Menyusul Lelaki Pengkhianat

1074 Words
"Wan, kamu sudah tahu bakal ngambil jurusan apa?" Aisyah bertanya dengan antusias ke arah Irwan. "Kalau aku bakal ngambil ekonomi atau manajemen bisnis. Biar nyambung dengan usahaku sekarang. Kamu?" lanjutnya, matanya melirik Irwan yang sedang menyantap mie bakso di kantin sekolah. Gerakan tangan Irwan terhenti mendengar pertanyaan Aisyah. "Es teh satu, Mang!" Lanjut Aisyah. Ia hanya memesan minuman karena sudah makan di rumah. Irwan menggeleng dengan wajah sendu. "Aku mungkin nggak kuliah Syah," jawabnya lirih. Matanya menerawang ke depan. Kening Aisyah mengerut. "Kenapa? Bukankah kemarin kita sudah berencana kuliah bareng?" Irwan membuang napas kasar. "Itu kemarin Syah, beda. Sekarang usaha orang tuaku lagi turun. Banyak utang, apalagi orang tuaku cuma pedagang kelontong kecil, hasil uangnya sekarang cuma pas-pasan buat hidup. Ditambah ada dua adik yang masih sekolah. Jadi, aku nggak mungkin kuliah," jelas Irwan menatap nanar mangkok bakso seraya mengaduk-aduk isi di ldalamnya. "Memangnya nggak ada tabungan atau simpanan, Wan? Kayak aku, meskipun cuma anak panti, tapi sudah persiapan untuk ke sana. Aku menabung, Wan. Dari hasil jualan online, alhamdulillah cukup buat kuliah," ungkap Aisyah. Ia tak mengerti kenapa Irwan yang menurutnya hidup berkecukupan tidak mempunyai tabungan sepeserpun. Apalagi ini untuk masa depan. "Kamu enak cuma sendiri, bisa nabung. Kalau aku … nggak mungkin nabung begitu. Pasti diminta Ibu buat bayar keperluan rumah dan sebagainya. Sudahlah, lupakan. Mungkin lebih baik …," jeda Irwan seraya menatap lekat Aisyah yang sedang menyesap minumannya. "Kita putus saja. Aku malu kalau punya pacar apalagi istri yang bertitel sarjana." Aisyah tersentak kaget, ia sampai tersedak karena mendengar pernyataan Irwan yang mendadak memutuskannya. "Kok, gi-tu. Kenapa harus putus. A--aku nggak malu kok, kita jalani aja kayak biasanya. Mau kamu bertitel atau nggak, aku nggak masalah," bujuk Aisyah sembari menepuk dadanya beberapa kali untuk meredakan batuk. "Nggak bisa, Syah. Kamu mungkin nggak malu, tapi aku minder, insecure sama kamu dan orang-orang. Kecuali …." Irwan sengaja menjeda ucapannya sambil mengelap sudut bibir Aisyah yang basah dengan tisu. "Kecuali apa?" "Kecuali kamu pinjamin aku uang buat kuliah. Nanti kuganti pelan-pelan. Biar kita sama-sama lulus kuliah dan sama-sama sarjana." Irwan memegang tangan Aisyah dan mengusapnya lembut. Mata Aisyah melebar. Ia kaget mendengar permintaan Irwan. Ditariknya pelan tangannya yang masih dipegang Irwan. "Tapi aku nggak punya tabungan lagi, Wan. Uangnya hanya cukup buat kuliahku saja," lirih Aisyah berucap. Ia bingung bagaimana caranya bisa membantu Irwan. Semua isi tabungan sudah dikuras habis untuk persiapan kuliahnya. Kalaupun tersisa, itu hanya cukup untuk membeli buku-buku atau biaya tak terduga lainnya yang sudah ia persiapkan jauh hari. Sekarang, ia sedang memulai menabung lagi dari awal, dari jualan online-nya yang sedang ramai. Kilatan masa lalu itu hadir, dan makin menyesakkan d**a Aisyah. Dalam hatinya beruntun kata bodoh terucap berulang kali, merutuki dirinya yang terlalu mudah terbujuk rayuan Irwan. Rela memberikan uang tabungannya, dan malah menunda kuliahnya sendiri demi lelaki yang bukan siapa-siapa baginya. "Kamu yakin Syah, menunda kuliah. Sayang loh," tanya Bu Maya--ibu panti yang sudah dianggap Aisyah seperti ibu sendiri. Ia sengaja mengunjungi ibu pantinya tersebut. Aisyah tersenyum tipis. "Aisyah mau mengembangkan usaha jualan online ini dulu, Bu, nanti kalau sudah berkembang dan maju, baru Aisyah kuliah," jawabnya berbohong. Kalau mengatakan yang sejujurnya, ia yakin Ibu Maya pasti sangat kecewa atau mungkin melarangnya. Bu Maya menggeleng lemah. "Biasanya kalau sudah keenakan pegang uang, lupa buat kuliah lagi Nak. Pikirkan baik-baik. Ibu nggak melarangmu berbisnis, atau mempunyai usaha seperti sekarang ini. Ibu bangga di saat anak seusiamu lagi senangnya bermain dan kumpul bareng teman, kamu malah sibuk berjualan. Bisa sekolah dengan uang sendiri. Berpikir maju kedepan untuk masa depanmu." Diusapnya tangan Aisyah yang berada dalam genggamannya. "Insya Allah, Bu. Aisyah pasti akan kuliah. Namun tidak sekarang. Usaha Aisyah sedang bagus-bagusnya. Aisyah takut keteteran kalau nyambi keduanya." Aisyah mencoba meyakinkan Ibu Maya. Bu Maya tersenyum mendengar jawaban Aisyah. Sebenarnya ia meragukan alasan Aisyah untuk menunda kuliah. Menurutnya aneh saja kalau mengingat beberapa waktu kebelakang, Aisyah sangat antusias bercerita padanya akan kuliah tahun ini. Ia dapat melihat binar kebahagiaan di kedua bola matanya waktu itu. Lalu sekarang, tetiba ia mengabarkan ingin menundanya, bukankah itu terdengar janggal? Namun Bu Maya tidak dapat mengulik lebih dalam perihal kenapa Aisyah mau menundanya. Ia hanya bisa memberikan nasihat. Aisyah terlihat enggan untuk bercerita lebih dalam. Bu Maya yakin ada sesuatu yang disembunyikan mantan anak pantinya tersebut. Aisyah menghapus air matanya. Ia menangis kembali kala mengenang pembicaraannya bersama Bu Maya empat tahun yang lalu. Ia sedih sudah mengecewakan orang yang paling berarti dalam hidupnya. 'Maaf, Bu. Maafkan Aisyah.' Aisyah sudah turun dari bis. Ia juga sudah menghubungi Bella, memberitahukan kalau sudah sampai di kota kelahiran sahabatnya tersebut, sekaligus kota--kampung keluarga Irwan. "Mbak, mau kemana biar saya antar." Seorang lelaki berumur tiga puluhan menegurnya seraya ingin mengambil tas yang dibawanya. "Dengan saya saja, Mbak. Motor saya lebih enak dinaiki," timpal lelaki lainnya mengenakan jaket kulit. Mereka seperti berebut ingin mengantarkan Aisyah, tapi cara mereka tersebut malah membuat Aisyah ketakutan. "Ti-dak, ma-kasih Bang. Saya sedang menunggu jemputan," kilah Aisyah menolak halus dan mendekap erat tas yang dibawanya. "Oh, gitu. Kirain butuh tumpangan Dek, biar Abang antar," balas lelaki yang mengenakan jaket kulit tersenyum tipis. Aisyah menggelengkan kepala. Ia semakin erat mendekap tasnya. "Syah!" Bella melambaikan tangannya ke arah Aisyah dan berjalan cepat menghampirinya. Aisyah bernapas lega melihat Bella. "Untung aku cepat datang, memang di sini para tukang ojek rebutan gitu. Bahkan ada yang memaksa. Kamu harus hati-hati," ucap Bella menjelaskan setelah mereka sampai di depan sebuah motor matic kepunyaan Bella. "Syukurlah kamu segera datang. Aku tadi gugup, takut mereka berbuat jahat," ucap Aisyah dengan mengelus d**a. Bella tersenyum tipis. "Udah tenang aja. Kita langsung ke rumah bibiku ya. Nginap kan?" "Lihat ntar aja. Bel, kamu tahu dimana orang jual atau bikin karangan bunga?" Dahi Bella mengernyit. "Untuk apa?" "Aku mau ngasih karangan bunga buat pernikahan Irwan." Senyum terpaksa terukir di sudut bibir Aisyah. Raut wajahnya dibuat sedatar mungkin. Ia tidak ingin menampakkan kesedihan. "Iya tahu. Nanti kita ke sana. Kalau jam segini belum buka." "Tapi bisa kan selesai pagi ini juga, atau kamu punya kenalan Bel yang bisa dihubungi?" Bella berpikir sejenak apa ada kenalannya yang bekerja di bidang tersebut. "Nanti kucoba menanyakan Abang sepupuku, siapa tahu dia punya teman yang kerja di sana. Sudah lama nggak pulang, Syah, jadi aku tidak begitu mengenal banyak orang." "Memangnya kamu mau mengucapkan apa? Selamat berbahagia? Apa itu nggak ngenes Syah? Kamu masih waras kan?" timpal Bella. Aisyah malah tersenyum seringai. Ada sesuatu yang ia rencanakan. "Bukan, nanti kamu bisa lihat sendiri, Bel, apa isi tulisannya." Kembali sudut bibirnya tertarik ke atas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD