Jenazah Vino selesai di makamkan, Riana masih setia berada di dekat batu nisan yang bertuliskan nama Ravino Helion.
Air matanya memang sudah tidak lagi keluar tetapi ke dua matanya masih terlihat sembab. Sekarang dia sudah mulai baik, meski kenyataan di hadapannya harus dia lalui, kenyataan bahwa dia harus kehilangan Vino untuk selamanya.
“Ayo kita pulang,” ajak Maya yang sejak tadi berada di samping Riana.
Riana menoleh sebentar kemudian kembali menatap nisan, berat rasanya untuk dia melangkah meninggalkan gundukan tanah yang masih basah, yang penuh dengan taburan bunga ini.
“Ana, ayo Sayang,” ucap Maya kembali menyentuh bahu Riana saat melihat Riana yang tidak berniat untuk beranjak sedikit pun dari tempatnya.
Riana akhirnya mengangguk, lalu berjalan menjauhi pemakaman di mana menjadi tempat peristirahatan terakhir sang kekasih hatinya.
Mereka berjalan menuju mobil milik keluarga Helion, Gaisa terus berada di samping kakaknya, sejak tadi tak sedikit pun dia jauh dari Riana. Gaisa terus menguatkan saudara satu-satunya itu.
Angga melihat kepergian kedua orang tua dan calon kakak iparnya itu. Dia masih berada di dekat nisan Vino, memilih untuk berdiam sebentar lagi di sini. Dia kembali berjongkok, mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Kakaknya.
Rasanya masih seperti mimpi namun ini nyata, bahkan dia juga ikut memasukkan jenazah Vino ke liang lahat saat pemakaman tadi.
“Apa ini yang di maksud sama lo, Mas,” gumamnya.
“Gue mau nikah,” kata Vino kepada Angga, adiknya.
Angga sudah tak kaget lagi. Karena dia tahu kalau kakak laki-lakinya ini memang memiliki kekasih yang sudah di pacarinya cukup lama. Jadi sudah hal yang wajar jika tahun ini Vino melangkah ke jenjang yang lebih serius bersama dengan kekasihnya.
Selama kakaknya berpacaran, Angga sama sekali tidak pernah mengenal secara langsung kekasih dari Vino. Bukan tidak ingin bertemu tetapi memang selalu ada hal yang membuat mereka urung untuk bertemu.
“Akhirnya lo nikah juga,” ucap Angga, kemudian dia menyeruput latte yang tadi dia pesan. “Calon istri lo, pacar lo kan bukan yang lain?” tanyanya.
“Iya lah! Siapa lagi, gue itu setia,” balas Vino.
“Kali aja, kan nggak tau juga.”
“Dasar! Lo kapan pulang bawa pacar ke rumah? Ibu tanyain terus, punya anak dua tapi cuma gue doang yang ada di rumah. Sampai kapan lo mau di luar hidup mandiri kaya gini?”
“Sampai gue bisa tunjukin sama Ayah kalau gue bukan anak manja yang selalu dia bilang, Mas.”
“Udah lah, Ayah juga udah pengen lo pulang. Lagian masalah itu jangan sampai berlarut-larut.”
“Ya bagi lo enteng, Mas. Gue nggak terima, lo tau sendiri Ayah kerasnya gimana. Selalu nekan gue buat ini itu, ambil jurusan yang malah keinginan dia.”
“Tapi kasihan Ibu, pulang sebentar kan apa salahnya.”
“Iya nanti gue pulang, kalau lo nikah.”
“Angga!” geram Vino mendengar perkataan adiknya yang begitu enteng.
“Kalau seandainya gue enggak ada, gue titip calon istri gue ya,” ucap Vino tiba-tiba membuat Angga menatapnya.
“Maksud lo apa sih, Mas? Aneh banget tiba-tiba ngomong kaya gitu.”
“Gue juga aneh kenapa tiba-tiba ngomong kaya gitu, kepikiran aja. Lo mau kan janji sama gue, kalau gue pergi nanti lo jagain dia buat gue.”
“Emang lo mau pergi ke mana sih, Mas? Lo kan mau nikah, lo tega tinggalin calon istri lo kaya gini?”
“Nggak ke mana-mana sih. Tapi lo janji dulu deh sama gue,” kekeuh Vino.
“Aneh banget lo!”
“Janji Ga, lo jagain dia buat gue ya,” tekan Vino.
“Iya-iya, maksa banget sih jadi orang, heran!" ucap Angga akhirnya mengiakan apa yang sejak tadi kakaknya minta.
Angga mengelus nisan Vino, “Gue janji jagain dia buat lo. Tapi kalau gue jatuh cinta sama dia gimana, Mas?”
**
Riana sudah berada di rumah Vino kembali. Mungkin untuk beberapa waktu dia akan menginap di sini dengan Gaisa, itu yang Maya minta kepadanya tadi saat mereka dalam perjalanan pulang dari pemakaman.
Riana masuk ke dalam kamar Vino, dia duduk di tepi ranjang dengan kedua tangannya yang memegang foto Vino bersamanya. Air matanya kembali tak tertahankan, wajahnya yang sendu menatap foto mereka berdua.
“Sekarang aku harus gimana kalau nggak ada kamu,” lirihnya.
Riana menyimpan foto tersebut lalu dia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur milik Vino. Wangi laki-laki itu terasa di bantal yang dia gunakan, seolah wangi sang pemilik kamar ini tidak pernah hilang.
Riana memeluk bantal guling, memejamkan matanya dan berharap bertemu dengan Vino dalam mimpinya. Dia ingin bertanya, kenapa Vino tega meninggalkan dia seperti ini?
Di balik pintu kamar, Maya terdiam menatap Riana yang tengah berbaring di kamar anak pertamanya. Maya kembali sendu melihat bagaimana kesedihan yang di rasakan oleh Riana karena kepergian Vino. Bahkan menjelang hari bahagia mereka, Vino harus pergi untuk selamanya.
“Tante ...”
Gaisa memanggil Maya yang tengah berdiri di depan pintu kamar calon kakak iparnya. Maya yang melihat keberadaan Gaisa tersenyum tipis.
“Sudah selesai? Kamu temani Riana lagi ya, kalian bisa tidur di kamar ini,” ucap Maya mengelus bahu Gaisa.
Gaisa mengangguk, “Sudah. Tadi aku simpan kainnya di dekat lemari ruangan tengah.”
“Makasih ya, Sa. Kamu udah bantuin Tante beres-beres.”
“Iya Tante. Kalau gitu aku temani Kak Riana dulu, sekalian mau ganti baju juga kan habis dari makam,” ucap Gaisa.
Maya mengangguk kemudian menyuruh Gaisa untuk masuk ke dalam kamar, dia memilih untuk menemui suaminya.
**
“Ibu yakin sama keputusan ini? Kita tetap harus bertanya kepada Riana, Bu. Dan belum ada satu hari kepergian Vino. Kenapa Ibu ambil keputusan seperti itu?” tanya Dewa.
Maya mengatakan kepada suaminya, untuk tetap menjadikan Riana sebagai menantu mereka. Maya sudah begitu menyayangi Riana dan ingin sekali tinggal bersama dengan gadis itu di satu atap yang sama.
Dia sangat bahagia saat Vino mengatakan akan menikah dengan Riana dan keinginannya untuk memiliki anak perempuan sekaligus menantu di keluarga ini akan terwujud. Tetapi semua tinggal rencana karena ternyata Tuhan berkehendak lain.
Sampai dia berpikir, dia tetap bisa menjadikan Riana sebagai menantunya. Karena masih ada anak bungsu mereka yang sampai sekarang pun belum terlihat memiliki pasangan, akhirnya dia mengutarakan semua ini kepada suaminya.
“Riana pasti setuju, Ayah. Ibu pengen Riana tetap jadi mantu kita,” pinta Maya.
Dewa mengembuskan napas pelan, ini keputusan yang sangat sulit baginya.
Bukan dia tidak setuju, dia juga ingin Riana menjadi menantunya tetapi jika harus menikahkan dengan anak bungsu mereka, Dewa tidak percaya dengan Angga.
Umurnya terlalu muda jika harus menikah dengan Riana. Dewa hanya tidak ingin jika akhirnya pernikahan anak mereka berakhir di tengah jalan, apalagi pernikahan tanpa cinta seperti ini.
“Yang Ayah pikirkan itu Angga, Bu. Dia terlalu muda buat tanggung jawab sebesar ini. Pada dirinya sendiri saja belum tentu dia bertanggung jawab apalagi kepada Riana nanti, Ayah nggak mau Riana sampai di sia-siakan sama dia.”
“Ayah, percaya sama Ibu. Angga itu sudah dewasa, dia pasti bertanggung jawab. Ayah lupa Angga bahkan memilih untuk tinggal sendiri bahkan menolak fasilitas yang Ayah berikan kepada dia, padahal waktu itu dia masih kuliah.”
“Itu keputusan dia sendiri karena dia tidak mau menuruti kemauan Ayah.”
“Ayah terlalu tegas sama Angga. Ibu nggak mau kalau anak kita malah jauh dari rumah, dari kita. Sekarang kita hanya punya Angga, Yah.”
“Nanti kita tanya anaknya dulu, sedewasa apa dia sekarang untuk memiliki tanggung jawab lain selain dirinya sendiri.”
Maya tersenyum, selama ini Dewa memang begitu tegas kepada Angga apalagi setelah anak bungsu mereka memilih untuk berkuliah di jurusan lain, padahal Dewa ingin Angga menjadi seorang Dokter.
Keinginan itu karena dulu dia yang tidak menjadi seorang Dokter membuat akhirnya Dewa memaksakan Angga untuk masuk ke jurusan tersebut, tetapi saat itu Angga menolak dengan begitu tegas sampai akhirnya Angga memilih pergi dari rumah.
Sekarang Maya tidak ingin Angga pergi dan menjauh dari mereka, satu-satunya cara adalah menikahkan anaknya dengan Riana, menjadi mempelai pria pengganti Almarhum anaknya, Ravino Helion.
**
“Ada apa, Ayah?” tanya Angga.
Tadi Maya menyuruhnya untuk menemui Dewa -Ayahnya- akhirnya saat Angga baru saja tiba di rumah, dia pun langsung menemui Dewa yang berada di halaman belakang.
“Duduk,” ucap Dewa kepada anak bungsunya.
Tak lama Maya datang dengan tiga cangkir teh untuk mereka dan ikut duduk di samping sang suami yang berhadapan dengan anak mereka.
“Gimana kehidupan kamu di luar sana?” tanya Dewa.
“Kenapa Ayah tanya itu, biasanya Ayah sama sekali gak peduli,” balasnya.
“Angga!” tegur Maya.
Dewa menatap tajam anak bungsunya, “Kamu gak punya sopan santun sama orang tua kamu sendiri.”
“Sudah lah, Ayah. Jadi mau apa? Setelah ini Angga mau pulang ke apartemen.”
“Ini juga rumah kamu,” lirih Maya menatap sendu anaknya.
“Kamu masih anak kami. Jaga omongan kamu.”
Angga mendengkus, selalu seperti ini jika dia berhadapan dengan Ayahnya. Seperti api dengan api yang akhirnya saling menyambar.
Setelah kepergian dia dari rumah waktu itu karena menolak masuk ke dalam jurusan kedokteran sesuai dengan keinginan sang ayah, hubungan Angga dengan Dewa memang mulai tidak baik.
Meski sesekali dia juga pulang ke rumah jika sang ibu memintanya atau Vino yang menyuruhnya untuk pulang. Selebihnya kehidupan dia hanya di apartemen, sendirian dan sibuk dengan apa yang selama ini dia kerjakan setelah lulus kuliah.
“Ibu minta sesuatu sama kamu.”
Perkataan Maya akhirnya membuat Angga menoleh ke arah sang ibu. Wanita yang sangat dia hormati dan sayangi selama ini.
Jika berkaitan dengan sang ibu maka Angga akan melakukannya asalkan dia bisa melihat senyum di wajah Ibunya.
“Ibu mau minta apa sama Angga?” tanya Angga kali ini dengan nada penuh kelembutan berbeda sekali saat tadi berbicara dengan Ayahnya.
“Kamu tau kan kakak kamu mau menikah sebentar lagi, tapi ternyata Tuhan berhendak lain,” ucap Maya.
“Tetapi Ibu ingin Riana menjadi menantu Ibu dan Ayah meski Vino udah gak ada,” sambungnya.
“Lalu?”
“Kamu mau kan menikah sama Riana, menjadikan dia menantu Ibu.”