Episode 2 Kanaya pov

1318 Words
Jumat menjadi hari penutup untuk minggu ini, besok libur. Seharusnya aku senang, karena biasanya di akhir pekan seperti ini, aku akan menghabiskan waktu pulang ke Bandung bersama Alex dan Mia. Tapi tunggu,,, itu dulu, berbeda dengan sekarang. Tubuhku terasa lemas akhir- akhir ini, entah karena terlalu lelah bekerja, atau karena lelah pikiran. Mengingat besok adalah hari bahagia untuk dua penghianat itu akan mengucapkan janji suci pernikahan. cih...mereka memang tak tahu malu! Banyak teman kantor menawari untuk berangkat bersama ke acara bahagia Mia. Aku tidak mengerti motif di balik mereka mengajakku, mungkin hanya sekedar ingin, atau mreka justru ingin melihat reaksi seperti apa yang akan terjadi begitu aku datang. Semua orang tahu, Mia adalah teman baikku, dan menikah dengan mantan pacarku. Gosip memang selalu lebih cepat berhembus. Meski aku tidak pernah bercerita pada siapapun, tapi dengan sendirinya mereka akan tahu. Bahkan aku seperti seorang selebriti, dan mereka seperti para pencari berita, karena setiap hari mereka tidak pernah berhenti mengintrogasiku. Meski aku tidak pernah merespon, sedikitpun. Jujur saja, tidak ada niat sedikitpun untuk menghadiri acara pernikahan Mia. Tapi, aku tidak ingin menyandang status baru sebagai pengecut, karena jika aku tidak menghadiri pernikahan mereka, semua orang dengan senang hati pasti akan memberikan gelar gagal move on. Mau tidak mau, aku harus menghadiri acara pernikahan mereka. Selesai makan siang aku merasa ada yang aneh dengan perutku. Awalnya aku kira hanya sekedar salah makan, atau hanya sakit karena jadwal tamu bulanan, tapi kali ini benar- benar sakit dan panas hingga menjalar ke pinggang. "Sakit ,Nay?" Sarah datang menghampiriku. "Iya, sakit perut. Biasa tamu bulanan," jawabku, sambil meregangkan pinggang, berharap bisa sedikit mengurangi rasa sakit. "Pucet banget, minum obat sana!" Aku semakin meringis, karena rasa sakit kian terasa mencengkram perutku. "Oh iya, besok ke acara pernikahan Mia, Lo dateng kan?" Lanjutnya. "Gimana besok aja." Aku sungguh tak ingin membahas apapun soal hari esok, bahkan jika perlu aku ingin segera lusa, tanpa harus melewati hari esok. "Aku duluan ya!" Sebelum Sarah bertanya lebih jauh, akan lebih baik aku menghindar. Meski jam kerja masih tersisa satu jam,aku memilih pulang terlebih dahulu. Taksi online yang aku pesan akhirnya datang, tanpa menunggu lama aku segera pulang. Tapi, rasa sakit yang semakin menjadi tak bisa kutahan lagi, dan akhirnya aku meminta sopir taksi mengganti arah tujuan menjadi ke Rumah sakit terdekat. Seumur hidup aku memang jarang sakit, seingatku malah baru dua kali aku masuk Rumah sakit. Yang pertama waktu dulu terkena DBD dan yang kedua kalinya sekarang. Awalnya aku merasa tidak perlu repot- repot sampai harus periksa, tapi yang membuatku sedikit merasa takut yaitu, sudah hampir lima bulan terakhir ini, aku sering mengalami sakit di bagian perut yang tidak wajar ketika tamu bulanan datang. Biasa rasa sakit hanya akan berlangsung satu hari, dan bisa diatasi hanya dengan obat pereda nyeri biasa. Tapi, kali ini sudah hampir dua hari, bahkan aku sudah menghabiskan beberapa butir pil pereda nyeri, namun tidak juga mengurangi rasa sakit, tapi justru rasa sakit itu kian terasa nyeri. Setelah mendaftar dan melakukan serangkaian prosedur pemeriksaan, kini aku tinggal menunggu hasil pemeriksaan keluar. Tak berselang lama seorang perawat memanggil namaku, membawaku ke sebuah keruangan menunggu Dokter datang. Seorang lelaki muncul dari balik pintu, terlihat masih sangat muda dan tampan, ia duduk persis di seberangku, matanya mengamati layar komputer, sesekali alisnya berkerut mengamati serius layar di depannya. "Kanaya Larissa?" Suara barito nya menyebut namaku. "Iya, Dok," "Sudah berapa lama keluhan sakitnya?" Satu tangannya memegang pena, sesekali menatap komputer dan menatapku bergantian. "Sudah hampir lima bulan." Dia menganggukan kepalanya. "Belum begitu lama, tapi sudah lumayan besar." "Apanya ,Dok?" Aku mulai tidak tenang. "Kamu menderita kista," ucapnya sambil memutar layar, memperlihatkan gambar hasil rontgen kearahku. "Dan ini sudah lumayan besar, jika tidak segera diobati akan sangat berbahaya." Seketika mataku melebar, melihat layar dan gambar yang ditunjuk Dokter. Meski sebenarnya aku tidak mengerti dengan gambar yang ditunjuknya, tapi penjelasannya sudah cukup membuatku ketakutan. "Ap...apa? berarti saya ga bisa punya anak?" Ingin rasanya saat ini aku berteriak, menangis sekencangnya. wahhh,,, begitu luar biasa sekali bukan nasib mempermainkanku, setelah aku dicampakkan kekasih dan dikhianati sahabat dan kini aku sakit? Sekuat apapun aku tahan, tetap saja aku tidak sekuat itu untuk bisa menanggung semuanya sendiri. Aku menangis. "Ini masih bisa diobati, ada banyak pengobatan yang bisa kamu coba." Kuseka air mata, mencoba mendengar penjelasan Dokter tampan di hadapanku. "Kamu bisa melakukan operasi, atau pengobatan biasa. Hanya saja keduanya memiliki resiko yang berbeda." Aku semakin ketakutan begitu mendengar kata operasi, membayangkannya saja membuatku mual, pusing dan gemetar. Seakan mengerti rasa takutku, Dokter tampan itu tersenyum, menambah kadar ketampanannya menjadi dua kali lipat. "Jika operasi terlalu menakutkan, bisa coba yang lain. seperti rutin berobat dan mengkonsumsi obat untuk mencegah kista semakin membesar. Tapi, itu tidak menjamin kistanya akan hilang. Berbeda dengan operasi yang akan langsung tepat sasaran ke inti penyakitnya. Walaupun terdengar menyeramkan, tapi penyembuhannya jauh lebih cepat dibanding dengan mengkonsumsi obat," Jelasnya. "Ada cara lain yang lebih bagus selain operasi?" tanyaku. Aku ingin secepatnya sembuh, tapi aku takut jika harus melakukan operasi. Bagaimana jika aku mati di meja operasi? Atau aku Dokter kehabisan waktu dan akhirnya aku tidak tertolong? itu sangat menakutkan. "Ada cara lain yang menurutku jauh lebih aman dari kedua cara tadi, yaitu menikah dan mengikuti program memiliki keturunan." "Hah?!" Aku berharap aku salah dengar, "Dengan menikah dan mengikuti program memiliki anak, itu bisa membantu penyembuhan kista. banyak dari pasien kista akan secara alami sembuh dengan berupaya memiliki keturunan. Meski akan sedikit sulit, tapi itu cara yang paling mudah bukan?" Menikah? aku semakin frustasi hanya dengan mendengar kalimat itu. Mungkin terdengar mudah, hanya dengan menikah dan mengikuti program keturunan, semua masalah selesai. Tapi, berbeda kasus denganku. Bagaimana aku bisa menikah dan memiliki keturunan, sedangkan aku baru saja ditinggal menikah oleh pacarku. Aku menghela nafas berat, membayangkan bagaimana beratnya hari-hariku selanjutnya. Setelah membayar dan mengambil beberapa obat yang harus dikonsumsi, aku memilih pulang. Belum ada kesepakatan tentang pengobatan selanjutnya, aku masih mempertimbangkan antara operasi atau memilih berobat rutin setiap bulan. Karena pilihan ketiga yang dianjurkan Dokter tidak termasuk dalam pilihan untuk hidupku saat ini, jangankan menikah, untuk menjalin hubungan baru pun aku enggan. Apartemen minimalis yang kutempati tidak terlalu besar, jika biasanya Mia akan datang dan membawa makanan, atau sekedar menginap, kali ini aku harus makan sendiri dan mulai membiasakan hidup sendiri. Meski enggan, aku menghabiskan satu mangkok bubur yang sempat aku beli, di dekat apartemen. Hanya ada suara televisi yang menemani, dan suara detak jam dinding, semua terasa aneh dan sepi. Tidak mudah rasanya membiasakan diri dengan hal baru yang serba mendadak, terlebih aku terbiasa bergantung dengan kehadiran Mia. Mungkin jika hanya kehilangan Alex, aku masih bisa menerima dengan mudah, tapi kehilangan sahabat sangat menyakiti hatiku. Semenjak kehilangan Ayah beberapa tahun lalu, hanya Mia yang menjadi tempatku berbagi, aku sangat menyayangi Mia, tapi dengan teganya dia menghianati semua kepercayaanku. Dering suara ponsel mengalihkan perhatianku dari acara TV. Abang calling,,, "Iya, Bang," sapaku. "Lagi apa, sayang." Suara bang Ramzi dari seberang sana. dia kakak lelakiku satu- satunya. "Lagi makan, Abang dimana?" "Abang di rumah, besok pulang kan?" "Kayaknya sih enggak, paling minggu depan." Terdengar gumaman kecewa bang Ramzi. "Minggu depan aja ya, minggu ini Nay ada acara." "Oke deh, bareng Alex kan?" "iya,,," aku terpaksa berbohong. Sambungan terputus begitu aku berpura- pura ngantuk dan ingin segera istirahat. Berlama- lama bicara dengan Abang bisa membuat mulutku keceplosan tentang pernikahan Alex dan Mia. Aku tak bisa menghindari pertanyaan Abang yang akan berputar- putar dan berakhir dengan pengakuanku, karena Abang akan berubah seperti polisi, yang mengintrogasi pelaku. Abang tau persis reaksiku, jika sedang berbohong. Aku tidak bermaksud membohongi Abang tentang hubunganku dan Alex, hanya saja aku belum siap menjelaskan semua yang terjadi. Bahkan saat ini sejujurnya, aku ingin bersandar di pangkuan Ibu dan menceritakan semua keluh kesah dan penyakitku. Tapi, aku terlalu takut. Aku takut membuat Abang dan Ibu semakin khawatir, membahas dua hal besar sekaligus tidaklah mudah. Jadi aku memutuskan bercerita jika waktu dan keadaan sudah lebih baik. Meskipun memendam sendiri masalah juga tidak menyelesaikan apapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD