2

1212 Words
Pagi ini ku lalui dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirku. Gimana tidak, pagi tadi mas Aryo datang ke rumah kost ku untuk mengambil berkas-berkas untuk keperluan registrasi ku. Dannn... Tak lupa dia juga mengajak ku untuk sarapan terlebih dahulu sebelum dia berangkat ke kampus ku kemudian langsung ke kantornya. Semangkuk soto ayam lamongan adalah menu favorit ku untuk menghangatkan pagi di kota Malang yang dingin. Terima kasih untuk mas Aryo yang selalu siap sedia memastikan kesejahteraan perut ku. "Kamu mau di bawain apa sepulang aku dari Surabaya?" tanyanya sebelum kami berpisah di depan warung tempat kami sarapan. Warung yang tak jauh dari kampus dan kost ku. "Emang jadi kapan berangkat?" tanyaku balik tanpa mau repot-repot menjawab pertanyaannya. "Besok dini hari. Aku rasa nanti sore aku masih harus menyelesaikan beberapa hal. Jadi aku tidak bisa ke kost kamu untuk pamit". Ku hela nafas lalu menatapnya lekat. "Tidak usah bawain aku oleh-oleh. Mas berangkat Diklat bukan untuk jalan-jalan. Yang penting begitu sampai surabaya jangan lupa kabari aku". Seketika senyumnya mengembang. Dia akhirnya berpamitan kepadaku kemudian menyuruhku segera pulang kerumah kost ku. Aku pun segera berlalu meninggalkannya. *** Nomer yang anda tuju sedang tidak dapat di hubungi Selalu kalimat itu yang ku dengar saat aku mencoba menghubungi Meta. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Sudah tiga hari ini nomer itu tidak aktif. Tadi malam pun aku sudah mendatangi rumah kostnya tapi dia juga tidak ada. Yang lebih mencengangkan, beberapa teman satu kostnya mengatakan kalau Meta sedang mengurus kepindahannya dari kampus tempat kami menimba ilmu, ke salah satu kampus di Banjarmasin. Apa lagi ini, kenapa aku tidak tahu?. Meta adalah teman satu fakultas meskipun berbeda program studi denganku. Aku juga menanyakan tentang keadaan ayahnya yang katanya kecelakaan, tapi mereka semua malah tidak tahu apa-apa. Meta, Meta apa yang sedang kamu rencanakan? Apakah dia benar-benar membohongiku? Tidak mungkin kan? Kami sudah bersahabat cukup lama, tidak mungkin dia tega melakukan itu semua kepadaku. Jika dia sampai membohongiku, habislah aku. Bagaimana caranya aku mengembalikan uang itu ke mas Aryo. Meskipun dia bilang tidak masalah jika uangnya tidak di kembalikan, tapi tentu saja akan ada konsekuensi atas hal itu. Aku akan selalu terbebani dengan semua kebaikannya. Dan yang pasti, aku tidak mau berhutang kepadanya. Aku tidak mau di anggap memanfaatkan semua kebaikannya. Aku harus bekerja, aku harus mendapatkan uang bagaimanapun caranya. Urusan Meta bisa aku pikirkan belakangan. *** "Ra, kamu bisa nggak ngasih bimbingan belajar untuk siswa sekolah dasar? Masih kecil sih, masih kelas tiga." mataku membulat seketika saat tiba-tiba Rima mengeluarkan kalimat panjangnya yang cukup ajaib bagiku. Bagaimana tidak, setelah kesana kemari aku mencari pekerjaan paruh waktu, baru kali ini ada angin segar yang menerpaku. Aku meminta bantuan Rima, teman sekelasku. Siapa tahu dia punya info lowongan pekerjaan atau sejenisnya. Kenapa aku minta bantuan Rima? Karena selain kuliah, dia juga bekerja di sebuah bioskop di salah satu Mall di Malang. Jadwal kerjanya di sore hari memungkinkan dia kuliah dengan leluasa di pagi hari. Awalnya aku minta tolong di carikan pekerjaan yang sama dengannya, tapi sayangnya tidak ada posisi yang bisa aku isi. "Maksudnya ngajarin anak SD gitu, Rim?" jawabku sambil menggaruk pipi. Kebiasaan yang sulit hilang saat aku sedang bingung. "Ya iya lah dodol" "Maksudnya Aku jadi guru gitu?" tanyaku lagi masih belum sepenuhnya faham. Wajah bloonku pasti bikin Rima jengkel. "Ya elah, ini anak kok gak nyambung-nyambung," ujarnya sambil menepuk keningnya berulang-ulang. Menandakan seberapa jengkelnya dia kepadaku. "Gini deh, Ra. Aku tadi dapat info dari kakak sepupuku yang kebetulan seorang guru sekolah dasar. Salah satu siswanya butuh guru pembimbing di rumah. Kebetulan guru di sekolahnya tidak ada yang bisa ngasih bimbingin di rumah. Jadi yah, mungkin ada mahasiswa yang bisa bimbing, ya oke aja. Yang penting dia menguasai materi___" "Mau Rim, mau banget aku. Kapan mulai? Ayuk hari ini pun aku siap." Potongku antusias. "Yeiii... Kalo udah maunya keturutan. Sabar dikit napa? Masih belum selesei nih." Rima mencebik sebal. Aku hanya bisa terbahak melihat bibirnya yang lucu itu. "Jadi gini, aku kan cuma bawa kartu nama orang tua tuh anak. Besok kamu datang aja kerumahnya. Terus bicarakan dulu kesepakatannya dengan jelas. Kalau kamu setuju ya langsung lanjut. Nanti malam aku akan hubungi sepupuku agar dia menyampaikan ke orang tuanya tuh anak kalau besok kamu bakalan kerumahnya. Gimana?" jelas Rima panjang lebar. "Ok deh, Rim. Aku setujuu banget," dan begitulah akhirnya. Siang itu Rima memberiku sebuah kartu nama ayah si bocah calon anak didik ku itu. Tak terbayang kegembiraan ku, akhirnya aku bisa mengganti uang mas Aryo. Ucapan terima kasih tak henti-hentinya ku ucapkan kepada Rima sampai dia menutup mulutku dengan tangannya karena bosan mendengar kalimat itu lagi dan lagi sepanjang siang itu. *** Pukul tiga sore ke esokan harinya aku sudah siap di kamar kost ku. Semua peralatan tempurku juga sudah ku masukkan ke dalam tas slempang ku. Hari pertama aku harus membuat kesan positif untuk calon peserta didik ku. Make up natural, rambut terikat rapi juga pakaian yang sopan. Dan jangan lupakan senyum menawan juga wajah ramah penuh kasih sayang. Duh, tambah ngelantur kayaknya pikiranku. Tak seberapa lama ku dengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah kost ku. Aku yakin, pasti mas-mas ojek online ku yang datang. Segera ku ambil tas ku dan tak lupa mengunci pintu kamar. Sebenarnya mas Aryo tadi sudah menawariku bantuan untuk mengantarku, tapi aku tidak tega. Dia baru saja sampai rumah karena pulang Diklat. Masak aku dengan teganya menyuruhnya berkeliling mencari rumah orang. Saat tau aku serius akan bekerja sebenarnya dia agak keberatan. "Aku takut skripsi sama kuliah kamu terganggu. Lagi pula aku kan sudah bilang, jangan pikirkan uang itu lagi. Kalau memang Meta tidak ada kabar ya biarkan saja." kalimat itu terucap lagi saat aku memberitahunya kalau aku sore ini akan mulai membimbing siswa sekolah dasar. Keputusanku sudah bulat. Aku tidak akan merepotkan siapapun. Lagi pula aku bisa belajar bekerja agar saat lulus nanti tidak terlalu kaget dengan suasana yang serba sibuk. "Mbak Faira kan?" Tanya si mas ojek online sambil mengangsurkan helm untuk segera ku pakai. Aku hanya mengacungkan jempol dan langsung naik ke atas sepeda motornya. Butuh waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk sampai ke rumah yang aku tuju. Ku ambil kartu nama si pemilik rumah dari dalam dompetku. k****a sekali lagi khawatir aku salah alamat. Tapi ku pastikan seratus persen memang rumah ini yang aku cari. Ku hela nafas dalam-dalam "Fairaaa... Kamu pasti bisa," ku kepalkan tanganku erat. Meyakinkan kalau aku pasti bisa mendapatkan pekerjaan kali ini. Aku tidak akan pernah gagal. Setelah menarik napas dan mengeluarkanny berkali-kali ku beranikan menekan bel yang ada di samping pintu pagar yang super besar ini. Ku lihat ke sekeliling. Daerah ini adalah kompleks perumahan yang bisa di katakan wow. Rumah-rumah megah berdiri kokoh menjulang, di kelilingi oleh pagar-pagar yang tak kalah megah dengan rumahnya. Beberapa menit berlalu pintu pagar di depanku belum juga terbuka. Ku ulangi lagi menekan belnya hingga tiga kali barulah pagar itu terbuka. Menampilkan pria paruh baya yang masih terlihat bugar di usianya yang senja. "Ada yang bisa di bantu mbak" sapanya ramah. Ku ulas senyumku. "Maaf mengganggu sebelumnya pak, apa benar ini kediaman bapak Rangga Bhumi Dhanarjati?" "Oh iya betul mbak. Mbak guru lesnya den Raffa ya?" ucap si bapak sambil membuka lebar pintu pagar agar aku bisa masuk ke halaman rumahnya. Lega, itulah yang aku rasakan. Ok guys, SEMANGAT!! saatnya kita berjuang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD