Bab 2

1044 Words
"Rion..." Rion mengangkat kepalanya dengan berat. Hatinya sedikit lega dengan kedatangan sang mertua."Iya, Ma, Pa." "Dimana Nindi,Yon?"tanya Papa. "Lorong ini, belok kanan, Pa. Ruangan paling ujung," jawab Rion. "Papa temui Nindi dulu ya, Mama bicara sama Rion," kata Mama Nindi. Sang suami pun mengangguk-angguk setuju, ia segera menemui anaknya, Nindi. "Rion...bagaimana keadaan Nindi?" "Nindi harus dirawat dulu di sini, Ma karena kondisinya sangat lemah. Dan ...nanti di rumah juga dia enggak boleh kecapean,"jawab Rion sebisanya. "Jadi, Nindi hamil?" ucap Mama mertua dengan suara bergetar. Rion mengangguk."Ya, Ma. Awalnya Rion bahagia mendengar itu. Tapi, kenapa...delapan minggu. Itu artinya sudah dua bulan dan...itu terjadi saat Rion sudah melamar Nindi, kan, Ma?" Mama menangis, hatinya kembali perih menerima kenyataan ini."Ya, itu benar. Dari perhitungannya memang begitu, Yon. Tapi, apa sebelumnya kalian benar-benar tidak melakukannya?" "Enggak pernah, Ma. Rion enggak berani sentuh Nindi sebelum memiliki hubungan yang sah." "Tapi, sama siapa Nindi berhubungan ya...dia enggak pernah kelihatan jalan sama laki-laki lain." Rion terdiam beberapa saat."Hanya Nindi yang tahu, Ma." "Lalu...apa rencana kamu selanjutnya, Yon?" "Rion enggak tahu, Ma. Masih kaget dengan semua ini. Yang pasti kita harus tetap mencari tahu siapa ayah dari bayi yang ada di kandungan Nindi...siapa pun laki-laki itu, Rion akan menerima bayi itu, Ma sebagai anak Rion." "Rion..." Sang Mama terisak, lantas ia memeluk menantunya itu dengan haru."Kamu telah dikhianati, Yon, tapi.. kamu masih mau menerima Nindi?" "Rion sayang sekali sama Nindi, Ma. Rion enggak mau kehilangan Nindi...apa pun akan Rion terima. Tapi, sementara ini...Rion butuh waktu untuk sendiri." "Iya, Nak, Mama mengerti." Mama berdiri."Mama mau menemui Nindi dulu ya." Rion mengangguk. Suasana menjadi hening karena hanya ada ia sendiri di sana dan beberapa orang yang berlalu lalang. Tiba-tiba Mama datang kembali. "Rion, cepat lihat Nindi!" Rion tersentak, ia langsung berlari ke ryangan. Di dalam sana, Nindi tengah menangis histeris. Selang infus sudah terjatuh di lantai, tangannya ada sedikit bercak darah akibat ia menarik jarum infus dengan keras. "Sayang, ada apa?" Nindi menatap Rion dengan pilu."Aku hamil?" "Ya." "Anak kamu kan?" tanyanya histeris. "Harusnya kita yang tanya ke kamu, itu anak siapa, Nindi? Usia kandungan kamu sudah delapan minggu." Ternyata, Papa Nindi yang membocorkan semuanya. Ia sudah tidak bisa menahan rasa malu terhadap menantunya. Ia merasa sudah gagal mendidik Nindi. Nindi terdiam, badannya bergetar. Ia berjalan mundur dan bersandar pada sisi tempat tidur. "Sayang, naik ke tempat tidur. Kamu harus istirahat total." Rion membawa Nindi ke tempat tidur. "Kamu ini...sudah tahu sudah dilamar, kamu masih ada main sama laki-laki lain!" Kata Sang Papa emosi. "Pa, sabar...kondisi Nindi masih lemah," bisik Mama. Rion terdiam menahan emosinya sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. "Nindi...kamu hamil anak siapa?!" teriak Sang Papa yang kemudian memegangi d**a kirinya. "Pa, sudah, Pa...lebih baik kita keluar." Mama cepat-cepat membawa Papa keluar dari sana sebelum penyakit jantungnya kambuh. Nindi terisak, ia tertunduk malu. Semua perasaan bercampur jadi satu. Rion menatapnya dengan iba, dipeluknya sang isteri."Sudah, jangan menangis." "Rion..." "Ya..." "Maafkan aku." Rion meneguk salivanya, tenggorokannya terasa sakit. Ia berusaha mengeluarkan suaranya meski itu sulit."Ya sudah kumaafkan. Tapi, katakanlah, siapa yang menghamilimu?" Nindi tertunduk, diam beberapa saat. Ia tampak menarik napas panjang."Daffa." Tubuh Rion membatu, kepalanya seakan sedang dihantam batu yang sangat besar. "Tuhan, katakan aku sedang bermimpi!"ucapnya dalam hati. "Rion,"ucap Nindi dengan lirih. Ia tahu, ia sudah melakukan kesalahan besar. Ia memiliki hubungan dengan pria lain. Tapi, sejak menikah ia sudah benar-benar  jatuh cinta pada Rion. Namun, entah kenapa takdir berkata lain. Ia hamil dengan Daffa yang sudah benar-benar ingin ia hempasan dari hidupnya. Rion tersenyum lirih. Terlihat jelas di matanya,lelaki itu sangat terluka. Semua orang tahu seberapa besar cinta dan pengorbanannya untuk Nindi. "Rion...katakan sesuatu." Nindi kembali menangis. "Nindi,sebaiknya kamu beristirahat terlebih dahulu. Aku enggak mau kamu makin sakit." Rion mengusap puncak kepala Nindi. "Bagaimana dengan kita?"tanya Nindi lagi. "Nanti kita bicarakan,ya...kamu harus istirahat, aku juga butuh waktu untuk menenangkan pikiranku. Tenang aja, aku enggak kemana-mana." Nindi mengangguk, tentu ia tidak bisa menahan Rion lebih lama. Semua ini adalah salahnya. Ia yang sudah menciptakan api besar di dalam kehidupan rumah tangganya yang masih berjalan dua minggu. Semuanya hancur di tangannya sendiri. Rion keluar dari kamar, lalu berjalan di koridor rumah sakit dengan tatapan kosong. Saat ini, ia butuh ruang untuk menghirup udara segar. Ia menatap Mama dan Papa Nindi dengan senyuman tegasnya. "Kamu baik-baik aja, Rion?" tanya Mama Nindi khawatir. "Iya, Ma. Baik." Rion duduk di salah satu bangku yang ada di tepi koridor dengan lemas. "Kamu...kelihatan sedih sekali,Rion...ada apa?" "Daffa,"ucap Rion gantung. Mama dan Papa bertukar pandang."Daffa? Kenapa dengan Daffa?" "Daffa...adalah Ayah dari anak di dalam kandungan Nindi, Ma, Pa,"jawab Rion datar. Air mata Mama mengalir, ia terisak sambil memeluk sang suami. Mereka bertiga bersedih atas semua kejadian ini. "Rion, Papa minta kontaknya. Papa mau hubungin dia." Rion mengambil ponselnya dan memberikan kontak Daffa. Lelaki paruh baya itu menscroll layar ponselnya dengan wajah geram. Ia menghubungi Daffa demi kejelasan hidup sang anak. itu, Rion membuang pandangannya ke depan. Ia menjadi mati rasa, tidak lagi bisa menangis, sedih, marah, atau pun murka. Ia terduduk pasrah, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.     ** Sayang, baru kemarin rasanya kulihat air mata kebahagiaan di pipimu. Saat aku menghalalkanmu di depan kedua orangtuamu. Andai kebahagiaan itu adalah hujan,tentu masih terasa basah dengan aroma tanah yang penuh kenangan. Kuharap ini adalah sebuah badai, yang setelahnya akan memunculkan pelangi.   (Oleh : Adiatamasa)     Rion masih berada di tempatnya sejak dua jam yang lalu. Di sebuah kursi yang ada di koridor rumah sakit. Ia sedang berusaha mengkondisikan hatinya agar berkurang rasa sakitnya. Sesekali ia mengatakan pada dirinya sendiri, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Di dalam sana ada Daffa serta kedua orangtuanya, yang juga merupakan orangtua Rion. Mereka datang sejak satu jam yang lalu. Rion adalah anak angkat dari keluarga tersebut. Sejak ia mandiri secara finansial, Rion memutuskan untuk membangun istananya sendiri. Sebuah rumah yang ia tinggali sekarang dengan Nindi. Daffa adalah anak tunggal dari pasangan keluarga itu,oleh sebab itu mereka mengangkat seorang anak lagi dari panti asuhan. Anak itu adalah Rion. Rion menarik napas berat berkali-kali, dadanya terasa sesak. Ia merasa terasing dari keluarganya karena masalah ini. Padahal, ia berada di posisi yang benar. Mungkin, karena ia sadar bahwa dirinya bukanlah anak kandung. Lalu perlahan ia mendengar suara ketukan sepatu dari arah ruangan Nindi. Daffa berjalan ke arahnya dengan tatapan dingin. Rion menatap Daffa dengan mata yang pedih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD