4

1906 Words
Pagi ini jadwalku lumayan longgar. Jam tujuh ada mata kuliah Studi Kelayakan Bisnis di gedung F, berlanjut Ekonomi Bisnis Internasional di gedung B hingga pukul sebelas nanti. Rima sudah menungguku di warung soto Lamongan depan kampus. Kami memang sudah janjian sebelum berangkat tadi. Banyak hal yang ingin dia ketahui tentang hari pertamaku bekerja kemarin sore. Kalau ku ingat itu, aku jadi tersenyum sendiri. Pasti Rima akan heboh mendengar ceritaku. Ku percepat langkahku saat menuruni tangga rumah kostku dan berlari melintasi jalanan yang masih sepi.Hp ku sudah berbunyi berkali-kali. Pasti Rima yang menghubungiku, mungkin dia sudah bosan menungguku. "Ra!" ku dengar seseorang memanggilku. Ku tolehkan kepalaku. Ternyata mas Aryo. Sepertinya dia sudah siap untuk berangkat ke kantor. Terlihat dari tas yang sudah bertengger di pundak sambil mengeluarkan sepeda motor dari halaman rumahnya. "Ada kuliah? Kok lari-lari gitu? ayo aku anterin." "Nggak usah mas. Nih aku janjian mau sarapan bareng sama Rima terus lanjut kuliah. Si Rima udah nunggu di warung soto dari tadi, marah nih pasti," ku tunjukkan ponsel yang terus-menerus berbunyi. Dia cuma tersenyum. "Ayo bareng aja sampai depan biar lebih cepat." Ku anggukkan kepalaku lalu naik keboncengan mas Aryo. Dia menurunkanku didepan warung soto. "Nanti malam keluar yuk?" dia terdiam sejenak. "Kangen makan bakso di SuHat bareng kamu." Ku hela napasku. Kami memang sering keluar bersama. Entah itu sekedar nongkrong di cafe, nonton, atau pun berwisata kuliner di malam hari. Salah satu favorit kami adalah bakso yang terletak di jalan Sukarno-Hatta atau biasa kami singkat SuHat. "Aku masih gak tau nanti pulangnya jam berapa dari rumah anak didik ku mas, nanti sore jadwalku ngasih bimbingan," jawabku memelas. Jujur aku memang masih belum tahu apa yang akan aku lakukan nanti di rumah pak Rangga. Kalau memang memungkinkan aku akan mencoba memulai mengajaknya belajar. Tapi mengingat pesan pak Rangga kemarin yang melarang memaksa Raffa apabila dia tidak mau belajar. Ya sudah, mungkin ku biarkan saja dia melakukan apa yang di suka. Kalau semuanya lancar mungkin sebelum magrib aku sudah bisa pulang. Tapi kalau seperti kemarin? Molor sampai malam karena masih di suruh ikut makan malam, aku belum tahu jam berapa bisa pulang. "Emang kemarin kamu belum buat kesepakatan sama orang tua tuh anak? kok masih belum tau jadwal selesainya bimbingan kamu?" sepertinya mas Aryo mulai tidak suka dengan apa yang aku sampaikan. "Sudah sih, tapi ada beberapa kondisi khusus yang harus aku ikuti. Nanti aku jelasin lagi. Tuh Rima sudah keluar tanduk di dalam," ujarku sambil menunjuk rima yang duduk sambil cemberut di dalam warung soto. Sengaja ku alihkan pembicaraan kami. Aku tidak mau membahas masalah ini sekarang. "Ya sudah, kamu sarapan dulu. Mas berangkat ya, kamu masih hutang penjelasan lo," jawabnya sambil menyalakan sepeda motornya. "Siap boss," ujarku melebarkan senyum sambil memberi hormat. "Hati-ati, jangan ngebut," lanjutku saat dia mulai memutar setir untuk berbelok menuju kantornya. "Cie-cie, enak nih yang pagi-pagi udah pacaran. Yang nunggu disini sampe jamuran," Rima sudah memberengut sambil meraih gelas es jeruknya yang tinggal setengah. "Iya maaf, maaf... Biar aku yang bayar deh sarapan kamu. Tapi jangan ngambek dong, batal nih soto gratisnya," aku terbahak sambil berlalu untuk memesan seporsi soto dan segelas es jeruk. Benar-benar paduan yang mantap. "Kamu beneran gak lagi jadian sama mas Aryo? Kok lengket banget gitu?" ku lempar gumpalan tisu yang baru saja ku raih di hadapanku ke wajahnya. "Enak aja. Ngomong gak ada filternya" "Loh, benar kan yang aku bilang, kamu kemana-mana di kuntit terus sama tuch orang. Uang jutaan dikasih cuma-cuma ke kamu." balasnya sambil membuang tisu yang ku lempar di keranjang sampah di belakang kursinya. "Makasih," ucapku saat soto dan es jeruk ku di suguhkan seorang pelayan kepadaku.  Ku alihkan pandanganku ke Rima lagi. "Udah di bilang, aku PINJAM bukan minta," ku tekan kata pinjam, enak saja dia bilang. Aku bukan orang yang mudah menerima pemberian orang lain. Apa lagi uang jutaan rupiah dari mas Aryo. "Lah, kan dia bilang gak usah balikin itu uang. Ngapain kamu ribet sendiri. Di syukurin lah dapat rejeki. Kalau nanti Meta datang dan balikin uang itu berarti kamu kan gak jadi hutang budi sama mas Aryo. Kamu terlalu ribet," ucapnya panjang lebar. "Lagian ya Ra, Mas Aryo tuh udah cinta mati sama kamu, kamunya aja yang cuek. Kasihan lo di php in terus sama kamu." Ku embuskan nafasku "Aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia, Rim. Aku sudah pernah bahas masalah ini sama dia. Aku udah anggap dia kakak. Gak lebih." Yah memang benar, hubunganku dengan mas Aryo tidak akan bisa di bawa kemana-mana. Aku sudah mengganggapnya sebagai seorang kakak yang tak pernah aku miliki. Sebagai anak tunggal aku sudah terbiasa mendapatkan semua keinginanku. Saat harus berjauhan dengan keluarga karena harus kuliah di luar kota seperti saat ini, kehadiran mas Aryo benar-benar mengisi kekosongan kasih sayang dari keluargaku. Memang mas Aryo pernah mengutarakan perasaannya kepadaku beberapa bulan yang lalu. Waktu itu aku sudah memutus harapannya bahwa aku menganggapnya sebagai kakak, tidak lebih. Tapi saat dia minta kesempatan untuk tetap dekat denganku. Aku pun tak bisa menolak. Tapi yang pasti aku sudah mengatakan kepadanya untuk jangan terlalu berharap kepadaku. Masih banyak perempuan di luar sana yang lebih baik dariku. "Ya sudah kalau kamu sudah membahasnya dengannya. Kasian aja lihat dia jungkir balik ngejar kamu, eh kamunya nyantai gitu." Ku hirup aroma kuah soto yang sudah ku bubuhi air jeruk nipis, kemudian menyuapkannya ke mulutku. Rasa gurih koya di padu segarnya jeruk nipis memang benar-benar membuatku tak pernah sedikitpun menyisakan menu sarapanku ini. "Terus aku harus gimana lagi, dia maunya gitu. Terserah. Yang penting aku gak pernah ngasih harapan lebih." Ku bubuhkan sambal di mangkuk ku karena masih terasa kurang pedas. "Udah ah jangan bahas itu terus, bikin mood aku anjlok aja," lanjutku sambil melahap kuah yang masih mengepul. "Ini beneran gratiskan? Kamu yang bayarin?" aku cuma mengangguk mengiyakan. "Wah jangan-jangan ini traktiran karena dapat job baru nih? Atau traktiran karena udah bisa kenal sama si om duren? yang kemarin Sukses kan?" Rima memborong pertanyaan tanpa memberiku waktu untuk menjawab. Ku acungkan jempolku. Kemarin memang awal yang bagus untuk kelanjutan bimbingan belajar yang akan ku lalui dengan Raffa. "Cakep gak?" "Apanya yang cakep?" aku tidak tahu apa yang dia maksud. "Ya elah, pake nanya. Ya si Duren lah." sambung Rima. Dahi ku mengernyit, aku benar-benar tidak faham dengan arah pembicaraannya. "Apaan sih, beneran aku gak tau kamu ngomong apa." Di embuskan nafasnya keras "Faira, aku nanya sekali lagi, si om Duren cakep gak?" "Siapa yang duren sih? Dari tadi duren-duren terus?" Seketika gumpalan tisu melayang ke wajahku. "Hellooo.... Faira, kamu tahu gak? Status ayah murid kamu itu? Duda jeng, alias single plus plus, available," ucap Rima dramatis sambil berdiri meletakkan kedua tangannya di pinggang. Aku hanya bisa menganga sambil mengumpat dalam hati. Malu-maluin banget nih orang. Ku tolehkan kepalaku ke kiri dan kanan, semuanya memandang kami heran. Aku hanya bisa tersenyum menahan malu "Maaf, kesurupan dia," tunjukku ke arah Rima. "Enak aja bilang kesurupan, kamu tuh yang b**o kelewatan, coba dari tadi langsung nyambung aku kan gak perlu teriak-teriak," di hempaskan pantatnya di kursi sambil menatap tajam ke wajahku. "Ya aku mana tau kalo pak Rangga itu duda, single parent. Kan kamu baru aja bilang" ujarku santai sambil tetap menyendokkan nasi ke mulutku. Sumpah soto ini benar-benar bikin aku ketagihan. "Ya udahlah," Rima mengibaskan tangannya. "Tapi cakep kan orangnya?" lanjut Rima sambil menaik turunkan alisnya. Ku dorong dahinya dengan telunjukku. "Anak kecil gak usah sok tau urusan orang dewasa." "Ih sialan banget kamu, Ra. Pasti cakep tuh orang makanya kamu diam-diam aja," balas Rima sambil bersungut-sungut. "Ayo cepet abisin makannya, jangan bahas di sini. Kamu malu-maluin, berisik banget" ucapku jengkel sambil cepat-cepat melahap sisa soto yang masih tinggal separuh. Setelah itu kami pun bergegas ke kampus menuju kelas kami. Aku menceritakan semua yang terjadi di rumah pak Rangga tanpa terlewat sedikitpun. Rima juga sempat bercerita bahwa anak didik ku--Raffa tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Ibunya telah berpisah dengan ayahnya--pak Rangga saat dia masih berumur dua tahun. Rima mendapatkan cerita itu tadi malam setelah dia menelepon kakak sepupunya yang berprofesi menjadi guru di sekolah Raffa. Orang yang juga berjasa memberiku kesempatan untuk bisa bekerja paruh waktu menjadi guru pembimbing Raffa. Mungkin kalau aku sudah mendapatkan honor dari pak Rangga aku akan mengunjungi Mbak Syifa, kakak sepupu Rima. Yah mungkin sekedar mentraktir makan siang sepertinya bukan ide yang buruk. Setelah mendengarkan cerita Rima, Aku semakin prihatin dengan Raffa. Meskipun mendapatkan fasilitas dan materi yang melimpah. Tapi dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya. Mungkin itu penyebab dia menjadi tertutup dan tidak mau di dekati orang-orang di sekitarnya. Aku jadi ingat diriku sendiri. Sudah sebesar ini aku masih manja ke mama, apalagi papa. Beliau malah sering mendapatkan protes dari mama karena terlalu sering menuruti keinginanku. *** Sore ini aku kembali ke rumah pak Rangga. Kali ini mas Aryo yang mengantarku. Sebenarnya aku sudah menolak karena dia baru saja datang dari kantor. Gurat kelelahan terlihat jelas di wajahnya. Tapi karena dia memaksa dengan alasan ingin tahu di mana rumah anak didikku itu,akhirnya ku iyakan saja kemauannya. Begitu aku turun dari boncengan mas Aryo ku lihat sebuah SUV hitam memasuki pagar yang baru saja di buka oleh pak Burhan. Segera ku lepas helm yang ku pakai dan ku berikan pada mas Aryo. Akupun pamit masuk sambil melambaikan tanganku ke mas Aryo dan berpesan untuk berhati-hati di jalan. Ku langkahkan kakiku memasuki halaman rumput rumah pak Rangga. Ku edarkan pandangan. Ternyata SUV hitam tadi membawa pak Rangga di dalamnya. Dia tampak menutup pintu belakang mobil sambil menggulung lengan kemejanya kemudian menyampirkan tas kerjanya di pundak. Tak lama kemudian si sopir yang belum ku tahu namanya melajukan mobilnya menuju garasi di samping rumah. Ku beranikan diri menyapanya dengan memasang senyum lebar "Selamat sore pak. Baru pulang kantor ya?." Dia menolehkan kepalanya "Oh, Faira. Iya nih baru pulang," jawabnya singkat. "Kamu naik apa barusan?" tanyanya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman. Mungkin beliau mencari-cari transportasi apa yang baru saja mengantarku sampai ke rumahnya. "Saya di antar teman naik sepeda motor pak?" balasku masih tetap memasang senyum terbaikku. Ingat Faira harus terlihat ramah, agak pak Rangga tetap menggunakan jasa kamu untuk membimbing anaknya belajar. Batinku berucap. "Ya sudah silahkan masuk, mungkin Raffa sudah menunggu," balasnya sambil mempersilahkan aku mengikutinya dari belakang. Ku perhatikan punggungnya dari belakang. Kayaknya enak banget kalau di peluk. Punggung kokohnya benar-benar menggoda. Sandarable banget, aku terkekeh dalam hati. Apa yang menyebabkan laki-laki sesempurna ini ditinggalkan istrinya? Bodoh banget kalau dia sampai melakukan itu. Paduan antara fisik di atas rata-rata dan juga materi yang tidak akan ada habisnya merupakan sasaran yang tepat bagi perempuan di luar sana. Apalagi dengan nilai tambah sifat yang sabar dan perhatian seperti yang di miliki pak Ranggga. Benar-benar kombinasi sempurna. "Kamu langsung ke kamarnya Raffa saja," perintahnya datar seketika membuyarkan lamunanku. Aku pun tergeragap. "Oh, eh i... iya pak," jawabku sambil bergegas melewatinya kemudian melintasi ruang keluarga dan ruang makan menuju lantai dua, kamar Raffa. Huh malu-maluin aja kamu Faira. Bisa-bisanya melamun di situasi yang tidak tepat. Semoga Pak Rangga tidak tahu kalau aku tadi melamunkan dirinya. Jelas tidak tahu lah, dia kan bukan cenayang. Aku terkekeh sendiri menyadari kebodohanku. Kuketuk pelan pintu kamar Raffa sesaat kakiku berdiri di depannya. tidak terdengar sahutan. Apa dia sedang tidur? ah tidak mungkin, ini sudah terlalu sore untuk waktu tidur siang. ku ulang mengetuk pintu itu lagi. Sedikit lebih keras "Raffa, ini kak Faira. Boleh kakak masuk?' "Masuk kak." ku dengar sahutan dari dalam. segera ku putar handle pintu dan mendorongnya. Oke Faira saatnya beraksi. Semangatku dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD