padanya, gadis itu memandangku bingung. Aku sudah mengantarnya sampai depan kamarku, tapi dia belum masuk juga. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanyaku dengan acuh tak acuh. "Kau tidak mengatakan sesuatu padaku?" jawab Celia dengan tatapan intens. "Mengatakan apa? Sudahlah, kau masuk dan istirahat!" Aku membalikkan tubuhku hendak pergi. "Tunggu!" Aku berhenti dan kembali menoleh padanya. "Kau tidak merasa bersalah sama sekali?" tanyanya. Aku membalas pertanyaannya. "Memangnya aku punya salah apa padamu?" "Perbuatanmu di garasi." Aku tersenyum sinis. "Bukan aku yang memulai, tapi kau." Dasar pria b******k! Aku kan hanya menatap bibirnya saja tidak benar-benar berniat merasakan ciumannya. Aku tersenyum membaca pikirannya barusan. Gadis ini hanya berani mengataiku b******k. Jika malam ini aku tidur dikamarnya, pria satu ini akan tidur dimana? "Kau gunakan saja kamarku itu semaumu. Selama kau mau. Aku akan menggunakan kamar lain." Aku menjawab pertanyaan dalam hatinya. Celia mengangguk. "Baiklah." Saat Celia membuka handle pintu aku memanggilnya dan dia menoleh padaku. "Kau tidak berterimakasih padaku?" tanyaku. "Untuk apa?" tanyanya. "Aku sudah membiarkanmu menempati kamarku." Celia mengangkat satu alisnya. "Bukan aku yang meminta, tapi kau yang menyuruhku." Haha, rasakan pembalasanku pria menyebalkan! Kata Celia dalam hati. "Apa kau lupa? Tanpa izinku kau tidak akan bisa menginap di rumah ini, mungkin tadi pagi aku sudah mengusirmu." Aku menatapnya tajam. Celia memutar bola matanya seraya mendengus kesal. "Terimakasih, tuan Franco Alemannues." Celia mengucapnya dengan nada meledek. "Alemannues? Sejak kapan aku mengizinkanmu mengganti namaku?" tanyaku dengan nada kesal. "Oh, salah ya? Jadi yang benar apa?" Menjengkelkan. Tanpa menjawabnya, aku melenggang pergi. Tidak menghiraukan tawa gelinya itu. Kurang ajar sekali gadis baru itu. Dia pikir dia siapa? Kalau aku tidak ingat dia umpanku, aku sudah membunuhnya. __________________________________ Aku membuka pintu sebuah ruangan, tempat aku dan POVOSTE membahas rencana. "Sudah puas bertengkar dengan Celia?" Victor menatapku dengan tatapan menggoda. Aku menutup pintu, menguncinya lalu melangkah dan duduk di sofa. Victor berada di kursi pantry bar. Kami memiliki mini bar di ruangan ini. Ruangan ini selain tempat rapat POVOSTE, kami sering menggunakannya untuk bersantai. "Gadis itu sudah berani mengejekku. Rasanya ingin sekali aku membunuhnya." Aku mengingat kejadianku dengannya sebelumnya. Aku mengambil cerutu lalu menyalakan api di ujungnya dan menghisapnya. Asap rokok mengepul dari mulut dan hidungku. "Kau tertarik dengannya?" Pertanyaan Larvell membuatku terkekeh. Aku tertawa dan membalasnya. "Tertarik dengan putrinya Manfredo Gaspard? Dia hanya umpan." "Lalu maksudmu apa dengan mencium bibirnya? Kami melihat kalian berciuman di garasi, bos," sambung Abel. Tawa mereka menggema di ruangan ini. Aku tidak terkejut bila mereka melihatnya. "Dia menatap bibirku dan membayangkan aku menciumnya. Ya, sudah aku jadikan bayangannya itu menjadi nyata," ujarku. Victor beralih duduk di sofa depanku. "Tidak masalah bila kau tertarik dengannya, dia cantik dan menggairahkan. Kau bebas tertarik padanya, tapi sebelum itu kau harus mewujudkan dendammu. Dendam kita kepada Manfredo Gaspard," katanya. "Kau tidak boleh mengkhianati kami atau janji yang kau tanam selama sepuluh tahun ini," tambah Larvell. "Ingat! Ayah gadis itu curang dengan menelpon pengawalnya dan menewaskan orangtua kita. Celia harus merasakan apa yang kita rasakan." Abel menatapku serius. Aku menghembuskan asap rokok dan mengernyit. Meskipun kami berdarah dingin, jika menyangkut keluarga atau orang terdekat, kami tidak bisa terima ketika mereka terluka apalagi sampai tewas Perasaan hanya kami berikan kepada orang yang pantas. Bukan untuk musuh. Seperti Abel, Larvell dan Victor mereka sudah mencintai seorang wanita yang menurut mereka pantas cintai. Ketiga temanku itu beruntung, mendapatkan wanita yang bisa menerima mereka sebagai gangster. Tapi sayangnya, kekasih mereka penguras harta dan mereka terpaksa untuk bisa mencintai karena suatu alasan. Victor terpaksa mencintai kekasihnya lantaran kekasihnya tengah hamil dan akan menikah. Abel bisa mencintai kekasihnya karena kekasihnya penurut, menuruti hasratnya. Larvell? Aku tidak terlalu tahu tentang hubungan asmaranya, dia sedikit tertutup. Meskipun ia sempat mengatakan bila ia mencintai seorang wanita yang tak ia sebutkan namanya. Aku bisa saja mengetahuinya lewat kemampuanku, tapi ku pikir lagi dia punya privasi. Aku juga punya kekasih, tapi aku tidak mencintainya. Hanya ku jadikan pelampiasan dan ku manfaatkan semauku. Franco Alemannus belum pernah jatuh cinta, aku terlalu fokus akan kelompok ini. Yang aku pikirkan sekarang adalah dendamku harus terwujud. Gadis itulah umpanku, Celia Francesca. Aku mengangkat satu alisku saat Larvell menaruh sebuah undangan pernikahan di atas meja tepat di depanku. "Apa ini undangan pernikahanmu, Victor?" tanyaku. Victor terkekeh. "Itu undangan dari mantan kekasihmu, si boykiller. Kau masih mengingatnya bukan?" Ahh... ternyata pembunuh perasaan itu. Zita Violencia, gadis cantik yang dijuluki boykiller lantaran hobinya yang senang sekali menghancurkan hati pasangannya. Aku dengannya menjalin hubungan hanya selama dua bulan, saat umurku 23 tahun dan dia 20 tahun. Berawal kami bertemu di salah satu klub di kota Milan. Dia gadis yang sama seperti Celia, tidak mau ada pria yang menyentuhnya. Tapi yang berbeda adalah Zita gadis super emosional jika sedikit saja aku menyentuhnya cenderung mengarah hal yang lebih, dan ia tidak pernah berpikiran nakal saat menatapku. Dia memutuskanku dengan dua alasan, yang pertama karena aku seorang gangster dan dia memang hanya menjadikanku korbannya. Sudah resiko berpacaran dengan player sepertinya. Saat ia memutuskanku karena dia hanya menjadikanku korban perasaan, aku marah. Marah bukan karena diputuskan begitu saja, aku marah karena berani sekali mempermainkanku. Aku sempat menyondorkan kematian padanya dan mengancamnya untuk tidak memberitahu siapapun jika aku adalah anggota POVOSTE. Zita setuju dan kami resmi putus. Tapi aku ingat jika ia sudah menyelamatkan hidupku. Jadi walaupun dia tidak menepati janjinya, aku tidak akan takut dan tidak akan ku apa-apakan dia. Sekarang boykiller itu menikah? Jadi sudah ada pria yang menaklukan hatinya? Itu bagus. "Dari mana kau dapat undangan ini, Victor?" tanyaku. Victor menatapku. "Pelayan yang memberikan undangan ini padaku, untukmu. Tangan kananmu tadi sore mengantarkan ini." "Hmmm." "Kau tidak ingin melihat siapa calon suaminya? Lihatlah! Kau pasti sangat terkejut." Victor menyondorkan undangan itu. Aku mengambilnya dan melihatnya, mataku sukses terbelalak melihat siapa calon suaminya. "Darrel Alaric!" Aku tercengang. Aku kenal siapa dia. Darrel Alaric, salah satu miliarder di Negara ini dan memiliki reputasi yang sama seperti Zita, dia si ladykiller. Oh astaga! Dua pembunuh perasaan itu menikah? Bagaimana bisa? "Mantan kekasihmu itu akan menikah dengan target kita selanjutnya," ucap Larvell. Ya kami berencana akan merampas harta Darrel Alaric. Bahkan sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Tapi melihat targetku itu akan menjadi suami dari gadis yang sudah menyelamatkanku, aku harus apa? Mengagalkan rencana? Tiba-tiba suara ketukan pintu membuat kami menoleh, berharap bukan Celia. Aku beranjak dan membuka pintu, ternyata Fazio. Dia adalah tangan kanan atau orang kepercayaanku. Untuk apa dia malam-malam kesini dari Tuscany, tempat mansion ku berada. "Masuk, Fazio!" kataku. Aku kembali duduk di sofa dan menatap Fazio yang berdiri di samping sofa. "Ada maksud apa kau kemari? Kau tidak bertemu dengan Celia disini 'kan saat kau masuk?" Fazio tahu Celia, orang keperacayaanku itu tahu jika Celia umpan untuk balas dendam. "Aku sempat bertemu gadis itu di rumah ini, Tuan. Karena dialah pertama kali membukakan pintu saat aku datang tadi sore. Tapi Tuan tenang saja. Dia tidak curiga dan tidak banyak bertanya. Dia hanya bertanya siapa aku dan untuk apa aku kesini." Jelas Fazio. "Lalu?" Aku menatapnya tajam. "Aku menjawab bila aku orang suruhan pengantin yang akan menikah untuk memberikan undangan itu kepadamu, lalu salah satu pelayanmu datang dan aku menyerahkan undangan dari nona Zita untukmu, Tuan." "Yang penting kau bisa mengelabui Celia. Lalu untuk apa kau ke sini?" Fazio menyerahkan sebuah lipatan kertas. "Aku lupa memberikan surat ini. Saat nona Zita datang ke mansion, ia memberikan undangan pernikahannya dengan surat ini." Paparnya. Aku mengambil surat itu. "Ya sudah, sekarang kau cepat pergi dari sini!" "Baik, Tuan." Aku membuka lipatan surat dan membacanya. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Untuk : Franco Alemannus Hai, apa kabarmu bos mafia? Aku harap kau baik-baik saja. Ngomong-ngomong apa kau masih menjadi gangster, huh? Kau sudah menerima undangan pernikahanku, kan? Datanglah kemari kalau kau sempat. Aku tidak punya nomor ponselmu, jadi aku mengirim surat saja. Hey! Ku mohon jangan jadikan Darrel Alaric targetmu, aku takut kau akan bertindak kriminal padanya. Dan jangan jadikan Azqa, miliarder asal Jerman itu juga sebagai targetmu. Pria itu suami dari Rana, sahabatku. Jangan jadikan orang-orang terdekatku sebagai korbanmu ya? Aku harap kau mengerti dan mengabulkannya. Ingat aku masih memegang janjiku untuk merahasiakan siapa dirimu dan POVOSTE. Balaslah kebaikanku dengan menuruti kemauanku! Hehehe... Ku harap kau segera menemukan cinta sejati sepertiku ya :) Aku tunggu undangan pernikahanmu ketua gangster. Mantanmu, Zita Violencia. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Aku tersenyum, dia benar-benar menjaga janjinya. Sebenarnya aku tidak peduli kalau Zita membeberkan siapa aku, namun ada hal lain kenapa aku menuruti kemauannya. Dia pernah menyelamatkan hidupku. Aku menatap Victor, Abel dan Larvell. "Rencana perampasan Darrel, dibatalkan!" ucapku dengan menaruh surat dari Zita di atas meja. Mereka sama-sama membaca lalu menatapku. "Jadi apa kau juga tidak berniat menargetkan Azqa itu?" Larvell mengerutkan keningnya. Aku menghela nafas. "Ya, istrinya orang terdekat Zita. Aku harus menuruti kemauannya." Zita pernah menolong nyawaku. Aku pernah kritis akibat peluru bersarang di punggungku. Saat itu terjadi penyerangan terhadap kelompokku, dan aku yang terkena tembakan. Tapi POVOSTE menang berkat kemahiran aksi kami, meski aku harus mengorbankan punggungku. Zita yang dulunya masih menjadi kekasihku, mendonorkan darahnya untukku. "Lalu rencana kita apa kalau rencana itu dibatalkan?" Victor menatapku seraya menyesap champagne-nya. "Sudah dapat kabar tentang Manfredo Gaspard?" Aku menatapnya serius. Abel berdehem. "Dia dan istrinya saat ini berada di Filipina, urusan pekerjaan." "Kapan ia kembali?" tanyaku. "Bulan depan." Victor beralih menjawab pertanyaanku. Lelaki sial itu pergi ke luar Negeri, apa dia tidak mengkhawatirkan anaknya? padahal gadis cantiknya berada di sini. Aku beranjak dan menuju mini bar, menuang vodka ke dalam gelas dan menyesapnya. "Rencana akan dilakukan bulan depan. Saat ini yang perlu kita lakukan, buat Celia betah sampai ia tidak berniat untuk kembali ke Florence. Setelah itu, Manfredo è lieto di rivederti!" Aku menyunggingkan senyum iblis. *(Italia | Senang bertemu denganmu lagi) **********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD