4. Rasa Berdosa

1022 Words
“Krist! Di mana, Krist?! Saya mohon seseorang jawab saya! Di mana Kristian anakku?!” Seorang wanita paruh baya berjalan ke arah UGD dengan tangis yang sudah histeris. Dengan air mata yang sudah membasahi pipinya dan raut wajahnya yang sudah pias bukan main. Wanita itu masih memakai gaun tidurnya, mengenakan cardigan untuk menutupi gaun tidur yang dipakainya agar terlihat lebih baik. Meski begitu, jelas terlihat bahwa wanita itu datang terburu-buru, tanpa persiapan apa pun dan yang penting hanya membawa tubuhnya ke rumah sakit untuk menemui seseorang yang dipanggilnya terus menerus. “Tenang, Sayang. Kita harus tenang. Biar aku yang tanya sama—” “Maaf Ibu dan Bapak. Kalau boleh tahu siapa yang Ibu dan Bapak cari?” Seorang perawat akhirnya menghampiri pasangan paruh baya itu dan menanyakan siapa pasien yang mereka cari. Itu masih dini hari, jadi wajar petugas rumah sakit yang masih berjaga jumlahnya terbatas, terlebih karena baru saja ada pasien gawat-darurat yang masuk ke ruang UGD, otomatis semuanya kini menaruh fokus mereka ke sana, hingga hanya menyisakan beberapa—termasuk perawat yang baru saja menghampiri pasangan paruh baya itu. “Anak saya, Suster! Anak saya! Namanya Kristian Hardiandi. Mereka bilang anak saya kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit ini. Tolong bilang di mana anak saya, Suster? Tolong anak saya—” “Pasien kecelakaan mobil pribadi dan truk?” Pasangan paruh baya itu mengangguk cepat. Raut wajah perawat di hadapan mereka lantas langsung berubah lebih gelap, terlihat menyampaikan rasa prihatinnya. “Bisa ikut saya ke sini sebentar, Bapak-Ibu? Biar saya jelaskan.” Perawat itu lantas menemani pasangan itu untuk menuju meja informasi khusus untuk bagian UGD. Di sana perawat itu menjelaskan mengenai keadaan putra terkini mereka yang jelas membuat hati orang tua manapun hancur dibuatnya. “Anak Bapak dan Ibu saat ini sudah dalam penanganan dokter. Kami sudah memasang beberapa kantung darah karena putra Ibu dan Bapak mengalami pendarahan hebat, dan dokter saat ini sedang menunggu persetujuan wali untuk melakukan operasi karena—” “Lakukan apa pun, Sus. Lakukan apa pun dan tolong selamatkan putra kami.” Sang kepala keluarga dengan cepat menimpali, menerima apa pun arahan perawat yang mendampingi mereka untuk melakukan seluruh prosedurnya. “Baik, kalau begitu Bapak dan Ibu bisa mengisi surat persetujuan ini terlebih dulu.” Perawat itu kemudian menyerahkan lembaran kertas yang harus pasangan itu isi juga tanda tangani. “Keluarga Kristian Hardiandi? Keluarga Krist apa sudah datang?” Seru salah seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD, terlihat panik juga terburu. “Di sini, Dok. Ini—” Suster yang menemani pasangan paruh baya itu kemudian bersuara, mengarahkan dokter yang baru saja keluar ke arah pasangan itu. Tak jauh dari meja informasi itu, Naya yang mendengar semuanya terdiam. Wanita itu benar-benar tertunduk dengan seluruh perasaan bersalah yang menghinggapi hati dan kepalanya. Tapi di sisi lain, sisi kerasnya mencoba berpikir egois layaknya Rayya. Berpikir bahwa itu bukan salahnya, bahwa apa yang terjadi adalah salah Rayya, karena jika Rayya tidak mengganggunya yang tengah mengemudi, Naya jelas tidak akan melakukan kesalahan macam ini. “Dengan Mbak Naya?” Seseorang muncul di hadapan Naya. Wanita itu awalnya hanya melihat bentuk sepatunya. Sepatu cats yang biasa dipakai orang-orang pada umumnya, semakin Naya menaikan pandangan untuk mendapati sosok itu, semakin Naya merasa dirinya bisa menebak siapa orang di hadapannya saat ini. “Saya Fahmi dari kepolisian, ingin meminta keterangan Mbak Naya sebagai saksi kecelakaan yang menimpa Pak Kristian Hardiandi malam ini.” Benar. Sosok di hadapannya adalah sosok polisi berpakaian biasa yang biasanya Naya lihat hanya di film atau drama. “Saya sudah meminta keterangan perawat, dan petugas yang menerima laporan kecelakan itu, mereka mengatakan Mbak Naya yang menelepon dan memanggil ambulan untuk pasien Krist. Jadi saya ingin meminta Mbak untuk memberikan pernyataan sebagai saksi untuk kasus ini.” “Kamu saksi dari kecelakaan yang Krist alami? Kamu yang menelepon ambulance untuk menyelamatkan Krist? Kamu yang melakukannya?” Saat suaminya sibuk mengurus berkas yang harus ditandatangani untuk keperluan pembedahan di ruang operasi, nyonya yang tadi terus menyebut nama putranya itu mendengar pembicaraan antara petugas kepolisian dan Naya yang berada tak jauh di dari mereka. Mendengar nama putranya disebut, tentu saja wanita itu langsung menoleh dan mendengarkan pembicaraan itu lebih teliti hingga membuatnya menangkap satu kesimpulan—bahwa Naya adalah penyelamat putranya. Dan tatapan wanita paruh baya itu saat melihat Naya yang mengangguk kaku, adalah tatapan yang paling Naya takutkan. Karena di balik tatapan syukur dan penuh rasa berterimakasih yang dilempar nyonya itu padanya, Naya justru tahu bahwa dirinya tidak pantas menerima tatapan mata itu. Naya sama sekali merasa tidak pantas. *** “Dia lumpuh, entah untuk sementara atau seterusnya. Penglihatannya pun terganggu, entah untuk sepenuhnya atau selamanya. Pecahan kaca mobil akibat dari kecelakaan itu merusak rentina kedua matanya, dan masih harus dipastikan setelah dia sadar apakah akan ada kemungkinan penglihatannya bisa kembali atau tidak. Sementara kaki... karena kamu adalah saksi, kamu jelas tahu bahwa kakinya terjepit saat kecelakaan itu terjadi, bukan? Itu kenapa—” Naya meremat rambut kepalanya dan menunduk frustrasi. Di telinganya masih terngiang keterangan petugas yang mengintrogasinya beberapa puluh menit lalu, saat mengabari hasil operasi panjang korban kecelakaan itu ketika Naya masih berada di kantor polisi untuk memberikan keterangan. Mendengarnya? Tentu saja membuat Naya shock bukan main. Wanita itu benar-benar tidak menyangka bahwa masalahnya akan jadi serumit ini, meski Naya juga tidak menampik bahwa saat melihat pria itu yang terjepit mobilnya dan mengeluarkan banyak darah—jelas berita yang didengarnya tentu bukan sesuatu yang akan serupa “semuanya baik-baik aja” meski Naya berharap demikian sekalipun. Wanita itu mengusak rambuk dan wajahnya kusut. Pagi itu dirinya baru kembali dari ruang introgasi sebagai saksi kecelakaan dini hari tadi sementara sopir truk yang terlibat langsung dengan kecelakaan itu ditetapkan sebagai tersangka karena dinyatakan mengemudi dalam keadaan mengantuk. Naya benar-benar tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang. Di satu sisi dirinya merasa lega karena tidak menjadi satu-satunya alasan untuk kecelakaan itu, tapi di sisi lain dirinya tetap merasa bersalah karena turun berperan dalam kekacauan yang terjadi beberapa jam lalu. Dan kini tubuhnya serasa kehilangan tenaga, tak tahu harus menghadapi keluarga pria bernama Krist itu dengan sikap macam apa—ketika dirinya justru dianggap sebagai dewi penyelamat putra mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD