TS 5 : Masih Berduka

1891 Words
Riana membantu Maya memasak untuk sarapan mereka. Sudah tiga hari dia berada di kediaman keluarga Helion bersama dengan Gaisa. Rencananya hari ini Riana akan pulang bersama dengan sang adik ke rumah mereka.  Riana hanya merasa tidak enak saja terlalu lama di sini -meski keinginan Maya- apalagi selama di sini, bayangan Vino terus saja mengisi pikirannya.  Riana tidak bisa melupakan kekasihnya. Selesai memasak nasi goreng, Riana membawanya menuju meja makan di mana Maya sudah sibuk dengan menyiapkan minuman untuk mereka, empat gelas air putih satu satu gelas jus apel untuk Angga yang tak lain calon adik iparnya. Laki-laki itu juga tinggal di sini sudah dua hari karena perintah dari Maya. Selama di sini, tidak pernah sekali pun Riana berbicara dengan Angga. Sikapnya yang tertutup membuat Riana juga segan bahkan untuk sekedar menyapa.  Ini memang kali pertama mereka bertemu setelah hampir enam lamanya dia menjadi kekasih Vino, karena Angga memang selalu sibuk dengan urusannya, begitu yang sering kali Vino katakan kepadanya. Satu per satu penghuni rumah duduk mengelilingi meja makan, termasuk dengan Angga yang baru saja bergabung bersama dengan mereka.  Penampilannya kali ini cukup santai, atau memang selalu seperti ini. Mengenakan kaus berwana hitam di tambah celana pendeknya sedikit di bawah lutut. Berbeda sekali dengan Vino yang sering kali memakai pakaian kantor, atau memakai kemeja dan celana panjang setiap kali jalan dengan Riana. Riana dan Angga duduk saling berhadapan. Seperti biasa tak pernah sekali pun saling menyapa. Pun dengan Gaisa yang memang begitu asing dengan laki-laki yang merupakan adik dari calon kakak iparnya itu. Mereka makan dengan tenang, hanya suara sendok yang berdenting menemani mereka. Maya sesekali melirik ke arah anaknya, memastikan mungkin ada sedikit saja tingkah Angga yang menunjukkan ketertarikan kepada Riana, agar apa yang dia rencanakan berjalan dengan baik.  Setidaknya jika Angga tertarik kepada Riana, mudah untuk mereka dekat nanti. Tetapi lagi-lagi Maya harus menelan kekecewaan saat Angga sama sekali biasa saja bahkan tak pernah menatap Riana yang duduk di hadapannya. “Hari ini kamu ke toko, Ana?” tanya Maya setelah mereka selesai makan. “Iya Ibu, nggak enak sama Helen. Ana udah lama ninggalin toko bunga,” jawabnya. Maya mengangguk, “Kalau begitu biar Angga yang antar kamu ke sana,” ucapnya membuat Angga menoleh ke arah sang ibu dengan tatapan protes. Mereka memang masih berada di meja makan, kecuali Dewa yang sudah lebih dulu berangkat bekerja bersama dengan Gaisa yang harus pergi ke kampus.  Sama seperti kepada Riana, Dewa juga sudah menganggap Gaisa seperti anaknya sendiri. Meski tadi Gaisa sempat menolak karena merasa tidak enak, tetapi Maya berhasil membujuknya. “Nggak usah, Bu. Nanti Ana pesan taksi aja.” “Angga juga mau pergi jadi sekalian aja, iya kan Ga?” Maya menatap Angga dengan penuh permohonan. Laki-laki itu mengembuskan napas pelan dan mengangguk singkat.  Tak di sangka pandangan mereka beradu, Riana kembali menundukkan kepalanya, sorot mata yang tajam milik Angga membuat Riana tidak bisa berlama-lama menatap kedua mata Angga.  Ada perasaan aneh di hatinya, yang entah apa. Sementara Angga tampak biasa saja saat kedua mata indah Riana beradu pandang dengannya. Angga beranjak, pergi ke kamarnya -yang memang masih di rawat dengan begitu baik oleh sang ibu meski sangat jarang dia tempati- untuk membawa kunci mobil tidak mungkin kan dia mengantar Riana dengan menggunakan sepeda motor miliknya, apalagi gadis itu terlihat mengenakan rok berwarna cokelat. Sebenarnya hari ini dia tidak ada urusan di luar, tetapi karena sang ibu mengatakan seperti itu mau tak mau Angga menyetujuinya.  Hanya mengantarkan Riana ke toko bunga kan dan setelah itu dia bisa kembali pulang, sepertinya kembali ke apartemen karena sudah terlalu lama dia berada di rumah.   ** Tak ada sedikit pun suara yang keluar dari dua orang yang berada di dalam mobil ini. Selama perjalanan menuju toko bunga, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Bahkan Riana merasa dia bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Angga tampak fokus melihat jalanan, sementara Riana yang juga memilih untuk mengalihkan tatapannya ke arah samping, bingung harus mulai bicara dari mana dan membicarakan apa.  Biasa bersama dengan Vino yang selalu memulai pembicaraan dan ada saja hal yang di bicarakan oleh laki-laki itu, kini bersama dengan Angga yang begitu berbeda membuat Riana tak bisa berkutik. Mobil berwarna putih ini akhirnya berhenti tepat di depan toko bunga dengan nama Naava Florist. Angga mematikan mesin mobil, menyadari mobil ini berhenti Riana pun segera membuka pintu mobil. “Terima kasih,” ucapnya sebelum keluar dari mobil Angga. Angga menatap kepergian gadis itu, sampai masuk ke dalam toko. Perasaannya tidak menentu, apalagi setelah mendengar permintaan sang ibu untuk menikah dengan Riana yang tidak lain adalah kekasih dari Vino, kakaknya. Tetapi sekarang apa masih bisa di sebut sebagai kekasih jika Vino sudah tiada? Beberapa hari ini, Angga memikirkan kata apa yang sesuai untuk menjelaskan semuanya kepada Riana, tentang keinginan sang ibu menikahkan mereka berdua dan tetap menjadikan Riana sebagai menantu keluarga Helion. Bagaimana dia mengatakan ini kepada Riana?  ** “Udah baikan?” tanya Helena kepada Bos sekaligus sahabatnya ini. Riana tersenyum, menganggukkan kepalanya pelan. “Gak baik kan kalau terlalu sedih sampai berlarut-larut,” ucapnya. “Syukur kalau gitu. Aku senang kalau kamu udah baikan, jangan sungkan ya kalau mau cerita. Kita udah lama lho kenal dan kaya saudara sendiri.” “Iya, maaf juga beberapa hari ini aku nggak ke toko.” “Ya ampun, Na. Kamu kaya sama siapa aja, lagian udah jadi tugas aku sebagai pegawai buat handle semuanya.” “Makasih ya, Len.” “Sama-sama. Oh iya, kemarin aku minta kirim lagi bunga mawar soalnya stok udah habis juga apalagi sekarang udah mulai ada yang wisuda. Biasanya kan pada pesan buat kasih rangkaian bunga gitu.” “Iya, kalau emang udah habis. Minta kirim lagi aja.” Mereka pun mulai melakukan kegiatan masing-masing, Riana memilih untuk ke ruangannya lebih dulu yang berada di toko ini. Tempat biasa untuk dia istirahat bersama dengan Helena. Riana memiliki tiga pegawai lain, selain Helena di toko ini. Karena memang toko bunga yang dia rintis lumayan besar. Kecintaannya kepada bunga membuat Riana terus menekuni bisnis ini. Karena setiap bunga bisa memiliki arti dan bisa menyampaikan pesan untuk orang yang menerimanya. Seperti bunga Mawar merah sebagai lambang cinta dan kasih sayang, bunga Tulip yang memberi kesan keromatisan,  ada juga bunga Anyelir berwarna putih yang memiliki arti manis dan cinta, sementara yang berwarna merah menyampaikan pesan “Aku tidak akan pernah melupakanmu” cocok untuk dirinya saat ini yang tidak bisa melupakan Vino, laki-laki yang begitu dia cintai. Banyak bunga dan makna yang begitu berkesan untuknya. Bahkan sering kali Vino memberikan sebuket bunga baby breath yang memiliki arti cinta sejati yang tidak akan pernah berakhir. Yang selalu menjadi sebuah harapan untuk mereka berdua akan cinta yang mereka miliki agar tak akan pernah berakhir.  Nyatanya sekarang semua berakhir, bukan cinta mereka tetapi mimpi mereka untuk hidup bersama selamanya sudah berakhir ketika Tuhan mengambil Vino untuk selamanya. ** Angga nyatanya harus kembali ke rumah setelah mengantarkan Riana ke toko bunga karena sang ibu yang terus saja meneleponnya.  Dia baru saja masuk ke dalam rumah dan Maya langsung memanggilnya untuk berbicara sebentar dengannya. Angga pun duduk di sofa berhadapan dengan sang ibu. “Ada apa, Bu?” tanya Angga. “Ibu mau bicarain lagi yang kemarin, tentang pernikahan kamu sama Ana.” “Angga juga belum bicara ini sama Mbak Ana,” ucap Angga memanggil Riana dengan embel-embel “Mbak” karena bagaimana pun umur Riana dua tahun di atasnya dan sudah seharusnya seperti itu dia memanggil Riana. “Nanti Ibu juga bicara sama Ana.” “Kalau Angga sama Mbak Ana pendekatan dulu gimana, Bu? Maksudnya pernikahan itu kan sakral banget, sekali seumur hidup, Angga sama Mbak Ana juga harus saling kenal dulu sebelum menikah.” “Pacaran dulu gitu?” “Bukan sih, tapi kalau Ibu anggap kaya gitu ya gapapa juga. Pokoknya biar kita dekat dulu, Bu.” “Ya udah kalau emang mau kaya gitu, Ibu nggak masalah. Yang penting kalian nanti menikah. Lagi pula undangan juga emang belum di sebar, jadi nanti bisa siapin semuanya.” “Kalau urusan itu ya sama Ibu aja. Angga kan nggak ngerti yang begituan,” ucapnya. “Iya nanti biar Ibu sama Ana yang urus.” Angga mengangguk.  Kalau memang ini yang harus terjadi, menikah dengan mantan calon kakak iparnya sendiri, Angga tidak bisa menolak apalagi keinginan sang ibu, pun dengan pesan Vino waktu itu yang memintanya untuk menjaga Riana. Janji harus di tepati kan.  ** Hari ini Riana sangat sibuk di toko bersama dengan Helena dan pegawai lainnya. Cukup banyak pengunjung ke toko mereka, membeli untuk di berikan kepada pasangan, kepada Ibu dan ada juga yang membeli untuk hiasan di rumah. Riana sama sekali tidak lelah dengan apa yang dia kerjakan, semua ini sangat dia sukai. “Makan siang di mana, Na?” tanya Helena. Pukul 12 siang, toko memang tutup. Riana memberikan kebebasan untuk istirahat selama satu jam kepada para pegawainya. Pun dengan hari minggu, terkadang memberikan kelonggaran untuk bekerja secara bergiliran, memiliki jatah libur dua kali dalam satu bulan.  Mereka yang merupakan pegawai toko milik Riana sangat senang dengan jam dan jatah libur yang di berikan oleh Bos mereka. Selain di sini, Riana juga berencana membuka cabang baru. Seperti apa yang telah dia ceritakan kepada Dewa, Ayah Vino waktu itu.  Keinginannya untuk membuka kembali toko baru yang berada di lokasi berbeda tentu saja dan nantinya akan di kelola oleh Helena, sahabatnya sendiri. “Tempat makan yang di depan aja kali ya, kangen sama nasi tutug oncomnya,” ucap Riana mengingat makanan yang selalu menggugah seleranya.  Nasi tutug oncom adalah makanan khas Sunda yang merupakan nasi diaduk dengan oncom goreng atau bakar. Penyajiannya biasanya dalam keadaan hangat, lebih enak di nikmati. “Boleh deh. Kalau aku kangen sama sambal atinya.” “Ya udah yuk! Yang lain juga udah pada cari makan kayanya,” ajak Riana. Mereka pun keluar dari toko, menyebrang ke tempat makan yang ada di depan toko bunga milik Riana.  Sering kali mereka menikmati istirahat makan siang di sana, selain karena dekat, harganya juga cukup terjangkau. Terkenal dengan nasi tutug oncomnya dan juga ayam bakar, tak lupa sambal ati yang di katakan oleh Helena. Riana dan Helena duduk di meja mereka, setelah memesan makanan masing-masing. Bersama dengan Helena setidaknya membuat Riana memiliki teman untuk bertukar cerita, seperti sekarang dia kembali menceritakan yang terjadi beberapa hari ini.  Helena terus menguatkan Riana atas apa yang menimpa sahabatnya, karena semua yang berada di bumi ini milik Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, kita jangan sampat terus berlarut-larut dalam kesedihan. “Aku kayanya habisin waktu di toko aja, beberapa hari nginep di rumah Vino bikin aku inget sama dia. Tapi aku nggak bisa nolak waktu Ibunya udah minta nginap kemarin,” sambung Riana setelah menceritakan apa saja yang dia lakukan beberapa hari lalu. “Gaisa juga ikut sama kamu?” “Ikut, malah tadi juga ke kampus bareng sama Ayah Vino.” “Hari ini juga nginap di sana?” “Nggak deh. Aku mau pulang, kamu nginap di rumah ya, Len. Temani aku sama Gaisa. Biasanya Vino ke rumah--” “Udah, tadi kan udah aku bilang jangan selalu ingat nanti malah sedih lagi. Kalau gitu nanti pulang dari toko aku langsung ke rumah kamu, kita pulang barengan.” Riana mengangguk.  Dia memang bersama dengan Gaisa, tetapi jika ada Helena juga setidaknya membuat Riana tidak terus menerus mengingat Vino. Semakin ramai di rumahnya, semakin banyak orang yang bisa dia ajak bicara dan dia tak mungkin kesepian.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD