5. ASRAMA

2231 Words
Venus ingat saat ia turun dari podium, setelah Bu Mana mengumumkan dengan gemetar bahwa ia adalah seorang Bizura, seluruh yang ada di ruangan besar itu menjadi sangat hening. Pandangan para murid lain sungguh membuat gadis itu menggigil. Mereka menatapnya dengan sorot mata seakan dia adalah malaikat pencabut nyawa berwujud kalajengking raksasa. Ada ketakutan dan kekhawatiran yang begitu besar dalam tatapan mereka, tetapi yang paling membuat Venus takut adalah sorot kebencian yang tidak dikemukakan secara jelas oleh mereka. Kebencian itu tertutup oleh rasa takut, tetapi kau bisa merasakannya dengan jelas di udara. Venus berjalan dengan langkah-langkah yang ia usahakan agar tetap tenang. Namun, udara seperti memaksanya untuk berhenti dan bersembunyi. Tatapan ratusan siswa dan belasan krona di ruangan itu menghunjam punggung dan seluruh tubuhnya. Rasa dingin yang menakutkan menyebar hingga ke dalam tulang-tulangnya. Rasanya butuh bertahun-tahun kemudian, sebelum akhirnya Venus tiba di meja tempat teman-teman barunya mengawasi dengan tubuh membeku. “Lira Blezana.” Suara Bu Mana terdengar samar-samar di telinga Venus yang memerah. Pemilihan Bakat berlanjut dengan ketegangan yang tak pernah memudar. Saat beberapa siswa mengawasi Venus secara diam-diam, Venus memergoki mereka dan balas menatap. Mereka mengalihkan pandang dengan begitu cepat, seakan dengan menatap saja akan membuat mereka mati di tempat. Sikap mereka padanya sungguh membuat Venus teringat akan tokoh fiksi Lord Voldemort. Saat ia menoleh, ia mendapati Shad yang sedang nyengir seperti biasa. Kenyataan itu membuatnya santai barang sebutir debu. “Kau luar biasa,” kata Shad, alisnya naik turun dengan jail. Lou menyeringai dengan tatapan sangat senang, seakan ia baru saja mendapat partner kejahatan langsung dari neraka, yang mungkin saja benar. Ris tampak khawatir, meski tak ada sorot menghakimi di matanya. Sedangkan Virzash cuma diam saja, kali ini Venus tak bisa menebak apa yang dipikirkan anak itu. Wajahnya sedatar kayu. “Aku baik-baik saja,” ujar Venus, menenangkan Ris dengan agak sinis. “Bukan aku yang minta Bakat Rahasia ini.” “Jangan jahat begitu, Ven,” tegur Virzash tiba-tiba. “Menjadi Bizura bukan berarti menjadi iblis juga. Kami tahu itu.” Baru kali ini Venus melihatnya sebagai seseorang. Venus tidak tahu akhir-akhir ini tenggorokannya sering sekali terganjal batu khayali. “Aku tidak jahat, Bro,” sahut Venus enteng sambil menepuk-nepuk bahu Virzash dengan sok akrab. “Tenang saja.” “Bizura atau bukan, kau tetap keren,” ujar Shad nyengir, membuat Venus menyeringai. Mereka berlima mengalihkan pandang ke depan saat Bu Mana bertepuk tangan tiga kali meminta perhatian. Wanita itu merentangkan tangan dan mengucapkan selamat pada siswa-siswi baru yang telah mengetahui Bakat mereka, dan mendoakan “semoga keselamatan bersama kita semua” pada akhir pidatonya yang singkat. Bagi Venus, doa itu terdengar seperti “semoga Venus tidak menyengat kita semua”. Sebelum kembali ke kursinya, Bu Mana berseru, “Saatnya mengisi perut, Anak-anak!” Dan hampir semua murid bersorak setengah hati, beberapa di antaranya masih mencuri pandang pada Venus. Saat podium berdesis lalu masuk kembali ke bawah lantai, kesebalan Venus yang biasa telah kembali. “Mereka pikir aku ini bom atau bagaimana?!” Venus bersungut-sungut sendiri. “Wah, pikiran yang tidak sepenuhnya salah, Putri Bizura,” ejek Lou sambil terkekeh. Venus sama sekali tidak menghiraukan cewek berambut merah itu. “Dan mana makanannya?!” Sedetik kemudian Venus hampir menjungkalkan kursinya. Meja bundar di depan matanya tiba-tiba menyala seperti layar komputer, dan kata-kata “KOSONGKAN MEJA” muncul di permukaannya. “Apa maksudnya?” Venus bergumam dengan kening berkerut dan penasaran. “Lihat saja,” sahut Shad balik menggumam. Pada detik kelima, permukaan meja berteknologi itu padam, lalu kemudian membuka seperti spiral. Venus melongok dan tidak melihat apa-apa selain kegelapan. Ris menarik punggung gadis itu ke belakang, membuatnya berdecak-decak kesal. Decakan itu berubah menjadi kebingungan saat ia mendengar suara berdesing dari dalam meja yang terbuka. Venus melongok lagi. “Apa itu?” Tak ada yang repot-repot menyahuti kata-kata Venus, sebab tepat setelah itu beberapa piring makanan perlahan naik dan Venus cepat-cepat menarik kepalanya ke belakang lagi. Piring-piring itu didorong oleh tatakan bundar pengganti permukaan meja yang membuka tadi. Sajian itu berhenti, dan Venus mengawasi saat Shad, Lou, dan Ris mulai makan seperti biasa, seakan tak ada hal aneh yang baru saja terjadi. Suara-suara ah dan oh yang keluar dari bibir murid-murid baru memberitahu Venus bahwa meja modern ini tidak umum di kediaman mereka. Venus bertatapan dengan Virzash, dan si cowok bayi itu hanya mengangkat bahu sebelum kemudian ikut makan. Piring Venus dan yang lain isinya sama; sepotong besar daging sapi panggang, lima batang asparagus (ada bekas seperti dibakar), beberapa lembar selada segar, irisan tomat (yang tidak disukai Venus), sebonggol jagung rebus, seonggok kacang polong, dan sebongkah sayur tumis (Venus curiga bentuknya seperti kangkung). Di atas piring itu terdapat cawan kecil berisi sambal pedas yang langsung menyenangkan Venus. Sebuah piring lain berisi roti tawar diletakkan di tengah, beserta lima gelas s**u. Satu piring lagi memuat puding santan berwarna hijau yang telah dipotong-potong, beserta garpu-garpu kecil untuk menusuknya. Dan yang paling terakhir adalah sekeranjang kecil buah-buahan. “Enggak ada nasi, ya?” Venus menceletuk sambil menggigit sepotong asparagus dengan takut-takut; ia tak pernah memakan jenis sayur itu. Lou menatap Venus dan memutar-mutar bola mata, sementara Venus berjengit merasakan asparagus yang ia rasa aneh. Ia berjanji dalam hati tak akan pernah mencoba memakannya lagi. “Sudah sebanyak ini, dan kau masih mencari nasi?” Venus mengangkat bahu. Ia mulai memotong-motong daging sapinya. “Kebiasaan. Maaf.” Setelah itu yang terdengar hanya denting pisau dan garpu di antara mereka berlima, sedangkan meja-meja lain dan meja para krona berdengung, membicarakan entah apa yang kedengaran seperti suara-suara dari alam kubur. Setidaknya itulah pendapat Venus. Venus makan tanpa benar-benar menyadarinya. Pikirannya kosong. Sesaat ia mencoba memikirkan tentang Bizura, tetapi setelah berhenti pada gagasan ia akan mati gara-gara kelebihan Bakat, benaknya kosong lagi. Ia bahkan tidak repot-repot mengomentari tatapan-tatapan negatif yang masih terarah padanya. Ia cuma makan dan makan, hingga makanannya tandas. Ia meminum seperempat gelas s**u yang disediakan, melahap dua potong puding, dan bersandar sambil mengunyah segigit anggur. Ia bergidik karena rasanya yang agak masam. “Jadi, Senior Yang Budiman,” kata Venus kekenyangan, “apa Bakat kalian yang begitu mengkhawatirkan itu?” Shad terkekeh. Masuk ke dunia lain sepertinya membuat gaya bicara Venus jadi agak aneh dan terkesan meremehkan masalah serius. “Lucu,” dengus Lou, tetapi tetap menjawab. “Prima Udara.” “Prima Fauna,” ucap Shad, tampak bangga sekali. “Prima Tanah,” pungkas Ris. “Apa itu Prima?” Venus bertanya, melempar sisa gigitan anggur di atas piringnya. “Prima artinya yang paling utama,” jawab Ris. “Sebutan untuk para volt yang memiliki Bakat dengan daya serang tiga kali lipat lebih besar dari Bakat-Bakat pada umumnya.” Venus ber-ah paham. “Jadi, murid Volta Juana ber-Bakat istimewa yang dulunya bergabung menjadi anggota Voltura itu, maksudnya mereka Prima semua?” Ris mengangguk dan berkata, “Bukan berarti Prima itu banyak. Bakat tersebut sama langkanya dengan Ganda seperti Virzash, meski tidak selangka Bizura.” Percakapan mereka terpotong oleh suara Bu Mana yang berseru menyudahi pertemuan ini dan menyuruh para murid untuk segera tidur. Seorang krona bernama Pak Saka ditugaskan untuk membimbing para murid baru ke asrama baru mereka. Venus dan Virzash mengucapkan selamat tinggal dan sampai ketemu besok pada Trio Prima yang kini jelas menjadi teman mereka. Pak Saka memimpin jalan, dan para murid mengikutinya. Venus dan Virzash berada paling belakang di barisan itu. Mereka melewati pintu tempat munculnya para krona sebelumnya, dan menemukan dua lorong baru. Venus memperhatikan bahwa kelompok senior yang berbeda dari Trio Prima berjalan ke arah lorong sebelah kanan, sedangkan murid-murid baru melewati lorong di sebelah kiri, satu arah dengan murid-murid senior seangkatan Trio Prima. Lorong itu berwarna serba perak, dengan lantai (lagi-lagi) dari marmer hitam. Penerangan lorong berasal dari atapnya, jelas bukan biriam, melainkan sesuatu seperti ... lampu? Lorong yang mereka lewati lumayan panjang. Dua kali Venus melihat ada lorong lain yang menuju ke arah lain, tetapi Pak Saka terus berjalan lurus. Venus takut kalau-kalau nanti ia bakal tersesat di sekolah ini. Beberapa menit berlalu, setelah Trio Prima dan teman-teman seangkatannya masuk ke lorong berbeda. Pak Saka akhirnya berhenti di ujung penghabisan lorong sebelumnya. Di depannya berdiri sebuah pintu baja besar bercat hitam. Di atas pintu itu terukir kata “ASRAMA METEOR” berwarna perak. Krona itu menjelaskan, hanya murid-murid yang menghuni asrama terkait yang bisa memasukinya. Sebab, murid terkait harus memindai matanya sebelum masuk. Saat itu Venus bertanya, bagaimana bisa Volta Juana bisa memindai mata seorang murid baru dan asing seperti dirinya, sementara mereka baru datang hari ini di sini? Pak Saka menjawabnya dengan mengatakan bahwa data dan identitas mereka sudah didaftarkan sejak mereka masih bayi, termasuk sidik jari dan identitas mata seperti ini. “Mungkin ayahmu sempat mengurus segalanya setelah kau lahir,” gumam Virzash pada Venus yang kebingungan. Pemikiran bahwa ayahnya masih memiliki setitik kepedulian, bahkan hanya untuk mengurus keperluan sesepele sekolah di dimensi lain, sungguh membuat Venus merasa setidak-tidaknya berharap. Perlu beberapa saat sebelum tiba giliran Venus untuk memindai matanya. Pemindai mata itu berada di tembok samping pintu, dan meskipun pintu sudah terbuka sejak murid pertama memindai matanya, ada dinding energi tembus pandang yang menghalangi lubang pintu tersebut. Kata Pak Saka, dinding energi itu kedap Bakat, sehingga tak ada kemungkinan seseorang berbuat curang dengan mengandalkan kekuatannya, bahkan seorang Petir yang ahli dengan listrik sekalipun. Dua detik setelah Venus memindai matanya, dinding energi itu meluruh nonaktif. Tepat setelah Venus melewati garis pintu, dinding energi itu muncul lagi secepat kilat. Virzash melakukan hal yang sama, dan terakhir Pak Saka yang kemudian menutup pintu bajanya. Hal pertama yang dilihat Venus adalah ruang rekreasi sebesar lapangan, segalanya tampak perak dan beberapa hitam. Di ruangan itu tersebar banyak sekali kursi berbantal, sofa, ataupun kursi kayu dengan meja-meja senada. Lantai di bawah kursi dan meja-meja itu dilapisi karpet atau permadani bundar yang tampak halus dan nyaman. Di masing-masing ujung ruangan, berdiri tiga rak buku besar yang menutupi seluruh sisi dinding itu. Pada dinding di samping kanan pintu, ada mega layar LCD yang berfungsi sebagai pengganti papan mading atau pengumuman. Pada dinding yang masih kosong terpasang foto-foto berpigura yang menunjukkan para penghuni sebelumnya yang kini telah lulus. Pak Saka beranjak ke seberang ruangan. Ia berdiri di antara dua kotak persegi panjang tembus pandang yang berjarak kira-kira tiga atau empat meter dari satu sama lain. “Lift yang kiri menuju asrama putri,” jelas Pak Saka. “Dan yang sebelah kanan untuk putra. Silakan memeriksa Layar Informasi untuk mengetahui nomor kamar kalian. Dan, aku ingin seorang relawan. Laki-laki. Siapa saja, majulah.” Seorang cowok maju dengan percaya diri, sementara Venus dan murid-murid yang lain hanya memandang Pak Saka dengan tatapan bingung. “Tolong masuk ke lift putri, Nak,” perintah Pak Saka. Meski agak bingung, cowok itu menurutinya dan masuk ke dalam lift untuk putri. Baru beberapa langkah ia tiba di dalam lift itu, tiba-tiba ia terlempar keluar seakan ada yang menendangnya. Cowok itu bangkit berdiri begitu cepat dengan agak linglung, sementara murid-murid lain berdengap kaget. Pak Saka menyuruhnya kembali. “Nah, itulah jadinya jika ada yang melanggar peraturan dengan memasuki asrama lawan jenis kalian. Putra maupun putri,” Pak Saka memperingatkan. Sebelum pergi, Pak Saka memberitahu bahwa semua murid akan mendapat sebuah tablet yang akan mereka temukan di kamar masing-masing. Semua yang diperlukan ada di kamar dan tablet itu, katanya, termasuk peta Volta Juana di dalamnya, yang langsung membesarkan hati para murid. Begitu Pak Saka pergi, murid-murid berbondong-bondong mencari tahu nomor kamar mereka di Layar Info, sementara Venus dan Virzash menunggu dengan lebih sabar dan duduk di sebuah sofa. Atau lebih tepat, menghindari adanya tatapan-tatapan aneh yang tak diinginkan akibat keberadaan keduanya. “Kau terlihat seperti belum pernah mendengar tentang isi Volta Juana,” tebak Venus pada Virzash sambil memeluk sebuah bantal sofa. “Kalau cuma mendengar, semuanya juga pernah,” kata Virzash mengangkat bahu, matanya memandang sekilas kaki Venus yang naik ke atas meja dengan serampangan. “Kalau melihat, nah, itu beda. Volta Juana tak pernah memperbolehkan media-media luar memotret atau meliput isi bangunan ini.” Venus bergumam tak jelas sambil menatap kerumunan teman-teman seasramanya yang berisik. Beberapa dari mereka tak sengaja beradu pandang dengan Venus, dan wajah mereka berubah pucat dalam sekejap. Venus hampir tertawa seraya menoleh pada cowok bayi di sampingnya. “Aku tidak pernah merasa seasyik ini saat melihat ada orang yang takut cuma karena melihatku,” ujarnya geli. “Fakta paling lucu adalah bahwa aku bukan hantu.” “Bukan,” Virzash menyetujui. “Masalahnya, kau itu hampir-hampir seperti bans.” “Bans?” Gadis itu menatap Virzash tak mengerti. “Kepala setan terbang.” Venus tak tahu apakah itu cuma lelucon tentang Bizura atau sebangsanya. Venus memutuskan untuk menganggapnya sebagai candaan belaka. Setelah beberapa menit yang cukup membuat Venus sebal, sebab ia sudah sangat mengantuk, akhirnya ruang rekreasi kosong dan hanya menyisakan mereka berdua. Venus berdiri seperti seekor kucing yang menggeliat, menyusul Virzash yang telah beranjak lebih dulu. “Nomor berapa?” Venus bertanya. Virzash tertawa. “Kenapa? Mau ikut masuk ke asrama putra?” Venus mendengus, memilih untuk mengabaikan anak itu. Ia melihat sebuah gambar sidik jari pada sebuah tab kecil di tengah-tengah layar. Ia menekankan jarinya di sana tanpa berkata apa-apa, meski ia melakukan itu dengan jalan menebak-nebak. Untunglah, Virzash tidak memberitahukan informasi sia-sia seperti yang sudah-sudah. Nomor 28 muncul sedetik kemudian. Setelahnya tab kecil itu menghilang. “Oke,” gumam Venus sambil berbalik menuju lift dan melambai pada Virzash. “Dadah.” “Dah.” Venus masuk ke dalam lift dengan mata berat. Dilihatnya Virzash yang menuju lift putra. Lift berdenting, dan suara monoton seperti robot jantan terdengar keluar entah dari mana. “Nomor berapa?” Robot jantan. Venus mendengus menahan geli saat menyebutkan nomor kamarnya pada suara itu. Lift bergerak, entah naik atau turun, Venus tak begitu peduli. Ia menyandar pada dinding kaca transparan lift itu sambil mengerjapkan mata dengan paksa. Beberapa detik kemudian lift berdenting dan pintunya membuka. Dengan gontai Venus melangkah keluar dan disambut lorong lagi sepanjang kurang lebih sepuluh meter. Pintu-pintu kamarnya hanya terdapat di sisi lorong sebelah kiri, sisi bagian kanan cuma ada ... dinding. Ada tiga kamar di lantai ini, dan Venus menempati kamar pertama. Setelah memindai sidik jari pada pintunya, ia mendorong dirinya sendiri masuk ke kamar tersebut. Kamar itu sederhana dan lumayan lega. Terdiri atas sebuah ranjang, sebuah lemari, sebuah kamar mandi, dan seperangkat meja belajar. Segalanya bernuansa perak dan hitam, seperti biasa. Namun, Venus tak mau repot-repot mengeluh. Ia melemparkan diri ke atas ranjang, tetapi dengan segera mengerang. Sesuatu mengganjal punggungnya. Sebuah tablet. Venus meletakkan gawai itu ke atas nakas, dan kemudian rebah kembali ke ranjang dan memeluk guling. Sebodoh amat. Tablet sialan itu bisa menunggu sampai besok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD