4. BIZURA

1927 Words
Bu Mana memindai tabletnya dengan konsentrasi, dan kemudian mulai memanggil nama anak-anak baru secara acak. Anak pertama bernama Kirka Sorawa. Gadis itu bertubuh kecil dan kurus, dengan wajah berbintik yang khas. Ia berjalan tersaruk-saruk dan hampir saja tersandung podium. Padahal Venus memperkirakan tinggi podium itu tidak sampai sejengkal. Venus begitu tegang, sampai-sampai kulit kepalanya pun terasa gatal. Benar-benar mengganggu. “Berdiri di tengah, Sayang,” kata Bu Mana sok manis. Dengan gugup Kirka menurut. Venus tak bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan Bu Mana, selain bahwa sedari tadi ia cuma menotol-notol layar tabletnya. Namun, tiba-tiba dari bawah podium terdengar bunyi desing halus, mengagetkan Kirka. Leher Venus melongok-longok seperti jerapah, dan bahkan harus berdiri gara-gara tempat duduk yang tidak strategis. Dari tepi bulatan podium itu, menyembullah setidaknya sembilan macam benda aneh beserta seekor gagak yang memandang sekitar tanpa kenal takut. Kesembilan benda yang tampak mengepung Kirka itu adalah batu sekepalan tangan, besi batang seukuran palu, air dalam bejana kaca, lilin dalam cawan yang menyala, toples kaca kosong yang terbuka, segenggam tanah merah (tanah kuburan? Haha), tanaman imut dalam pot, sepasang lidi logam yang mengeluarkan benang-benang listrik, dan es balok di atas tatakan logam aneh berbentuk persegi panjang (tidak takut cair, tuh?). Venus duduk kembali dengan bibir mengerucut dan kening berkerut. Tanpa ia sadari ketegangannya mereda. “Untuk apa semua itu?” Venus bergumam, lagi-lagi tidak pada siapa-siapa, sambil terus mengawasi Bu Mana. “Sirkus? Sulap? Parade puing-puing tak berguna?” Entah kenapa rekan-rekan semejanya tak ada yang merespon. Venus akhirnya menoleh dan mendapati mereka berempat sedang memandanginya dengan aneh. “Ada yang salah?” tanya Venus defensif. Yang ia dapat cuma dengusan empat ekor anak tak berperikeremajaan. Sialan. Suara koor “ah” menyadarkan Venus. Objeknya adalah Kirka yang juga tampak terpesona. Matanya melebar dan mulutnya terbuka. Lagi-lagi Venus harus berdiri dan menjulurkan leher. Di depan Kirka, batu yang tadinya berada di bawah, kini berangsur mengapung dan melayang hingga setinggi kurang lebih satu meter. Beberapa detik kemudian batu itu kembali ke tempatnya semula. Bu Mana tersenyum sambil bertepuk tangan, dan semua orang meneladaninya. “Selamat, selamat!” Bu Mana berseru riang pada Kirka. “Nah, silakan kembali ke tempat dudukmu, Sayang!” “Apa yang selamat?” Venus lagi-lagi bertanya, kali ini pada ketiga senior di depannya. Ia tak mau diabaikan lagi. “Dan, serius, benda-benda itu apaan, coba?” “Selamat karena dia ternyata seorang pengendali batu,” ujar Ris masuk akal. “Dan, serius juga, Bu Mana sudah mengatakan di awal bahwa ini sesi Pemilihan Bakat. Berarti benda-benda itu adalah objek penentu Bakat!” “Ya, itu benar,” timpal Lou sinis. “Tapi, maksudnya selamat adalah, karena si Kirka ini bukan termasuk orang yang berbahaya. Ha ha.” “Yang benar itu karena dia orang normal,” Shad ikut menimbrung. “Artinya lebih biasa daripada kami bertiga dijadikan satu.” “Apa bedanya dengan tidak berbahaya?!” Lou menyentak sebal. Mereka berdua kembali berdebat. Venus tertawa setengah hati sambil berpandangan dengan Ris dan Virzash. “Oke,” kata Venus akhirnya, memutuskan dalam hati bahwa jawaban Ris adalah yang paling benar, sekaligus menengahi perdebatan Shad-Lou secara tidak sengaja. Sesi Pemilihan Bakat berlangsung dengan cepat. Namun, hal itu justru membuat ketegangan Venus kembali memuncak. Semakin banyak yang teridentifikasi, semakin ia menjadi keder dan tidak fokus. Venus hampir-hampir tidak menyadari beberapa nama yang kedengarannya seperti berasal dari Bumi Pertama. Acap kali ditatapnya Virzash yang terlihat sama tidak tenangnya dengan dia, meski mungkin dengan alasan yang sama sekali berbeda. “Virzash Venosa!” Virzash berdiri begitu mendadak hingga hampir menjungkalkan kursinya sendiri ke belakang. Telinganya merona merah jambu, membuat beberapa anak kontan tertawa pelan. Meski begitu, ia berjalan dengan langkah-langkah percaya diri. Atau setidaknya, Venus kira begitu. Ditahan-tahannya tawa yang hampir menyembur keluar. Menggemaskan benar dia ini. Namanya juga bayi. Begitu tiba di tengah-tengah podium, ruangan jadi agak berdengung seperti rumah tawon. Bu Mana mencoba mengatasi hal itu dengan agak-agak menghardik. Venus menyeringai, tahu betul bahwa yang dihardik sedang membicarakan apa. Setelah jangka waktu yang hampir semenit, tak lupa dibumbui mimik bingung dan khawatir Bu Mana, serta bisik-bisik seantero ruangan, Bakat Virzash akhirnya mengemuka juga. Es balok yang sedari tadi cuma meleleh sedikit (karena tatakan logam berteknologi?) mulai melayang dengan agak goyah. Kemudian, sumber kasak-kusuk selanjutnya pun terjadi. Es itu tidak berhenti di ketinggian satu meter seperti yang sudah-sudah, melainkan terus hingga sejajar dengan kepala Virzash. Ekspresi terkejut yang begitu dramatis tampak menghiasi wajah Bu Mana. Ia menoleh kepada para krona dan memandang agak lama pada Pasirr, seperti sedang melakukan telepati-gawat-darurat-secepat-kilat. Namun yang dipandang tampak terbelalak menatap punggung Virzash. Venus menoleh pada trio senior di depannya dengan bingung. “Apa ada yang salah?” Venus berbisik. “Dik!” Lou kontan mencelanya dengan nada tertahan. “Kenapa harus tanya hal yang sudah jelas, sih?!” “Itu tidak—” Venus praktis tidak tahu apa sebenarnya yang akan dikatakan Ris, sebab saat itu ruangan dipenuhi seruan yang terdengar lebih kaget dari sebelumnya. Es balok di hadapan Virzash belum lagi turun, saat api yang berasal dari lilin dalam cawan tiba-tiba ikut melayang dan berakhir tepat di samping balok es. Api itu berkobar sedikit lebih besar dari semula. Kedua jenis Bakat tersebut bertahan selama dua detik, sebelum akhirnya kembali turun. Selama sekian detik, ruangan benar-benar hening. Bu Mana berdeham-deham memecah kesunyian ganjil itu dan menotol-notolkan jari lagi pada tabletnya. Ia mengusap dahi dengan tangan, seakan dengan berbuat begitu saja sudah membuatnya kelelahan. “Virzash Venosa,” ucap Bu Mana agak kaku, “anugerah Api dan Es tertanam dalam jiwamu. Kau adalah seorang Ganda. Silakan kembali ke tempat dudukmu.” Virzash berjalan dengan langkah-langkah cepat, diiringi tatapan para krona yang hampir semuanya tampak khawatir. Wajahnya memerah. Ada apa ini? “Seaneh itukah Bakat Ganda?” Venus langsung bertanya begitu Virzash tiba di kursinya. Virzash menggaruk telinganya sembari bertopang di atas meja. Wajahnya agak menunduk, menghindari tatapan anak-anak lain; junior maupun senior. “Ini Bakat langka,” katanya pelan. “Kurasa aku mendapatkan warisan Bakat ini dari nenekku yang ketiga.” “Hah? Bagaimana?” sambar Venus tak mengerti. “Nenek ketiga bagaimana?” “Neneknya nenek nenekku,” jawab Virzash membingungkan. Rupanya dia melihat ekspresi Venus yang kosong, sebab ia lantas menjelaskan, “Nenekku punya nenek. Nah, neneknya nenekku ini punya nenek lagi. Nenek itulah yang kumaksud.” Shad berdecak kesal. “Itu tidak penting, tahu?!” Shad menukas serius. “Yang terpenting adalah, kau jadi seperti kami!” “Jadi tidak normal, maksudmu?” kata Virzash datar. Shad cengar-cengir lagi. Sesi Pemilihan Bakat berlanjut dengan agak-agak tegang. Venus memperhatikan, banyak raut-raut wajah tampak lega saat yang terpanggil ternyata hanya memiliki Bakat biasa. “Jadi, apa masalahnya?” Venus kembali menanyakan topik semula. Ris memandang Venus dengan serius. “Tiga belas tahun yang lalu ada kelompok yang menamakan dirinya Voltura,” ia menjelaskan. “Hampir semua volt ber-Bakat istimewa di negeri ini direkrut oleh mereka. Bahkan yang paling parah, seluruh murid ber-Bakat istimewa yang belum lulus dari sini diam-diam ikut bergabung, dan beberapa di antaranya membuat kekacauan dengan melukai murid lain secara acak. Hal itu membuat citra Volta Juana jadi agak menakutkan. Kemudian, sekitar delapan tahun yang lalu, sebuah pasukan keamanan bernama Voltum berhasil mengalahkan pemimpin Voltura yang memiliki Bakat Rahasia, dan menangkap hampir sebagian anggotanya. Kurasa, itulah yang membuat semua orang di sini jadi waswas dan agak waspada dengan murid yang ber-Bakat tak biasa. Takut kalau-kalau kejadian yang lampau terulang lagi.” “Tapi, kelompok Voltura sudah tidak ada lagi, kan?” Venus berkata skeptis. “Lalu, kenapa mereka masih bersikap begini? Dan, demi apapun yang ada di sini, masa ada volt yang memiliki Bakat Rahasia?!” “Volt ber-Bakat Rahasia memang ada, dan itu satu di antara sejuta!” Lou mendengus. “Lagipula, kejadian traumatis ini bukannya gara-gara Voltura atau pemimpinnya saja, tahu?” Ris mengangguk muram. Matanya menatap seorang cowok berbadan gempal yang baru naik ke atas podium. “Banyak sekali catatan kejahatan berat yang sebagian besar pelakunya adalah volt istimewa,” ujar Ris melanjutkan. “Sudah sejak dahulu, bahkan sebelum kelompok Voltura muncul. Meskipun aku jadi merasa tidak adil, tetapi aku bisa mengerti kenapa negeri ini jadi waspada dengan keberadaan volt-volt tidak biasa ini.” Giliran Venus yang mendengus. “Yang benar saja,” ucapnya sebal. “Terus yang kejahatan berat yang sebagian kecil lainnya dilakukan oleh volt biasa itu bagaimana?” “Itu artinya bukan prioritas, Dik,” ujar Lou dengan sinis. “Secara, cuma pelaku minor begitu.” “Lagipula,” Ris menukas lebih jauh, “para anggota Voltura cuma tertangkap sebagian, kataku. Yang berarti, sebagian lain berhasil kabur entah kemana. Desas-desus mengatakan mereka berhasil memasuki Bumi Pertama, dan anggota Voltum mengejar serta menumpasnya. Namun, tak ada yang benar-benar percaya bahwa mantan anggota Voltura sudah dilumpuhkan semua. Khususnya si pemimpin Voltura. Volt ber-Bakat Rahasia seperti dia sangat sulit untuk dikalahkan.” “Kenapa?” Venus bertanya heran. Ris menjawab dengan lebih muram, “Bizura, begitu kami menyebut volt ber-Bakat Rahasia, mampu menguasai semua Bakat. Namun, ada satu Bakat yang benar-benar mendominasi, dan itu jadi kelemahannya. Tidak ada orang lain yang bisa tahu apa Bakat Dominan tersebut, bahkan terkadang si pemilik pun tidak. Itu semua membuat Bizura jadi lebih berbahaya dari volt-volt aneh lainnya. Kita tidak akan bisa mengalahkan seorang Bizura jika kita tidak tahu apa kelemahannya.” “Bagaimana kalau si anggota Voltum ini menyerang secara acak?” Venus berujar. “Dari antara sepuluh Bakat, salah satunya pasti akan bereaksi!” Lou mendengus dan memutar bola mata. “Bukan begitu cara kerjanya, Dik. Kau harus tahu terlebih dahulu apa Bakat Dominan-nya, lalu kau mesti mencari lagi titik kelemahan pada Bakatnya yang satu itu. Dan, meski kau sudah tahu keduanya, bukan hal yang mudah untuk menangkap seorang Bizura begitu saja. Butuh kesepuluh jenis volt dengan jumlah banyak agar bisa membunuhnya.” “Kecuali kau punya sekutu seorang Bizura juga,” timpal Shad sambil mengangkat bahu. “Setidaknya, itu kata seorang Bizura lain yang hidup beberapa ratus tahun silam pada dunia.” “Ya,” Riss ikut menyahut. “Masalahnya, Bizura bukan jenis volt yang mudah kau temukan.” Venus diam-diam merasa ngeri. Kalau benar si pemimpin Voltura itu masih berkeliaran dengan bebas, bisa gawat. Bagaimana jika mereka membangun kembali kelompok Voltura itu? Aduh, memikirkannya pun jangan! “Venus Samudera!” Venus terlonjak begitu keras sampai menyenggol pundak Virzash. Virzash cuma menatap gadis itu dengan geli. “B-Bagaimana mereka bisa tahu identitasku?” Venus bergumam sendiri seperti orang demam. “Identitasmu pasti sudah terdaftar, 'kan?” kata Lou sambil menatap Venus dengan aneh. “Mana mungkin?!” Venus menyanggah keras. “Ayah meninggalkanku, dan kata ayah angkatku, ibu kandungku meninggal karena kecelakaan kapal.” “Kakek-nenek?” Shad menduga. “Kata ayah angkatku, mereka meninggal jauh sebelum aku lahir,” sahut Venus keras kepala, merasa marah harus mengingat sosok Bima lagi. “VENUS SAMUDERA!” Kali ini Shad bahkan ikut terlonjak. Virzash mendorong punggung Venus agar ia cepat-cepat ke depan sebelum siapapun menyeretnya secara paksa. Venus mengepalkan tangan dan berharap semoga Bakat-nya biasa saja. Sudah cukup ia memaksa diri ikut-ikutan berteman dengan kumpulan volt ber-Bakat aneh, dan berujung tidak disukai banyak murid lain, tanpa harus menanggung anugerah Bakat aneh itu sendiri. Venus berdiri di tengah podium dan menunggu dengan senewen. Naas, pikirannya semakin tak keruan saat semenit berlalu tanpa kejadian apa-apa. Bisik-bisik kembali merebak, dan Venus tak kalah khawatirnya dengan mereka. Venus menggigit pipi bagian dalamnya. Jangan bilang kalau Bakat-nya juga Ganda, atau yang lebih parah, tak punya Bakat sama sekali?! Tentu saja, semuanya tidak benar. Air dalam bejana kaca mulai berkecipak dan melayang, kemudian berhenti di ketinggian satu meter di depan Venus. Helaan napas lega terdengar keluar dari bibir Venus dan ruangan besar itu. Bu Mana tersenyum lebar dan juga tampak lega. Venus hampir membalasnya saat ia melihat api pada lilin di bawah terlihat goyah, kemudian terangkat. Gagak di samping api itu berkaok-kaok keras, tapi tetap bertahan di tempatnya. Mata Venus melebar, dan perasaannya kehilangan kendali. Tubuhnya diam membeku, dan sensasi dingin yang menakutkan merayapi punggungnya. Api itu berhenti di samping sepercik air yang masih melayang di hadapan Venus. Tiba-tiba, seakan mendapat perintah, benda-benda yang lain mulai mengikuti teladan sang Api. Batu, logam listrik, toples kosong tanpa tutup, tanaman dalam pot, balok es, besi, dan segenggam tanah bergerak serempak menyejajarkan diri di kiri-kanan api dan air. Kemudian, kesembilan benda ini mengangkat diri lebih tinggi dan bergerak membentuk bingkai bulat di hadapan Venus. Yang paling bawah adalah tanah, sejajar dengan lututnya. Dan yang teratas, adalah toples kosong yang melayang-layang ganjil di atas garis kepala Venus. Seakan itu belum berakhir, gagak di bawah yang tadi sempat berkaok, terbang mengelilingi tubuh Venus. Gagak itu terus berkitar sambil berkaok mengerikan. Tanpa penjelasan Ris yang baik pun, Venus tahu ini sudah kelewatan. Ia datang ke Bumi Kedua hanya untuk menjadi sasaran ketakutan dan kebencian banyak orang. Venus dilahirkan hanya untuk menjadi Bizura nan menyebalkan. Berengsek! Venus harap ia tinggal di Portal Gelap saja untuk selamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD