Episode 4 Kanaya pov

1541 Words
Lengan sebelah kanan terasa keram dan kebas. Bau alkohol menyengat memenuhi indra penciuman, bahkan semua ruangan di d******i warna putih. Aku di Rumah Sakit Perlahan aku membuka mata, mengamati setiap penjuru ruangan dan betapa terkejutnya aku saat kulihat seorang wanita paruh baya tengah tertidur di sebelahku sambil memegang erat tanganku. Itu Ibu. Aku mencoba mengingat hal terakhir yang terjadi sebelum aku benar- benar tak sadarkan diri. Tapi, hanya beberapa hal yang mampu aku ingat, yaitu ketika keluar dari toilet dan melihat Rani. Setelah itu aku tidak mampu mengingat apapun lagi. Sudah berapa lama aku tak sadarkan diri, bahkan Ibu yang berada di Bandung pun kini ada di sampingku. aku kembali memejamkan mata, mencari cara bagaimana menjelaskan semuanya pada Ibu dan juga Abang Ramzi. "Jadi, apa saja yang ibu ga tau?" Ibu menyadari, jika aku sudah sadar. Ia menegakkan tubuhnya, duduk dan menatap, serius. Aku menghela nafas berat, dan membuka mataku seutuhnya. Aku tau hari ini akan menjadi hari yang panjang, dan aku harus siap di interogasi Abang dan juga Ibu. "kenapa ga cerita kalau kamu sakit? kenapa juga ga cerita kalau Mia dan Alex menikah? Apa kamu sudah tidak menganggap aku Ibumu?" Mata ibu memerah, berkaca-kaca, dan menangis. Inilah yang selalu aku takuti, aku takut melihat ibu menangis dan membuatnya sedih. "Maaf." Hanya itu yang mampu aku ucapkan. Satu kata yang mewakili semua rasa penyesalanku, karena selalu berhasil membuat Ibu menangis. Ku usap air mata di wajah tirusnya, sungguh pemandangan yang sangat menyakitkan melihat ibu menangis. Bahkan lebih menyakitkan daripada melihat Alex dan Mia menikah. "Nay baik-baik saja, Bu. Ibu ga usah khawatir." Ibu menarik tanganku, membawa ke dalam genggamnya. Lengan hangat ajaib milik Ibu yang mampu meredakan semua rasa sedih ataupun resah, hanya dengan usapannya. Sapuan lembut jemari ibu membelai wajahku seolah ia ingin memberikan semua kekuatan yang ia miliki padaku. "Kata Dokter, penyakit kamu masih banyak peluang untuk sembuh. yang Ibu khawatirkan justru ini," Ibu mengusap dadaku dengan tangannya, sedikit menekan lembut tepat di bagian hatiku. "Alex dan Mia,,," "Nay baik-baik saja ,Bu," aku menyela ucapan Ibu. "Aku ga tau harus mulai cerita dari mana, hanya saja aku dan Alex memang tidak berjodoh," Jelasku meyakinkan Ibu. "Jangan sampai Abang tahu ya? Nanti biar Nay cerita kalau waktunya sudah tepat." Melihat reaksi Ibu yang hanya diam, bisa dipastikan sesuatu tengah terjadi. "Abang udah tau?" Tanyaku, dan seperti dugaanku, ibu mengangguk membenarkan. Aku memijat pelipis, seketika aku kembali di serang rasa pusing, tapi kali ini justru pusing yang berbeda. Aku sangat memahami bagaimana perangai kakak lelakiku itu. Apalagi semenjak Ayah pergi untuk selama-lamanya, dia menjadi satu-satunya lelaki yang bertanggung jawab mengurusku dan Ibu. Abang lelaki yang penuh dengan tanggung jawab, dia merawatku, dan membiayai semua kehidupanku dan juga Ibu. Bahkan dia sampai menomor duakan kehidupan pribadinya dan hanya mengutamakan aku dan juga Ibu. Abang menjadi orang pertama yang sulit untuk di yakinkan, jika Alex benar-benar serius menyukaiku. Awalnya abang menolak dan menentang hubunganku, hingga lambat laun aku dan Alex mulai membuatnya percaya. Berulang kali Bang mewanti-wanti Alex jika suatu hari dia menyakitiku, maka Abang akan menjadi orang pertama yang akan menghajar Alex. Dan jika Abang benar- benar mengetahui kejadian yang sebenarnya antara aku dan Alex, aku tidak yakin wajah Alex akan selamat dari pukulan Abang. "Abang dimana sekarang?" "Ibu kurang tau, begitu Abang mendapat berita kamu pingsan, dia langsung ke Jakarta. Baru setelahnya ibu nyusul. Pas sampai sini, Abang udah ga ada. Kata temen kamu, Abang tiba-tiba pergi setelah menerima telepon dari seseorang." Aku semakin yakin, Abang pasti mendatangi rumah Alex. Selang beberapa waktu seseorang masuk, aku berharap itu Abang Ramzi pulang. Tapi ternyata itu Dokter dan Suster yang datang, hendak mengecek kondisiku. Aku ingat itu Dokter yang pernah aku temui ketika aku berobat tempo hari. "Sudah merasa lebih baik?" "Sudah, Dok." Dokter masih memeriksa selang infus, "Saya sudah memberi obat pereda nyeri, kalau ada apa-apa bisa langsung panggil suster jaga di depan." Aku terus memperhatikan penjelasan Dokter, dan mataku menangkap name tag yang ia kenakan di kantong jas putihnya. Dr. Revan Rahadian, nama yang sangat bagus. Suster segera keluar setelah selesai mencatat semua perkembanganku, menyisakan Dokter Revan yang masih mengamati jarum infus di pergelangan tanganku yang sempat mengeluarkan darah akibat ulahku yang tak sengaja kutarik. Begitu Dokter Revan hendak keluar, seseorang terlebih dulu mendorong pintu dari arah luar dengan kencang, membuatku dan Dokter Revan terlonjak kaget. "Sial! Harusnya gue matiin tuh si Alex, memang kurang ajar!" Dari umpatan yang tak hentinya keluar dari mulutnya, bisa aku pastikan itu Abang yang datang. Abang datang dengan emosi penuh, matanya memerah dan raut wajahnya menggelap, bahkan Abang berkacak pinggang sembari terus meluapkan kekesalannya. "Kamu harusnya siram mereka berdua pake air comberan, bukannya malah pingsan!" Salah satu kebiasaan buruk Abang yang sangat aku benci, dia akan menjelma seperti ibu-ibu komplek jika dalam mode marah. Suaranya kencang, dan dia akan mengeluarkan sumpah serapahnya tanpa mengenal tempat dan waktu. " Abang ...," aku memanggil nya semanis mungkin, mencoba mengalihkan sedikit emosinya yang semakin menjadi-jadi. Aku tau Dokter Revan masih belum keluar dari kamarku. Bahkan dia hanya diam mematung menatap horor kearah Abang. Mungkin Dokter tampan itu akan menganggap kakak lelakiku itu setengah perempuan. "Dari dulu Abang gak pernah setuju kamu pacaran sama Alex, dia lelaki ga bener. Dan sekarang terbukti kan? Dulu kamu menolak teman Abang, si Adam. Kamu bilang Adam cowok ga bener lah, nyatanya justru Alex kan yang ga bener?" Aku tak mungkin bisa mengalahkan kecepatan berbicara Abang yang setara dengan kecepatan pembalap internasional Valentino Rossi. "Kamu ga bisa nolak lagi, Abang tetap mau jodohin kamu dan Adam. Apalagi sekarang kamu sakit dan harus segera punya anak. Benar kan, Dok?" Dokter Revan terlonjak begitu namanya disebut, dilibatkan dalam pembicaraan. "Ah... itu.. iya benar," dengan canggung ia menjawab. Mataku melotot seketika begitu mendengar nama Adam, si lelaki playboy m***m yang selalu Abang jodohkan denganku. Tubuhku yang awalnya terasa lemas, kini kembali bertenaga dan siap melawan, menyerang perkataan Abang. "Nay, gak mau sama Adam!" Suaraku mulai meninggi, mengimbangi suara Abang. "Ga ada bantahan lagi, kamu harus segera menikah. Kamu harus sembuh, dan itu dengan Adam!" "Abang ga bisa gitu dong, aku udah bilang berkali-kali. Aku ga mau sama Adam." "Kali ini ga ada penolakan Kanaya," "Gak bisa! Nay, gak mau!" "Kamu mau bantah?" Abang tak mau kalah, dia semakin meninggikan suaranya. Mungkin jika aku masih berada di ruangan UGD, aku yakin satu lorong akan mendengar lengkingan suara Abang. "Iya, Nay menolak. kalau memang Abang merasa Adam calon ideal, kenapa gak nikah aja sama Abang. Kan, Abang juga belum punya pasangan." "Apa? kamu kira Abang homo?!" "Emang iya kan, buktinya udah tua gak nikah!" Pertengkaran yang tak akan ada habisnya jika aku dan Abang tengah beradu argumen. Biasanya jika dalam keadan baik-baik saja, aku bisa menyerangnya bukan hanya dengan mulut pedas ku, tapi aku juga bisa mencakar wajahnya. Sempat dulu kita bertengkar hebat dan berakhir dengan goresan tajam di pipi kanan Abang, akibat cakaran kuku. Dokter Revan hanya memandang bingung, sesekali matanya menatapku dan menatap Abang bergantian. kasihan melihat wajahnya yang tersiksa dan harus berada dalam situasi panas antara aku dan Abang. Hingga Ibu muncul dari balik pintu kamar mandi, "Stop!! kalian gak malu dari tadi berantem? Bahkan masih ada Dokter disini, apa kalian ga malu?!" Lengkingan suara Ibu mampu membungkam mulut abang dan juga aku. Dengan perasaan kesal, aku menghempaskan tubuhku di bangkar, menyelimuti diri hingga sebatas kepala. Membiarkan Abang yang masih terus berlanjut membahas masalah Adam. "Kalau begitu saya permisi." Akhirnya, Dokter Revan bisa meloloskan diri. Aku yakin dia pasti sudah sangat ingin menghilang dari ruangan ku sejak tadi. "Iya, terimakasih Dok. Kalau ada tolong beri adik saya obat anti berontak, dia sangat keras kepala soalnya." Bisa-bisanya dia masih berucap seperti itu. ________ Abang masih menatap tajam ke arahku, ketika Ibu menyuapi bubur. Kilatan emosi masih terlihat jelas di matanya, aku tahu dia tidak sepenuhnya marah. Abang memang sering berlebihan, mungkin dia masih menganggapku adik kecilnya yang sering minta ditemani tidur untuk menggantikan Ayah dulu. "Abang,,," rengekku. "Apa?!" "Galak amat sih jawabnya, " Abang melengos, membuang muka, menghindari tatapan memohon yang pasti akan sulit dihindarinya. "Udah napa marahnya, sini duduknya deketan jangan jauh-jauh. Ga kangen apa?" Sekeras apapun sifat Abang, dia akan luluh jika aku mulai mengeluarkan rengekan, jurus andalanku. Seperti biasa Abang pasti kalah, akhirnya dia mendekat dan duduk di samping Ibu. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang menyebalkan, namun menggemaskan. Kupeluk lengan kekarnya yang selalu menjadi tempat ternyaman untuk bersandar. "Jangan marah, Nay baik-baik aja ko," kudengar helaan nafasnya dan balik memelukku. "Jangan lagi bikin Abang khawatir, Nay. Abang takut." Lirihnya, terdengar jelas di telingaku. "Abang mau dengar semua yang terjadi antara kamu, Mia dan juga Alex. Ga boleh ada satupun yang terlewat. Mengerti?" Aku menganggukan kepala sebagai jawaban, mulutku kaku dan mataku mulai perih hingga air mata kembali lolos dari pelupuk mataku. "Nay mau cerita, tapi Abang harus janji ga akan marah atau menyakiti siapapun." "Iya, Abang janji. ceritanya ga pake nangis ya. mata Abang sakit liat wajah jelek kamu." Balasnya sembari mengusap air mataku dan mencubit hidungku. Ibu hanya tersenyum melihat tingkah kedua anaknya yang terkadang bisa sangat akur dan bisa juga berubah seperti musuh dalam waktu sekejap. Aku pun menceritakan setiap detil kejadian yang aku alami. Dan akhirnya aku menyadari satu hal, jika orang yang mencintaiku dengan tulus hanyalah Abang dan Ibu, mereka menjadi dua orang paling berharga untukku saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD