5. Getir di Ujung Lidah

1126 Words
“Nama belakang kamu Daufan?” Tanya Rama saat mengantar Naya pulang setelah kunjungannya di rumah sakit hari itu. Saat itu Naya hanya mengangguk, dirinya tidak tahu kalau jawabannya saat itu bisa berbuntut panjang hingga keluarganya menerima telepon dari pihak keluarga Hardiandi. Naya sama sekali tidak menyangka itu, sama sekali tidak menyangka kalau keluarga mereka memiliki hubungan yang bisa dibilang sudah mengenal sejak lama. “Jadi pria yang kamu tabrak itu benar-benar anak Rama Hardiandi? Kamu—” “Aku nggak nabrak dia!” Naya menyangkal emosi. Meski dirinya merasa bersalah dan turut andil dalam kecelakaan yang terjadi sekalipun, Naya tidak ingin dirinya dipojokan seperti ini. Naya tidak ingin disebut bahwa ia pelakunya, semetara orang yang juga turut berperan lebih banyak darinya di malam itu tidak merasakan perasaan bersalahnya sama sekali. “Kalau kalian cari siapa yang salah di sini, silakan kalian salahin anak kalian sendiri! Rayya yang—” “Nggak, nggak. Ayah nggak akan bahas siapa yang salah malam itu. Ayah cuma mau mastiin kalau memang kamu yang ada di sana dan bawa Krist—anak mereka ke rumah sakit sampai mereka pikir kamu dewi penyelamat putra mereka.” Tunggu—mengenai hal yang satu itu... bagaimana bisa ayahnya tahu? “Mereka hubungin Ayah. Bilang sama Ayah kalau Naya yang selamatkan putra mereka, dan sebagai rasa terima kasih, mereka mau dateng untuk penuhi apa pun yang kita mau. Termasuk kalau Ayah minta sama mereka untuk selamatkan perusahaan Ayah juga.” “Benaran, Yah? Serius?!” Rayya memekik senang mendengar kabar itu, seketika mood-nya berubah padahal sebelumnya tidak menunjukan reaksi apa pun pada pembicaraan mereka. “Gimana mereka tahu? Gimana mereka bisa tiba-tiba hubungin Ayah?” tanya Naya dengan tangan terkepal. Wanita itu sama sekali tidak tertarik untuk mengomentari reaksi Rayya untuk saat ini, sama sekali tidak. Bukan itu yang menganggunya sekarang, melainkan keserakahan ayahnya yang bisa saja memanfaatkan hal ini untuk kepentingan pribadinya. Padahal Naya tidak pantas mendapatkan bantuan apa pun atau ungkapan terima kasih apa pun. Tidak Naya ataupun Rayya, mereka sama sekali tidak berhak, karena jika keluarga Hardiandi mengetahui yang sebenarnya, alih-alih mengungkapkan rasa terima kasih, Naya dan Rayya pasti akan langsung dijebloskan ke penjara. “Kamu lupa? Kamu lupa kalau dulu mereka itu tetangga kita? Benar... Kamu pasti lupa, karena otakmu memang nggak pernah diisi apa pun yang benar, Naya.” Ayahnya menggeleng remeh, memberi penilaiannya sendiri sebelum Naya sempat berpikir bahkan mengingat mengenai apa yang pria itu katakan sebelumnya. “Mereka itu dulu sama-sama merintis perusahaannya dari bawah sama seperti perusahaan Ayah—” “Perusahaan Ibu.” Naya memotong membenarkan. Gadis itu tahu ayahnya tidak menceritakan itu untuknya, melainkan untuk Rayya yang terlihat antusias mendengarkan. Tapi siapa peduli? Yang perlu Naya koreksi jelas harus dikoreksi. Pria yang dipanggilnya ayah itu menatap tajam pada Naya, namun memilih tidak mengomentari apa yang putri pertamanya itu katakan. “Mereka dulu sama seperti kita, tapi siapa sangka perusahaan mereka yang kini maju jauh lebih pesat. Berbanding terbalik dengan perusahaan kita yang diambang kebangkurtan. Kita beruntung mereka dateng di saat yang tepat. Jadi apa pun yang mereka bilang nanti, jelas harus kita turuti. Supaya mereka benar-benar bisa nolong keadaan kita sekarang.” “Loh, bukannya Ayah bilang mereka datang untuk kasih ucapan terima kasih? Terus kenapa tiba-tiba situasinya seolah jadi kita yang berhutang sama mereka, Yah?” “Rayya, denger. Bantu perusahaan Ayah hanya karena Naya selametin nyawa putranya mungkin memang kedengaran masuk akal untuk mereka, tapi mereka jelas nggak akan sibuk cari tahu soal keluarga kita kalu mereka nggak ada maksud lebih. Kalau cuma itu tujuannya, mereka akan berterimakasih sewajarnya, dan mungkin aja cuma akan berusaha kasih sesuatu untuk Naya tanpa harus cari tahu latar belakang keluarga Naya yang akhirnya berujung menghubungi Ayah.” Alan menjelaskan dengan seksama, sama sekali tidak merasa risih menyebutkan nama putrinya yang terlibat dalam hal ini namun terlihat tidak peduli. Apa yang ada di pikirannya saat ini hanya menyampaikan maksudnya, menyampaikan apa yang menjadi ambisi dan rencananya di depan anggota keluarganya yang ada di sana. “Nyatanya? Mereka bahkan mastiin bahwa Naya adalah anak dari tetangga yang mereka kenal dulu. Mereka cari tahu dan menghubungkan semuanya, tentu aja semua itu untuk tujuan lain yang juga akan jadi kepentingan mereka.” Dahi Rayya kini bekerut tajam. Sementara Naya? Gadis itu sebenarnya sudah muak pembicaraan panjang yang dilakukan ayahnya sejak tadi. Gadis itu sudah bersiap untuk pergi ke kampus sejak tadi sebenarnya. Hanya karena ucapan ayahnya yang minta didengarkan, Naya harus menahan dirinya untuk tetap ada di sana. “Kepentingan mereka?” “Mereka minta Naya untuk jadi perawat Krist—putra mereka yang sekarang lumpuh karena kecelakaan itu.” Sambung sang ayah kini menjatuhkan pandangannya lurus pada Naya, putri pertamanya yang duduk di sofa tengah memasang sepatu agar bisa lekas pergi daris sana. Kepala gadis itu seketika terangkat. Terkejut? Tentu saja. Meski dirinya sudah menduga bahwa ayahnya menyeretnya dan memaksanya untuk tetap berada di sana mendengar semua omong kosong itu karena ada alasannya, dan benar saja, kini semuanya sudah jelas, apa yang diinginkan pria paruh baya itu kini sudah jelas di depan mata. Masalahnya, Naya tidak menyangka kalau dirinya yang justru akan dikorbankan dalam hal ini. Tidak. Justru lebih terdengar masuk akal jika dirinya yang dikorbankan, kan? Karena ayahnya jelas tidak akan mengorbankan Rayya—saudarinya yang terlahir dari ibu tirinya. “Oh... Tentu aja! Tentu aja Naya yang cocok lakukin pekerjaan macam itu. Bantu mereka rawat putra mereka yang lumpuh jelas bukan apa-apa dibanding apa yang akan mereka lakukin untuk keluarga kita. Apalagi kalau mereka tahu yang jadi penyebab kecelakaan itu siapa, jadi pembantu seumur hidup jelas nggak setara dengan apa yang udah nimpa anak mereka seka—” “Kalaupun ada yang harus lakuin itu di sini, itu jelas kamu, Rayya! Kamu yang lebih bertanggungjawab untuk ngerawat laki-laki itu karena kamu penyebab kecelakaan itu yang sebenarnya!” Naya berdiri, menentang keras keinginan ayahnya yang diputuskan tanpa persetujuannya. Enak saja. Sudah Naya yang merasa bersalah, Naya yang harus menanggung kesulitan ekonomi keluarga dan mengorbankan rasa malu serta bersalahnya untuk menerima bantuan dari keluarga Hardiandi, dan kini dirinya juga yang harus bertanggungjawab pada Krist? Sementara pelaku yang sebenarnya—Rayya malah seenaknya saja melenggang tanpa merasa bertanggungjawab sedikitpun? “Apa lo bilang?! Heh, mikir! Gue jelas nggak akan mau repot-repot ngurusin orang lumpuh macam itu. Lagi pula siapa yang lo maksud penyebab utamanya? Yang menyetir mobil itu jelas lo, berengsek!” “Tapi lo yang bikin mobil oleng karena lo mabok dan ganggu gue nyetir malam itu, Rayya!” “Oh ya? Lo punya bukti? Lo bisa buktiin ke semuanya kalau gue yang melakukan apa yang lo bilang barusan, hah? Lo bisa—” Benar-benar berengsek. Ayah, ibu tiri, bahkan saudari tirinya itu benar-benar berengsek. Sekarang, setelah semuanya yang terjadi, mereka jelas melimpahkan kesalahan dan semua tanggungjawabnya pada Naya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD