3

2182 Words
Luar biasa hanya kata itu yang ada dalam pikiranku saat memasuki halaman rumah megah itu. Halaman rumput yang di tata sedemikian rupa membuat siapapun betah berlama-lama untuk menikmati keindahannya. Begitu juga bangunan megah yang menjulang di hadapanku. Rumah bergaya mediterania yang cukup hangat saat di pandang. Semoga pemiliknya juga begitu. Hangat dan mau memilihku untuk menjadi pembimbing belajar anak mereka. "Bapak baru saja datang dari kantor, mungkin beliau masih membersihkan diri di kamar. Mbak__" "Faira pak," jawabku sambil terus mengikuti langkah si bapak. "Oh ya Mbak Faira bisa menunggu bapak di ruang keluarga, nanti setelah selesai bapak langsung turun." "Saya Burhan, saya penjaga rumah ini," lanjut pak Burhan sambil membuka pintu besar yang aku tahu pasti adalah pintu ruang tamu rumah ini. Seketika setelah pintu terbuka mataku bergerak kesana kemari memperhatikan semua yang ada dalam jangkauan mataku. Beginilah noraknya kalau belum pernah masuk ke rumah holang kayah. Aku jadi ingat kebiasaan ku dan teman-teman di kelas. Selalu memotret apa saja yang keren di depan mata. Tanganku juga mulai gatal untuk meraih hp di dalam tas. Tapi, sabar jangan norak tepisku dalam hati. Ingat, harus memberikan kesan positif. Foto-foto bisa nanti. Pak Burhan terus membimbingku melewati ruang tamu, kemudian berbelok ke kanan yang bisa aku tebak adalah ruang keluarga. Ruangan yang cukup luas dengan jendela dan pintu kaca yang menampilkan pemandangan taman samping rumah dan tak ketinggalan kolam renang berukuran sedang yang berkelok mengikuti bentuk bangunan rumah. Angin segar menerpa pelan wajahku akibat pintu samping yang terbuka. Sepertinya akan sangat menyenangkan jika aku bisa mengajar di ruangan ini. "Mbak Faira duduk dulu nanti Bi Nur yang mengantarkan minum. Mbak mau minum apa?" ucapan pak Burhan menyadarkan aku dari lamunan. "Apa aja deh Pak, tidak usah repot-repot." "Tentu saja tidak mbak, ayo silahkan duduk. Saya ke belakang dulu." ku balas ucapan pak Burhan dengan senyuman. Ku hela nafas panjang, berharap sedikit mengurangi kegugupan. Jujur saja aku masih belum terlalu percaya diri jika harus mengajar siswa sekolah dasar. Latar belakang pendidikan ku Ekonomi Manajemen. Tapi setidaknya otak ku aku harap bisa di ajak bekerja sama, dan aku rasa aku cukup mampu jika hanya memberikan bimbingan belajar untuk siswa kelas tiga Sekolah Dasar. Oh ayolah, saat aku bersekolah di sekolah dasar dulu, aku selalu mendapatkan peringkat pertama di kelas. Tetapi begitu naik ke tingkat Sekolah Menengah Pertama gelar itu sulit aku dapatkan. Tapi setidaknya aku masih masuk sepuluh besar di kelas hingga Sekolah Menengah Atas. Beberapa menit berlalu ku coba meregangkan tubuhku yang kaku. Ku sandarkan punggungku pada sofa empuk berwarna krem. Senada dengan dinding ruangan ini. Ku perhatikan foto-foto di dinding yang tertata dengan apik. Di sana tampak foto seorang pria_ yang ku perkirakan berusia pertengahan tiga puluhan bersama seorang anak laki-laki. Mungkin pria itulah pak Rangga dan si anak laki-laki itu adalah Raffa. Aku bahkan baru tahu nama anak itu tadi, saat pak Burhan yang mengatakannya. Benar-benar payah, seharusnya aku meminta biodata calon anak didik ku terlebih dahulu kepada Rima. Tak lama kudengar suara langkah kaki mendekat. Ku alihkan pandanganku ke arah datangny suara. Ternyata seorang wanita paruh baya yang datang sambil membawa segelas minuman berwarna oranye, mungkin jus jeruk aku tak tahu dan sepiring kue berwarna coklat yang aku pastikan itu adalah brownies lengkap dengan garpu kecil untuk menyantapnya. "Silahkan di minum mbak, kuenya juga di makan. Bapak sebentar lagi turun." ucap wanita itu yang kalau tidak salah, tadi pak Burhan bilang bi Nur. "Makasih banyak bu, kok jadi ngerepotin sih," sambutku dengan senyuman melihat bi Nur meletakkan minuman dan kue di meja. "Jangan panggil bu, panggil bi Nur aja." Ku anggukkan kepalaku mengiyakan permintaannya. Setelah bi Nur berlalu dari hadapanku, akupun meraih gelas minuman berwarna oranye itu. Jeruk, ternyata memang jus jeruk. Lumayan bisa mengurangi keteganganku menunggu sang tuan rumah yang tak kunjung turun padahal sudah lima belas menit aku menunggu. Gini kali rasanya jadi orang yang butuh pekerjaan. Menunggu bukan hal yang di permasalahkan. Apa lagi kalau imbalannya ada segebok uang. Lima menit kemudian aku mulai di landa kecemasan. Kok sampai detik ini si tuan rumah belum muncul juga. Dua puluh menit bukan waktu yang singkat. Jangan-jangan tuh tuan besar tidur, atau bahkan lupa kalau ada seseorang yang menunggunya dengan perasaan was-was. Untung sofanya nyaman banget kalau tidak hadeh pasti sudah pengen kabur dari tadi. "Maaf, lama menunggu." seketika aku terlonjak kaget, menegakkan punggungku dari sofa. Ku tolehkan kepalaku ke asal suara yang terdengar cukup berat dan ya ampyuuuunnn.... Kok ada aktor hollywood di sini? Gak salah tempat kan? Pikiranku mulai melantur. "Saya Rangga Bhumi Danarjati, ayah Raffa," lanjutnya memutus kekagetanku sambil mengulurkan tangan. Segera aku bangkit dari sofa dan ku sambut jabatan tangannya. Tanganku terlihat begitu kecil saat berjabatan dengan tangan besarnya yang hangat. "Faira pak, Faira Winata," balasku sedikit gugup. Gimana tidak gugup ternyata si tuan rumah jauh dari perkiraanku. Meskipun beberapa menit yang lalu aku sudah melihat fotonya di dinding di hadapanku, tapi jauh banget. Pria di hadapanku ini seperti bukan orang yang sama. Yang ini terlihat lebih errr... Seky mungkin. Upss, manly aja ya, agar terdengar lebih sopan. "Silahkan duduk, mari di minum airnya." Ya elah udah jelas-jelas itu gelas warnanya oranye kekuningan kok masih bilang air sih pak, kalimat itu hanya mampu ku ucapkan dalam hati. "Iya pak makasih." aku duduk kembali, pak Rangga duduk di sofa tunggal di hadapanku. "Langsung saja ya," ucapnya tanpa basa-basi. Aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Anda di rekomendasikan wali kelas anak saya di sekolah. Saya harap anda mampu membimbing anak saya," dia menjeda sejenak. "Raffa ini berbeda dari anak kebanyakan. Dia cenderung pendiam dan tertutup. Sangat sulit untuk memulai komunikasi bahkan akrab dengan dia. Dia sangat selektif dalam memilih siapa saja orang yang boleh berdekatan dengan dia. Itulah sebabnya dia tak banyak memiliki teman," dia menarik nafas panjang lalu melanjutkan. "Saya tidak berharap terlalu banyak, sudah banyak guru saya datangkan untuk Raffa tapi jangankan mau belajar. Di sapa saja tidak oleh Raffa." Seketika kepalaku berdenyut sakit, gawat! Bagaimana kalau nasibku sama dengan para guru pembimbing sebelumnya. Haduh.... Mau cari uang dimana lagi?. "Saya akan berusaha sebaik-baiknya pak" ucapku mantap meskipun hatiku berkata hal yang sebaliknya. "Semoga Raffa mau berteman dengan saya". Ku lihat sorot mata pak Rangga kurang yakin saat menatapku. Ya ampyun pak, jangan lihat saya lama-lama gitu dong. Saya jadi tambah dag dig dug. Pikiranku mulai melantur lagi. Oke Faira, fokus. "Oh ya, kabarnya anda saat ini ada di semester akhir? Apa tidak mengganggu kegiatan perkuliahan dan skripsi anda nanti?" Ih kok pakai anda-anda sih. "Panggil Faira aja pak lebih nyaman di dengar," ucapku sambil terkekeh lalu ku lemparkan senyum manisku. "Saat ini saya hanya mempunyai tiga mata kuliah yang bobot SKS nya juga sedikit. Jadi hanya butuh tiga hari untuk kuliah, itupun tidak full dalam sehari. Makanya saya banyak mempunyai waktu luang. Sedangkan untuk skripsi masih akan di mulai semester depan." jelasku. Setelah berbicara panjang lebar akhirnya kami mendapatkan keputusan akhir. Aku hanya akan membimbing Raffa tiga kali dalam seminggu di sore hari. Materi yang aku ajarkan juga tidak harus materi pelajarannya di sekolah. Aku bisa mengajaknya bermain sambil belajar. Intinya target utamaku adalah aku bisa mendekatkan diri dengan Raffa. Masalah belajar tinggal mengikuti saja,kalau Raffa nyaman denganku tentu dia akan mau belajar denganku juga. Dan satu lagi yang penting. Pak Rangga memberikan honor yang luar biasa. Bahkan angkanya lebih besar dari pada jatah bulanan kiriman dari mama. "Mari saya kenalkan ke Raffa," pak Rangga berdiri setelah pembicaraan panjang kami yang memakan waktu sekitar empat puluh lima menit. Aku pun mengikuti langkah pak Rangga menuju lantai dua melewati ruang makan. Harum masakan langsung tercium saat aku berhenti tak jauh dari meja makan karena pak Rangga juga menghentikan langkahnya. "Biii..." tak lama bi Nur berjalan mendekat ke arah kami. "Tambah satu piring lagi untuk makan malam." "Oh iya pak," jawab bi Nur antusias kemudian berlalu ke dapur yang terlihat jelas dari tempatku berdiri. Ku embuskan napasku. Benar-benar seperti di istana saja, rumah yang megah dan mewah lengkap dengan sederet asisten rumah tangga yang siap melayani kapan saja. Pak Rangga pun segera bergegas melanjutkan langkahnya menaiki tangga. Ku ikuti langkahnya sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah. Tidak apa-apa kan? Toh pak Rangga tidak akan tahu karena aku berjalan di belakangnya. Begitu kaki ku menginjak lantai dua, foto-foto berbingkai sederhana namun berkesan mewah langsung tertangkap mataku. Foto anak-anak, bayi, juga foto pak Rangga dan beberapa orang yang tidak aku kenal memenuhi dinding berwarna pastel itu. Tapi setelah aku amati, kenapa tidak ada foto mereka bertiga? Maksudku foto pak Rangga, Raffa, dan istri pak Rangga. Tidak ada sebuah bingkai pun yang memasang foto yang kemungkinan adalah foto istri pak Rangga. Ah biarlah itu tidak penting, bukan urusanku juga kan. Yang sekarang harus aku lakukan adalah bagaimana caranya membuat Raffa mau ku dekati. Selang beberapa detik, langkah pak Rangga terhenti didepan pintu yang ku yakini adalah pintu kamar Raffa. di ketuknya pintu itu pelan "Raffa sayang, ini Papa nak. Boleh papa masuk?" tak berapa lama pintu itu terayun menampilkan sosok imut khas bangun tidur. lengkap dengan rambut keriting acak-acakan. Beberapa detik aku terpana, nih anak kok cakep banget ya. Gimana caranya pak Rangga dan istrinya bisa menghasilkan bibit unggul seperti di hadapanku ini. "Maaf sayang, papa ganggu tidur Raffa. Papa tidak tahu kalau Raffa sedang tidur," ucap pak Rangga sambil mengelus rambut Raffa pelan. "Boleh papa masuk? ada yang mau papa kenalin nih," ucap pak Rangga sambil menoleh ke arahku. Raffa pun mengangguk mengiyakan sambil membuka lebar pintu kamarnya. Ku ikuti langkah mereka memasuki ruangan yang cukup luas itu. Sepertinya ruangan ini tidak hanya di fungsikan sebagai kamar tidur, tapi juga ruang bermain. Di sisi kiri terdapat tempat tidur yang kelihatannya sangat nyaman yang didekorasi begitu indah berlatar belakang kartun animasi Avatar, The Legend Of Aang lengkap dengan beraneka miniatur para tokohnya di atas nakas dan lemari kaca di samping tempat tidur. Kemudian ada dua buah pintu yang sepertinya adalah pintu kamar mandi dan mungkin ruang penyimpanan baju dan perlengkapan Raffa, karena aku tak menemukan lemari sama sekali di ruangan ini. Di sebelah kanan pintu tampak sebuah karpet tebal terhampar, beberapa lego tampak berserakan di atasnya. Mungkin sebelum tidur tadi dia bermain di sana. Sebuah boneka besar seukuran tubuhku juga tergeletak disana, Appa, si bison terbang berbulu tebal berwarna putih milik Aang, salah satu tokoh utama di kartun Avatar. Satu set meja belajar juga lemari kaca penyimpanan mainan juga ada di sana. Sedangkan di pojok ruangan tampak beberapa kotak mainan yang isinya sudah menggunung saking banyaknya isi di dalamnya. Anak yang sangat beruntung, di luar sana jangan kan untuk mendapatkan mainan sebanyak itu, untuk menikmati es krim saja mereka tidak mampu. "Kenalin, ini kak Faira. Kak Faira ini yang akan menemani kamu bermain juga belajar." tanpa di suruh Raffa langsung mengulurkan tangannya kepadaku. Segera ku sambut uluran tangannya. Di ciumnya tangan ku dengan takzim. Anak sesopan ini kenapa bisa bermasalah dalam bergaul dengan orang di sekitarnya? tanyaku dalam hati. Dan begitulah sore itu ku lalui dengan berkenalan dan saling mengobrol bertiga di kamar Raffa. Ku usahakan membangun suasana yang nyaman untuk Raffa. Kami bertiga membicarakan berbagai hal tanpa sekalipun membahas tentang pelajaran di sekolah. Di menit-menit awal memang agak sulit untuk mengajak Raffa ikut serta dalam percakapan kami. Tetapi setelah ku singgung tentang Avatar. Dia begitu antusias membahasnya. Mulai dari asal usul Aang si Avatar hingga Sang pangeran dari kerajaan api. Satu hal yang aku tau. Tidak sia-sia aku dari dulu menonton kartun. Mulai dari Masha and the bear, Inuyasha, Sailormoon bahkan sampai Tayo si bus kecil berwarna biru aku tonton semua tidak ada yang ketinggalan. Dan kupastikan, aku akan dengan mudah mengambil hati Raffa setelah ini. *** Tanpa terasa hari sudah beranjak gelap. Pembicaan yang kami lalui benar-benar menyenangkan. Akupun segera beranjak untuk pamit pulang. "Kamu makan malam di sini saja." "Makasih banyak pak, tapi tidak usah. Saya bisa makan di rumah kost saya nanti. Sudah malam," jawabku sungkan. Aku sudah banyak mendapatkan kebaikan dari pak Rangga hari ini, jadi rasanya tidak bijak jika aku masih terus menerima kebaikannya lagi. "Setidaknya temani Raffa makan terlebih dahulu baru kamu pulang," pinta pak Rangga pelan. Mungkin dia sengaja memperkecil volume suaranya karena khawatir Raffa mendengarkan percakapan kami. Ku hela nafas pelan lalu ku anggukkan kepalaku. Senyuman lebar terbit di bibir pak Rangga, senyum yang baru ku tahu benar-benar mempesona. Karena terlalu gugup dan konsen dengan Raffa aku tak sempat memperhatikan wajah pak Rangga. Dia benar-benar pria matang yang mengagumkan. Dengan tinggi badan yang melebihi rata-rata laki-laki indonesia, tubuhnya yg tegap semakin menambah nilai plus fisiknya yang sempurna. Tak hanya sampai di situ. Rahang yang kokoh dengan bulu-bulu halus di sekitar rahangnya semakin mempertegas kesan manly pada dirinya. Benar-benar sosok pria sempurna. Pasti beruntung sekali istrinya yang memiliki suami seperti pak Rangga. Akhirnya kami pun makan malam bertiga. Suasana akrab sudah mulai tercipta di antara kami. Terutama antara aku dan Raffa. Setelah makan aku berpamitan pulang dan berjanji besok sore datang lagi untuk menemaninya bermain dan belajar. Yah istilah itulah yang aku pakai agar Raffa mau berinteraksi denganku. Sebelum pamit kusempatkan membuka hp untuk memesan ojek online ke rumah kost ku. Hari ini semuanya begitu indah dan sesuai dengan harapanku, semoga besok dan seterusnya semua rencanaku berjalan sesuai harapanku, Doaku dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD