3. VOLTA JUANA

2266 Words
Venus pikir mereka juga akan diantarkan ke dalam bangunan itu setelah Meres membuka pintu. Namun, ternyata ada seseorang yang sudah menunggu di balik pintu untuk menyambut, atau lebih tepat, mencoba mengintimidasi mereka. Orang itu adalah seorang lelaki paruh baya berbadan besar dan kekar. Tatapannya begitu dingin dengan bibir yang senantiasa merengut. Di mata Venus, Meres bahkan tampak lebih ramah dibandingkan orang ini. “Sudah selesai?” Pria itu bertanya pada Meres dengan suara berat. Meres cuma mengangguk, lalu ia keluar bersama Lan tanpa berkata apapun. Dan, dengan berani Venus mengganggu pria seram berpakaian serba putih di depannya itu. Tentu saja dengan perasaan agak keder. “Siapa Anda?” Suara Venus terdengar kecil, tapi ia tak peduli. Lelaki itu memandangnya, seketika menguarkan hawa dingin yang menakutkan. Gawat, Venus bakal ditelannya bulat-bulat! “Rokuga.” Venus membuang napas lega tanpa kentara. “Ayo,” ucap Rokuga seraya berjalan pergi. “Jadi, kita harus memanggilnya Rokuga saja tanpa embel-embel lain?” Venus berbisik pada si cowok bayi sambil mengikuti si pria seram, diam-diam berpikir betapa nama itu mengingatkannya pada negara Jepang. “Dia itu seorang krona, jadi sopan sedikit,” tukas si cowok bayi. “Kalau-kalau kau tanya, krona itu semacam guru di sini.” “Ah, kalau di duniaku seperti profesor, ya?” kata Venus sok tahu. Si cowok bayi memandangnya bingung. Si cowok bayi. Aduh, Venus benar-benar harus menanyakan siapa namanya. “Mungkin,” kata cowok itu ragu. “Aku tidak tahu apapun tentang duniamu, soalnya.” Sialan. Lupakan saja soal nama itu. Mereka melewati lorong agak panjang berlantai marmer hitam. Dinding batunya bersinar agak redup, cukup untuk menerangi jalan yang sedang mereka lewati. “Itu semacam tumbuhan parasit bercahaya bernama biriam,” si cowok bayi tiba-tiba berbisik pada Venus. “Memangnya aku tanya?” balas Venus jengkel. Wajah si cowok bayi memerah. Di dunia Venus, maksudnya Bumi Pertama, juga ada tumbuhan (atau hewan?) semacam ini, meskipun sebutannya mungkin berbeda. Tentu saja Venus tidak mau menanyakan hal yang jelas-jelas sudah ia ketahui. Sudah jelas Venus bakal jadi salah satu remaja tanpa pengetahuan yang cukup di sini, jadi setidaknya ia jangan sampai kelihatan bodoh-bodoh amat. Meskipun pada dasarnya ia memang tidak begitu pintar. Mungkin Venus memang kelewatan. Padahal niat cowok itu kelihatannya baik. Venus jadi tidak tega. “Maaf,” gumam Venus, agak-agak tidak rela. Cowok bayi itu tersenyum cerah, “Tidak apa-apa.” Duh. Puing-puing tak berguna. Beberapa detik kemudian mereka berhenti dan Venus terpana. Melihat wajah si cowok bayi yang ikut terkesan, Venus rasa dia juga bukannya serba tahu tentang segala hal di Volta Juana ini (kenapa, oh, kenapa, Venus selalu teringat dengan m*******a?!). Mereka berdiri di sebuah aula megah yang juga berlantai marmer hitam. Pada atapnya tampak pemandangan langit siang, menyembunyikan fakta bahwa hari sebenarnya sudah malam. Si cowok bayi bilang langit-langit itu dicat dengan zat yang bisa bersinar (lagi-lagi sebuah kesia-siaan informasi). Tidak ada indikasi adanya lampu di sana, tetapi ruangan tetap saja tampak terang. Mungkin tersembunyi. “Carilah tempat duduk,” suara es Pak Rokuga menyentak Venus. “Dan jangan membuat onar.” Memangnya wajah mereka tampak seperti anak-anak badung?! Venus memberengut kesal. “Eh, kita duduk di mana?” Si cowok bayi tiba-tiba bertanya. Venus menatapnya, lalu mendengus satu kali. “Di kursi yang masih kosong,” kata Venus datar. Si cowok bayi cuma merengut. Venus memandang ruangan besar itu. Ada banyak sekali meja dengan satu penyangga berbentuk tabung di bawah bundaran mejanya yang berkilat. Masing-masing meja dikelilingi lima sampai tujuh kursi kayu yang beralaskan bantal. Hampir semua kursi ditempati, dan setelah beberapa menit yang bodoh, mereka memutuskan untuk bergabung dengan dua cewek yang menempati meja di pojokan dengan tampang kalem. Sejujurnya, Venus-lah yang memutuskan, atau dalam kata lain, memaksa. Kedua cewek tersebut tidak tampak menakutkan sama sekali, namun sikap anak-anak lain terlihat aneh. Seakan kedua cewek tadi sedang dihindari karena entah alasan apa, sebab Venus sempat melihat tatapan beberapa anak yang tampak agak takut, bahkan juga mungkin benci. Karena itulah, Venus jadi tertarik dan penasaran. Alasan itu sepertinya membuat si cowok bayi tampak sebal, namun Venus tidak peduli. Tentu saja, Venus harus peduli  Awalnya tak ada yang memperhatikan atau bahkan melirik Venus dan si cowok bayi, tetapi saat anak-anak lain sadar akan tujuan mereka, bisik-bisik mulai merambat menyebalkan. Wajah si cowok bayi merona merah muda, tetapi tampaknya hal itu malah membuat kepercayaan dirinya meningkat. Ia berjalan dengan tampang sombong sambil menyusupkan tangan ke saku celana, sementara Venus hanya memutar bola mata tak habis pikir. Venus berjalan sembari membalas tatapan anak-anak yang kebanyakan berasal dari para senior itu. Ia melewati seorang cewek bertubuh kecil yang menatapnya dengan dahi berkerut khawatir. Seperti Venus akan mati saja. Tiba-tiba, cewek tersebut mencekal lengan Venus dan berbisik dengan keras, “Mereka itu berbahaya! Lebih baik kau dan temanmu mencari tempat duduk yang lain!” Venus memasang ekspresi sok kaget. Sayang sekali, dia salah fokus pada jerawat cewek itu. “Masa? Kalau begitu, doakan keselamatan kami, ya?” Pandangan Venus beralih pada mulut kompor yang lain. “Nah, berhenti bergosip seakan kami bakal dibunuh alih-alih bergabung dengan kakak-kakak cantik itu! Kalian ini anak-anak baik, jadi jangan bersikap seperti orang b**o!” “Jangan membuat masalah, Anak Baru!” Si cewek berjerawat balas menggertak Venus dengan sorot mata yang berubah. Venus menyentakkan tangan si Cewek Berjerawat, lalu menggandeng si cowok bayi. Venus menyeretnya sambil melotot pada siapapun yang masih menatap mereka secara terang-terangan. “Jadi, siapa kakak-kakak kita yang dimusuhi ini?” Venus bertanya ringan seraya menghempaskan p****t, lupa sama sekali dengan nasibnya yang kini berada di dunia antah-berantah. “Kau boleh juga, Dik,” kata cewek yang berada di samping Venus. Rambutnya dicat sewarna api dan dikucir kuda. Matanya yang lebar menyorot geli. “Nggak ada yang boleh merusak kekepoan seorang Venus,” seringai Venus pongah. “Kekepoan?!” Si cowok bayi tiba-tiba menceletuk jengkel. “Gara-gara itulah kau baru saja mengundang ketidaksukaan orang pada kita!” “Ah, sudahlah. Tidak apa-apa,” tukas Venus mengibas-ngibaskan tangan di depan hidung si cowok bayi, tiba-tiba saja meneladani cowok itu dengan mengubah kata “tidak”-nya yang tidak baku dengan lebih sopan. “Orang tidak boleh begitu saja berpikiran buruk! Bukan salahku kalau aku tidak terima dan jadi marah pada mereka. Lagipula, kau tadi terlihat menikmatinya. Jadi, buat apa jadi munafik?” Wajah si cowok bayi kontan berubah merah. Cewek yang satu lagi berdeham-deham. Rambutnya yang ikal berwarna coklat dan terurai. Sebenarnya ia manis, andaikan ekspresinya tak setegas itu. “Kau membuatku terharu,” ujarnya tersenyum singkat. “Namun, benar apa kata temanmu. Kau tidak boleh bersikap sembarangan, bahkan jika nalurimu mengatakan demikian. Siapa yang tahu semisal kami memang sejahat itu?” Venus menatapnya sebal. “Sudahlah, Ris,” sela si cewek berambut merah. “Dia sudah berbaik hati mempercayai kita!” Cewek itu balik memandang Venus dan si cowok bayi, lalu berkata, “Aku Lou, dan yang di sebelahku ini Ris. Dan tolong, panggil saja nama kami tanpa sebutan Kakak. Kalian?” “Venus,” gadis itu menatap si cowok bayi, “tapi, aku belum tahu siapa namanya.” “Sudah sejauh ini, dan kalian bahkan belum berkenalan?!” Lou tertawa geli. “Apa-apaan ini?” Venus melemparkan cengiran pada si cowok bayi. “Ah, kurasa Venus lupa berkenalan gara-gara terlalu fokus dengan dunia barunya,” ujar si cowok bayi sambil tersenyum maklum. “Ngomong-ngomong, aku Virzash.” Venus mengangguk-angguk. Dipikir-pikir, tampang si cowok bayi bertubuh kecil ini ternyata lumayan juga (aduh, Venus tetap saja menyebutnya si cowok bayi!). Sejauh ini, Venus menyimpulkan Virzash selalu berusaha tampak keren, hanya saja dalam waktu yang bersamaan wajahnya menjadi merah padam. Seolah bersikap menjadi keren akan selalu membuatnya malu sekaligus juga bangga. Lihat, seperti anak kecil, bukan? Imut banget. “Ehem!” Dengan kaget Venus menoleh dan melihat seorang cowok berbadan kekar sedang berdiri di samping Virzash. Wajah pendatang itu lumayan kekanak-kanakan, tapi Venus sama sekali tidak menganggapnya seperti bayi. Kulitnya sedikit gelap. Rambutnya yang berwarna agak cokelat itu dipotong sedemikian rupa, dengan belahan tengah dan poni. Seingat Venus, itu gaya idol-idol Korea di Bumi Pertama. Ada noda merah mencurigakan di bagian depan kausnya yang putih polos. Intinya, cowok itu sudah terlihat keren tanpa harus berusaha. Seandainya Virzash si cowok bayi merasa iri, Venus tak akan merasa kaget. “Aku duduk di sini, ya?” Si pendatang bertanya. Suaranya terdengar jail. “Berdiri pun kami tidak peduli,” sahut Lou ketus. Cowok tadi tertawa dan duduk di satu-satunya kursi yang tersedia. “Kalian berani, ya, duduk di sini,” ujar si cowok itu seraya nyengir pada kedua juniornya yang baru. “Kau ketinggalan gosip terbaru, ya, Shad?” Ris berkata dengan nada penuh kemenangan. “Seharusnya kau lihat aksi Venus tadi!” Cowok yang bernama Shad itu berdecak kesal. “Aku sudah lihat tadi,” tukasnya sombong, menghapus senyuman Ris yang cuma setengah. Shad menoleh pada Venus. “Jadi, namamu Venus, ya? Menyemprot muka anak-anak sialan itu? Hebat banget!” Rasanya seperti ada titik-titik panas tak kasat mata yang merambati leher dan wajah Venus. Ia mencoba untuk menyunggingkan senyum unjuk gigi, dan hasilnya malah seperti seringai kurang ajar. Duh, puing-puing tak berguna! “Jadi,” Venus berdeham-deham. Ia melotot pada Virzash yang sedang menahan tawa. “Jadi, mereka juga memusuhimu?” “Mungkin,” kata Shad geli. “Lagipula, tidak jadi soal kalau aku dijadikan musuh, asalkan mereka tetap mengagumiku!” Ris dan Lou kompak mendengus. Venus menatap Shad lekat-lekat, sementara cowok itu cuma tertawa. Bahkan tawa itu mengundang perhatian beberapa cewek senior. Banyak juga cewek junior yang tampak agak terpesona dengannya. Gara-gara itu, Shad jadi terlihat makin percaya diri dalam menebar pesona. “Dasar cowok narsis,” dengus Venus terang-terangan. “Puing-puing yang jelas tidak berguna.” Ris nyaris tersedak, dan tawa Lou spontan meledak. Sementara yang diejek cuma cengar-cengir seperti orang i***t. Ih. Desisan keras tiba-tiba memenuhi udara, membuat seluruh ruangan menjadi hening. Banyak anak-anak baru yang tampangnya berubah panik, mengira ada sesuatu semacam pipa gas yang bocor, mungkin. Tadinya Venus pikir juga begitu, sampai ia melihat sikap para senior yang tampak biasa-biasa saja. Venus menatap Lou dengan pandangan bertanya. Lou cuma mengedikkan dagu ke suatu arah. Venus menoleh dan baru menyadari ada meja-meja tunggal dengan kursi-kursinya yang besar berderet di ujung seberang, berlawanan dengan arah pintu depan. Pintu di ujung deretan meja tersebut menjeblak terbuka, dan belasan orang dewasa berpakaian serba putih berduyun-duyun memasuki aula. Satu persatu mereka mulai menduduki kursi masing-masing. Venus menduga mereka adalah krona-krona di sini, sebab Pak Rokuga ada di antara mereka juga. Seorang pria yang tampaknya paling muda dari yang lain, duduk di kursi tengah yang sekaligus paling besar. Pria itu berambut putih dan ... “ ... apakah penglihatanku yang salah, atau mata orang itu memang putih?” “Maksudmu yang berambut putih itu?” Shad menyahuti Venus. “Tenang saja, matamu masih oke, kok. Mata cowok itu memang putih.” Venus menatap Shad (lagi). “Cowok itu?” Shad mengedikkan bahu sekilas lalu bersedekap. “Usianya masih 17 tahun. Setahun lebih tua dariku.” “Semuda itu?!” Virzash berseru tertahan, kaget. “Jangan katakan padaku kalau dia adalah kepala sekolah di sini! Setahuku VoltaKron Zaloya tidak semuda itu, deh.” “Siapa VoltaKron Zaloya?” Venus bertanya. “VoltaKron itu artinya kepala sekolah,” jawab Virzash, kemudian memandang ketiga senior di depannya dengan ragu. “Iya, kan? Maksudku, tentang VoltaKron Zaloya.” Ris mengangguk. “Pak Zaloya tentu saja masih menjadi VoltaKron di sini,” katanya. “Tapi, saat ini Pak Zaloya sedang ada urusan, dan untuk sementara kehadiran beliau diwakilkan pada anaknya, Pasirr. Maksudku, cowok itu.” Venus menatap Pasirr (pasir, sand?!) dengan ragu. “Maksud kalian dia ini jenius?” Entah mengapa Venus berpikiran begitu. Lou menyeringai. “Dia cuma cowok menyebalkan yang sama sekali tidak jenius. Dia berada di sana karena kemungkinan besar VoltaKron hanya ingin mengajarkan sesuatu pada anak itu, agar kepalanya semakin membesar.” Venus dan Virzash tertawa. “Itu, kan, katamu!” Shad menukas tak puas. “Setahuku, Pasirr memang tidak sejenius itu, tapi alasan yang kau katakan bukannya benar juga! Kau cuma sebal padanya, titik.” Lou mulai berdebat dan bertengkar dengan Shad. Yang dapat Venus tangkap dari ocehan mereka hanya tentang siapa yang sebal pada siapa. Sama sekali tidak berguna. “PERHATIAN!” Seruan itu menengahi pertengkaran Lou dan Shad, juga obrolan anak-anak yang lain. Yang berseru adalah seorang wanita bertubuh besar dengan rambut yang disanggul tinggi. Tampangnya mirip donat, bulat dan berbintik-bintik. Wanita itu mulanya duduk di samping kanan Pasirr, kemudian berjalan keluar menuju podium berbentuk bulat di depan meja para krona. “Selamat datang, para junior, dan selamat malam untuk semuanya,” wanita itu memulai sambil merentangkan tangan sebentar. “Perkenalkan, Anak-anak Baru, aku Bu Mana! Kita akan memulai sesi Pemilihan Bakat terlebih dahulu sebelum acara makan malam—” perut Venus kontan berbunyi, “—dan tidur setelahnya. Dalam sesi ini, siswa terpanggil dimohon untuk naik dan berdiri di sini.” Bu Mana (serius, masa kata mana dijadikan nama?!) kemudian turun dari podium yang tak seberapa tinggi itu dan mengambil sebuah komputer tablet dari atas mejanya. Venus lumayan terkejut dengan keberadaan tablet itu. Bukannya apa, ia cuma mengira dunia ini tidak membutuhkan teknologi. Kau tahu, seperti dalam novel. Namun, setelah dipikir-pikir, teknologi pasti dibutuhkan di sekolah semacam Volta Juana ini. Untuk menyimpan data dan identitas para siswanya ... tunggu. Venus menatap Bu Mana dengan perasaan campur aduk. Perutnya mendadak terasa mulas. Venus tidak yakin ayahnya masih peduli dengan status blasteran Venus. Sedangkan ia tahu ibu kandungnya sudah meninggal. Lalu, bagaimana caranya pihak Volta Juana bisa tahu siapa identitas Venus? Lantas, siapa yang akan membiayai sekolah dan hidupnya di sini? Venus menggigit bibirnya, menunggu nama Venus Samudera yang tak akan kunjung dipanggil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD