Bab 3

1039 Words
"Kau menghamili Nindi?"tanya Rion langsung. Ia tidak lagi memanggilnya kakak karena Daffa sudah berkhianat padanya. Daffa menyandarkan tubuhnya ke pilar."Kita sama-sama menginginkannya." "Tapi, saat itu dia adalah tunanganku. Kau tahu itu bukan?" tatap Rion dengan marah. "Tidak tahu." Mata Rion terlihat tajam menatap Daffa, andai Daffa bukanlah kakaknya, ia akan langsung menghajar lelaki itu tanpa ampun."Kau Kakakku tetapi pura-pura tidak tahu bahwa aku sudah melamarnya." Daffa tersenyum santai."Mama sama Papa tidak memberi tahu kalau kau melamarnya. Lagi pula, kenapa kau tidak mengajakku serta dalam lamaranmu?" "Tapi sejak awal kakak tahu bahwa Nindi itu kekasihku, jadi enggak perlu mendekatinya." "Kau ini cowok yang payah. Kami sudah sering melakukannya, jauh sebelum kalian bertunangan. Kau paham maksudnya?" Daffa tersenyum sinis. Kelakukannya benar-benar bukan seperti seorang kakak. Rion terdiam, ia masih mencerna kata-kata Daffa di dalam otaknya."Kalian memiliki hubungan?" "Ya semacam itu, Nindi akan datang padaku jika membutuhkan sesuatu yang tidak akan pernah ia dapatkan darimu selama pacaran. Yaitu...seks." Daffa tersenyum meremehkan sang adik."Lalu...saat Nindi membutuhkan semua itu, kau ada dimana? Sedang bergumul dengan game, serta konten-kontenmu itu. Kau terlalu sibuk untuk memiliki kekasih secantik itu." Rion meneguk salivanya. Tulang-tulang di tubuhnya seakan sirna. Selama ini, ia memang sangat disibukkan dengan profesinya sebagai youtuber. Tapi, itu semua bertujuan agar ia segera  d memiliki banyak uang untuk melamar sang gadis pujaan. Maksud dan  tujuannya tidak menyentuh Nindi adalah supaya wanita itu terjaga kehormatannya. Namun, ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Nindi mencari lelaki lain untuk memuaskan hasrat. Ia memang tahu bahwa Nindi tidak lagi virgin, baginya itu bukanlah masalah. Namun, ia tidak menyangka kalau wanita yang dicintainya itu seperti ini. "Jadi, Nindi sudah hamil darah dagingku bukan? Aku ingin mengambil anak dan juga Ibunya, maka...cerailah dengan Nindi. Aku akan menikahinya,"lanjut Rion. "Aku tidak mau menceraikannya,"kata Rion. Daffa tertawa mengejek."Silahkan, aku akan menyuruh Nindi menceraikanmu. Dia pasti bersedia. Kau tahu...dia tidak pernah mencintaimu. Karena...kalau kau satu-satunya laki di hatinya, maka tidak akan pernah ada aku di antara kalian." Rion menarik napas panjang."Semua tergantung Nindi bukan? Kalau dia tidak menginginkan perceraian, tentu itu tidak akan terjadi." Daffa kembali tersenyum."Silahkan kau tanya pada Nindi. Kita lihat...siapa yang akan dipilih." Rion berjalan cepat ke dalam ruangan. Ia tidak peduli dengan ucapan Daffa. Ia tahu kalau Nindi juga mencintainya. Nindi pasti akan memilihnya. Di dalam sana, dilihatnya wajah Nindi sembap karena sehabis menangis. Kasihan sekali isterinya itu, disaat hamil seperti ini pikirannya justru sedang menanggung beban."Nindi..." "Rion," ucap Nindi sambil mengusap air matanya cepat "Kamu enggak apa-apa?" Nindi menggeleng."Enggak apa-apa. Kamu dari mana?" "Bicara sama Daffa." Rion merapikan anak rambut Nindi yang berantakan."Aku sayang kamu,Ndi, sangat sayang. Tapi, kenapa kamu seperti ini? Kenapa kamu khianati aku? Kamu tahu, kan...kenapa kita pacaran jarak jauh? Karena aku harus cari uang...untuk bekal kita berumah tangga. Agar aku bisa memberikan kehidupan yang layak untuk kamu...dan keluarga kecil kita." Nindi terisak."Maafin aku, Rion, maaf...." "Aku tidak mau kita cerai, Nindi, biarkan aku tanggung semuanya,"lanjut Rion. "Tapi, Rion...." Mama Rion ikut bicara. Rion menoleh ke arah Mama dan menunggu wanita itu melanjutkan ucapannya. "Itu adalah anak Daffa, bagaimana pun juga...anak itu harus bersama dengan Ayah kandungnya. Kasihan kan...kalau suatu hari nanti dia tahu bahwa kamu bukan Ayahnya." Rion menggenggam tangan Nindi dengan erat, ia ikut terisak."Tapi, Rion sangat mencintai Nindi, Ma...izinkan kami bersama. Rion akan urus anak ini sampai dewasa. Tidak apa dia bukan darah dagingku, asalkan...kami tidak berpisah." "Tidak bisa. Karena aku akan bertanggung jawab. Nindi...ambillah resiko atas perbuatan kita. Kau memilih memulai hubungan denganku, sekarang...kau juga harus siap menanggung resiko bercerai dengan Rion. Aku ingin anakku dan Ibunya." Daffa muncul di depan pintu. "Nindi, jangan...kita masih bisa bicarakan semuanya kan?" kata Rion yang masih menggenggam tangan wanita itu. Sementara kedua orangtua mereka terdiam di tempatnya masing-masing dengan uraian air mata. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menyerahkan segala urusan pada ketiga anak mereka. "Rion...maaf, selama ini sudah mengkhianatimu. Aku memang tidak pernah percaya bahwa kamu mencintaiku dengan tulus. Kamu selalu sibuk dan tidak pernah bisa dihubungi. Kau hanya ada ketika kau memang menginginkannya. Hubungan jarak jauh adalah tentang komunikasi. Saat itu, aku merasa aku bukan siapa-siapa kamu, Yon. Aku merasa tidak pernah penting. Bahkan sampai kamu melamarku, aku merasa itu hanya bentuk upayamu menghilangkan protesku atas sikapmu. Tapi, aku...menyadari bahwa kamu benar-benar sayang padaku ketika sebulan sebelum pernikahan kita. Kamu mulai menunjukkan betapa kamu mencintaiku. Aku mulai sayang lagi padamu. Aku pikir, aku bisa memulai hidup baru denganmu dan meninggalkan Daffa. Tapi, ternyata aku hamil. Aku...minta maaf, Rion, maaf. Aku malu...padamu yang masih bersikap baik padahal aku sudah berselingkuh." "Lalu...hubungan kita?" "Semuanya menginginkan perceraian, Yon...lagi pula, aku merasa tidak pantas jika masih bersamamu. Aku malu." Rion menggeleng."Jangan merasa seperti itu...jangan." "Nindi sudah membuat keputusan, Rion. Segera urus perceraian kalian!"ucap Daffa. Keempat orangtua itu keluar dari sana, sementara di dalam, Rion masih terus memohon pada Nindi agar tidak menceraikannya. Namun, semua harus diputuskan. "Maafkan aku!" isak Nindi sambil mencium tangan Rion. "Enggak apa-apa, Nindi, asalkan kamu tidak mengulanginya lagi." "Maaf, Rion...maaf...kita harus bercerai,"ucap Nindi dengan pilu. Tubuh Rion membatu, rasanya bumi ini berhenti berputar,waktu juga berhenti berjalan. Dadanya terasa sesak seakan ia tidak akan lagi bernapas. Pagi tadi, ia masih bertatapan mesra dengan Nindi, sore ini ia harus menerima kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan di dalam hidupnya. Yaitu sebuah perceraian.     **   Cinta... Apakah hari ini aku bermimpi? Tentang sebuah kesakitan yang begitu dalam. Tak pernah kubayangkan...cinta kita yang begitu indah berubah menjadi sesuatu yang ingin aku hapus dari ingatan. Cinta, bangunkan aku... Ini tidak lucu, baru saja kemarin kita bersenda gurau di atas ranjang, bergumul mesra, dan menciptakan kehangatan. Sekarang, semua terasa dingin. Cinta, lihat aku... Tersenyumlah seperti aku tersenyum padamu. Katakan bahwa kau juga mencintaiku. Cinta, jangan pergi, karena aku tak ingin sendiri.   (Oleh : Adiatamasa)     Rion menghapus air matanya usai menulis kalimat demi kalimat tersebut di sebuah catatan kecil. Entah apa yang ada di pikirannya, ia menjadi begitu lemah dan cengeng. Tidak ada lelaki di dunia ini yang mudah menangis. Tapi, dirinya mudah sekali tersentuh.  Hari ini, setelah berminggu-minggu melewati sidang demi sidang, Ia dan Nindi sudah resmi bercerai. Ia menatap sang isteri untuk terakhir kalinya tadi di dalam sana. Nama Nindi akan terus membayangi hidupnya, karena ia tetap menjadi bagian dari keluarga. Dulu, Nindi berstatus sebagai isteri. Sekarang, sudah menjadi mantan isteri. Mungkin besok statusnya sudah berubah menjadi kakak ipar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD