6. PENGEMBANGAN BAKAT

2212 Words
Rasanya Venus baru saja bermimpi tentang dirinya yang sedang berduel dengan seekor belalang raksasa, ketika suara alarm yang sangat melengking menyentaknya, hingga ia bangun dan terduduk tiba-tiba. Gara-gara itu pandangannya jadi agak berkunang-kunang. Venus mengerang dan berbaring lagi selama beberapa detik. Diraihnya tablet di atas nakas. Hari masih menunjukkan pukul 6 pagi, dan ada sebuah pesan masuk di gawai itu dengan bunyi berdenting keras satu kali. Gadis itu membuka pesannya dengan tangan masih memeluk guling. Pesan itu berisi jadwal pelajaran untuk siswa baru kelas satu. Venus berkedip-kedip membaca jadwal pada hari ini. Venus mengeluh. Ia mencoba tidur lagi, tetapi semenit kemudian suara alarm kembali menyentak telinganya. “Duh, Gusti!” Ia duduk dan menatap langit-langit kamarnya, berharap bisa menemukan mata-mata teknologi yang sedang mengawasinya. Sambil mengucek matanya, Venus mencoba menanyakan hal itu pada gawainya. Ia tak mengira benda itu langsung menjawab dengan suara seperti anak kecil. Alhasil membuatnya kaget setengah mati dan melemparkan gawai itu ke samping. Untunglah tidak jatuh ke lantai. “Tidak ada kamera pengawas, Kak Venus. Hanya alarm biasa yang bekerja berdasarkan pemindai ultra dan sensor tubuh yang berada di balik atap langit-langit. Jika Kak Venus tetap tidur pada waktu yang ditentukan, maka alarm akan terus berbunyi satu menit sekali hingga Kakak benar-benar terbangun.” Venus menggumamkan kata terimakasih dengan perasaan aneh. Tidak pernah ia membayangkan akan berbicara kepada sebuah gawai. Gadis itu lantas beranjak menuju lemari dan hanya menemukan satu setel pakaian kasual berwarna hitam dan sepasang sepatu kasual senada. Heran dengan keadaan itu, Venus lagi-lagi bertanya pada tabletnya. “Keluargamu akan mengirimkan semua perlengkapanmu nanti,” jawab tablet itu. “Aku tak punya keluarga,” sahut Venus datar. “Oh, ya, benar juga. Kalau begitu, pihak Volta pasti sudah mengurusnya. Ukuran tubuhmu sudah terpindai otomatis, jadi tak perlu khawatir. Nanti siang lemari itu sudah akan penuh dengan baju-bajumu.” Venus menatap benda persegi panjang yang masih tergeletak di atas kasur itu dengan kening berkerut. Ada hal lain yang lebih menggangu ketimbang kapan dan di mana tubuhnya dipindai. “Yang bayar semuanya siapa?” “Ayahmu. Siapa lagi?” Lebih dari setengah harian itu perhatian Venus tidak begitu fokus dengan sekitarnya. Saat pergi ke Aula Utama untuk sarapan bersama Virzash, ia mengaku padanya tentang apa yang sudah tablet Venus katakan. Virzash malah berkelakar betapa sikap ayah Venus tidak sedingin kelihatannya, dan karenanya Venus harus bersyukur. Venus mendampratnya gara-gara itu. Bahkan lelucon Shad dan gerutuan Lou di meja makan tidak mampu membuat Venus menjadi lupa akan masalahnya. Ris sempat menanyakan keadaan Venus, tetapi Venus menanggapinya dengan cengiran t***l dan berkata bahwa ia baik-baik saja. “Jangan paksa otakmu untuk terus memikirkan masalah itu, oke? Jangan membebani diri sendiri. Kau tahu itu tidak baik,” bisik Virzash pada Venus, saat mereka berada di Ruang A1, hendak melakukan Tur Orientasi Volta. Tangannya meremas bahu Venus sebentar, setelah itu ia kembali menghadap ke depan. Bahkan setelah Bu Rein yang manis memperkenalkan diri dan mengajak murid-murid kelas A1 untuk tur keliling, Venus tak pernah merasa sebingung ini sebelumnya. Kejadian tuli mendadak membuatnya takut, kejadian di Portal Gelap membuatnya sedikit takut dan mungkin agak sebal, dan kejadian pada Pemilihan Bakat tadi malam sama sekali tak ada hubungannya dengan kebingungan. Dan sekarang, setelah mendengar tablet yang sedang ia pegang mengatakan bahwa sang ayahlah yang mengurus semua keperluan anaknya di sini, sementara kata Virzash, mustahil seorang manusia biasa bisa masuk ke dimensi ini apalagi sampai berurusan dengan Volta Juana, Venus benar-benar ingin sekali kembali ke Bumi Pertama dan menuntut penjelasan pada Bima. Masalah terbesarnya adalah, ayah mana yang dimaksud? Bima, ataukah ayah kandung Venus yang entah di mana sekarang? Padahal Venus sangat yakin bahwa Bima bukanlah volt. Ketidakpedulian Bima tidak lantas membuat Venus menjadi tak acuh dengannya. Namun, berapa kali pun Venus memeras ingatan, ia tak bisa menemukan celah yang bisa mengubah identitas ayah angkatnya itu menjadi seorang volt. Ataukah yang dimaksud sebenarnya adalah ayah kandungnya? Venus bahkan sempat mengutarakan tentang itu pada gawainya dengan berbisik-bisik saat Bu Rein tengah memaparkan Gedung Hobi, tetapi benda itu malah mengatakan bahwa orangtua Venus sama-sama volt. Itu artinya, Venus bukanlah blasteran, melainkan volt murni. Namun, ketika gadis itu bertanya siapa orangtuanya, suara cilik pada tablet itu tetap menyebut nama yang familier, yaitu Bima Samudera dan Langit Prahara. Jawaban yang justru membuat Venus semakin pusing tujuh keliling. Betapa Venus tidak mengenal orangtuanya sendiri. Berbanding terbalik dengan gawai sok tahu yang sedang Venus pegang. Ketika Bu Rein menjelaskan secara rinci tentang sebuah bangunan besar yang tampak gelap di hadapan mereka, Venus menarik napas dalam-dalam dan mulai mencoba menyingkirkan masalah orangtuanya. Ia sadar ia tidak bisa terus-terusan begini. Tidak ada gunanya bertanya-tanya sementara jawabannya sudah begitu jelas. Atau sejujurnya, semakin tidak jelas. Pada dasarnya, Venus tahu ia cuma tidak ingin mempercayai kenyataan yang ada, dan malah mencari-cari kebenaran ilusi untuk menenangkan hatinya sendiri. Sebuah usaha membodohi diri untuk memuaskan keegoisan belaka di antara puing-puing tak berguna. Titik. “Ada yang ingin kau beli, Ven?” Pertanyaan Virzash menyentak Venus kembali ke kenyataan. Ia menyadari bahwa anak-anak lain mulai berdiri teratur di depan sebuah loket. “Apa mereka sedang mengantre tiket masuk?” Venus bertanya. Virzash mengerjapkan mata dengan agak kaget. “Yang benar saja, Ven!” Virzash menukas geli. “Kau tak dengar apa kata Bu Rein?” Venus mengedarkan pandang dan berusaha menemukan Bu Rein, tetapi batang hidungnya pun tak kelihatan sama sekali. Gadis itu cuma bisa meringis pada Virzash dengan ekspresi bersalah. Virzash menghela napas lagi dan menjelaskan dengan sabar, “Mereka sedang mengantre Kartu Volta yang berisi uang elektronik untuk dibelanjakan di sini.” Venus mengangguk sambil ber-oh paham. “Jadi, bangunan ini semacam mal atau bagaimana?” “Ini Gedung Kebutuhan,” sahut Virzash, lalu mengangkat bahu. “Dan, entahlah, dari penjelasan Bu Rein, kita bisa saja menduga seperti itu.” Venus mengambil barisan paling belakang tanpa mengeluh, sementara Virzash mengikuti dengan sebal. Setelah menunggu dengan bosan selama beberapa menit kemudian, giliran mereka akhirnya tiba. “Tinggal tersisa dua Kartu Volta,” seorang petugas jaga loket berujar pada Venus. “Kamu yang bernama Venus?” Venus mengangguk, lantas menerima kartu tersebut. Kartu itu bentuknya mirip kartu kredit berwarna perak. Pada kartu itu tertera nama dan nomor seri berjumlah lima belas digit. Tanpa bertanya pun, Venus paham uang yang ada pada kartu itu berasal dari ayahnya. Entah ayah yang mana. Tur Orientasi Volta berakhir setelah para murid baru berbelanja di Gedung Kebutuhan. Kebanyakan membeli barang-barang yang menurut mereka mengasyikkan, dengan batasan yang telah ditetapkan. Yaitu, maksimal seratus Volem per hari. Karena Venus takut salah, ia tidak mau menebak-nebak berapa kurs Volem ke Rupiah. Venus sendiri sedang tidak berminat untuk membeli apapun, sehingga ia hanya melihat-lihat saja, sambil berusaha menjauh dari anak-anak yang lain. Suara alarm terdengar melengking satu kali di sepenjuru Volta. Venus membuka tabletnya dan melihat sebuah pengingat yang sudah muncul di layar tersebut. ISTIRAHAT/MAKAN SIANG “Kau mau makan atau tidak?” tanya Venus pada Virzash yang telah memakai sebuah kalung perak panjang berliontin tengkorak. “Kau tidak beli apa-apa?” Virzash malah balik bertanya. Venus memutar-mutar bola mata dan meninggalkan cowok bayi itu tanpa berkata apa-apa lagi. • • • “Jadi, apakah ada yang tahu apa batasan dalam menggunakan Bakat?” Saat ini, Venus dan seluruh murid kelas satu sedang berbaris di tengah-tengah sebuah lapangan tertutup. Dinding-dinding hitam yang mengelilingi tanah lapang itu tampak berdiri angkuh, seakan ingin menghalangi siapapun yang ingin masuk ke lapangan itu tanpa izin. Mereka berada di sana dalam rangka praktik pelajaran Pengembangan Bakat, tepat setelah jam istirahat selesai. Pak Zub, krona pelatih berwajah tegas yang barusan bicara, memandang wajah-wajah di depannya dengan tajam. Venus menoleh pada Virzash dan menatapnya. “Apa?” bisik Virzash, merasa terganggu. “Kau tahu jawabannya?” selidik Venus. “Kau tidak pernah membuka tabletmu?” Venus memutar bola mata. “Kau berkata seakan kau sudah tahu,” gumam Venus sebal. “Kenapa tidak menjawab pertanyaan dari Pak Zub, kalau begitu?” Wajah Virzash memerah. “Aku pernah membaca buku materinya di tablet, tapi aku lupa,” jawabnya pelan. Venus mendengus. Yang benar saja! Seorang cewek berkacamata mengangkat tangan. “Lama waktu saat seseorang menggunakan Bakat tidak boleh lebih dari dua jam,” cewek itu berujar. “Atau setidaknya, hingga tubuh mulai merasa tidak mampu lagi mengeluarkan kekuatan. Gejalanya adalah pusing, lemas, sesak napas, dan mata berkunang-kunang. Jika tetap dipaksakan, maka akan menyebabkan kematian.” Pak Zub bertepuk tangan tiga kali dan bertanya, “Siapa namamu?” “Lira Blezana.” “Apakah pemaparan dari jawaban Lira tadi kurang jelas?” Kali ini Pak Zub bertanya pada semua murid, yang serempak menjawab tidak, kecuali Venus. “Apakah gejalanya berlaku sama terhadap seorang volt yang berlebihan dalam mengerahkan Bakat?” Suara Venus menyentak murid-murid lain, kecuali Virzash. Tatapan mereka membuat kepala Venus gatal lagi. “Dan kau adalah ...?” Kendati Venus yakin Pak Zub hanya berpura-pura tidak tahu, gadis itu tetap saja menjawabnya. “Venus Samudera, Pak.” “Pertanyaan bagus, Venus,” puji Pak Zub, kemudian mengalihkan tatapan pada yang lain. “Gejalanya sama, tetapi ditambah dengan satu peringatan terakhir. Saat kita berlebihan dalam mengerahkan Bakat, gejala-gejala seperti yang dikatakan Lira tadi akan muncul. Kemudian, jika keadaan semakin memburuk, tubuh kita akan mengirimkan peringatan terakhir berupa sentakan menyakitkan pada perut. Peringatan terakhir ini harus dihiraukan, jika tidak, kita akan mati dalam waktu lima menit selanjutnya.” Seseorang berkata, “Tapi dalam waktu lima menit itu, paramedis bisa me—” “Tidak bisa,” potong Pak Zub tegas. “Paramedis atau obat-obatan tidak akan pernah bisa memulihkan apapun. Sebab, terhitung dari mulai detik pertama, saraf-saraf dalam tubuh kita akan terputus secara urut dan bertahap. Maka dari itu, camkan ini. Jangan pernah mengerahkan kekuatan kalian, jika belum tahu batasan Bakat kalian sendiri. Jika tidak, kalian tidak perlu waktu dua jam untuk bisa mati secara menyakitkan.” Murid-murid terdiam membisu. Venus menggigit bibir, takut jika ia melakukan kesalahan dengan membunuh dirinya sendiri. Atau, lebih parah, membunuh orang lain. Apa yang dikatakan Pak Zub cuma sekadar peringatan dan penjelasan, tetapi Venus sudah segugup itu seakan ia bisa saja menyemburkan api hanya dengan bernapas. “Seru banget, sih,” gumamnya perlahan. Seorang krona dan puluhan murid menatapnya syok. Mereka tidak sadar bahwa Venus hanya bermaksud sarkastik. Virzash bahkan menatap Venus dengan tampang horor. Venus mengusap wajah temannya itu dengan gerakan cepat dan main-main. Virzash memberengut kesal. Pak Zub berdeham. “Mari kita mulai latihannya,” ia berkata. Menginterupsi kekagetan yang ada. Pak Zub membagi mereka menjadi sepuluh kelompok sesuai jenis Bakat. Semua murid tampak bersemangat lagi, tetapi Venus kembali jengkel. Ia merasa sedikit sakit hati. Masalahnya, jenis Bakat-nya tidak termasuk dalam kategori apapun. Pun Virzash, yang berdiri sambil melipat tangan. Tampak sama terganggunya dengan Venus. Venus kira mereka berdua akan diabaikan oleh Pak Zub, tetapi ternyata krona itu mendatangi mereka berdua lebih dulu. “Tidak perlu khawatir, kalian berdua,” kata Pak Zub menenangkan. “Aku yang akan melatih kalian sendiri.” Venus dan Virzash menatap krona itu dengan bingung. “Kelompok-kelompok itu akan dilatih dengan pelatih lain,” jelas Pak Zub. Sesaat kemudian, sepuluh orang tampak memasuki lapangan dan mulai menuju ke kelompok masing-masing. Mereka terdiri dari lima perempuan dan lima laki-laki, kesemuanya masih seperti remaja. “Mereka siapa?” Venus bertanya pada Pak Zub. “Mereka adalah murid-murid berbakat dari kelas tiga,” jawab Pak Zub tenang. “Setiap tahun, murid kelas tiga yang potensial akan selalu diajukan untuk menjadi Pelatih Sementara di sini.” Venus mengangguk-angguk paham, tetapi perhatiannya teralihkan. Gadis itu mengawasi saat kelompok Batu yang tak jauh darinya mengelilingi sebuah batu besar. Tujuannya apa, Venus tak bisa melihat dengan jelas. Di seberangnya, kelompok Udara tampak berdiri tegang seperti sedang menahan beban berat tak kasat mata. Sesekali rambut mereka tersibak pelan seakan ada yang meniupnya. Anggota kelompok Api kelihatannya seperti sedang berkonsentrasi keras pada api kecil seukuran gundu, yang tengah melayang di atas telapak tangan mereka. Di kejauhan, kelompok Flora tampaknya sedang berusaha keras mencoba membuat Taman Melayang Dadakan, di mana tanamannya terus-terusan menghilang, seakan kembali ke tempat mereka sebelumnya. Yang paling lucu adalah kelompok Fauna. Kelompok yang paling dekat dengan Venus dan Virzash itu sepertinya sedang berpesta dengan hamster putih, yang tidak suka berada di tengah-tengah lapangan penuh orang. “Venus!” Anak perempuan itu tersentak kaget. Ia gelagapan dan mencoba mengucapkan kata maaf pada Pak Zub dengan benar. Suara aneh yang berasal dari Virzash memberitahu Venus, bahwa cowok bayi itu menertawakannya. Menyebalkan sekali. “Latihan ini sungguh mudah,” ujar Pak Zub. “Hanya diperlukan kerja keras dan konsentrasi. Virzash, coba nyalakan api atau bekukan telapak tanganmu. Konsentrasi yang kuat, jangan sampai terbagi. Bayangkan Bakat-mu ada di depan mata dan kau tinggal meraihnya.” Sambil berkata begitu, Pak Zub menengadahkan telapak tangannya dan Virzash mengikuti. Kemudian krona tersebut beralih pandang pada Venus yang kini hampir tertawa karena ekspresi Virzash. Wajah anak itu semerah udang rebus, tetapi baik api maupun es tak tampak muncul sedikit pun. “Venus, giliranmu.” Venus hanya menatap krona berambut kelabu itu dengan tatapan kosong. “Saya harus apa?” Akhirnya Venus berkata. “Lakukan seperti yang aku katakan pada Virzash. Kau bisa membayangkan Bakat apapun yang kau inginkan. Cobalah pada objek yang lebih kecil dulu.” “Baiklah.” Setelah Venus mengatakan itu, Pak Zub tiba-tiba lebih tertarik pada gawai tabletnya. Keningnya berkerut seakan sedang memikirkan sesuatu. Ia begitu fokus dengan benda itu, hingga Venus memanfaatkan momen itu untuk menonton kebolehan Virzash. Keringat membasahi wajah Virzash yang merah padam, membuat Venus tertawa geli sebab temannya itu tampak lucu di matanya. Mereka berdua sama-sama terkejut saat selanjutnya telapak kiri Virzash mengeluarkan asap. Venus mengangguk menyemangati saat cowok bayi itu memandangnya. Virzash kembali mengerahkan konsentrasinya. Anak laki-laki itu menggertakkan gigi hingga urat di wajahnya menonjol bagaikan cacing dalam kulit transparan. Tangan kanan Virzash sedikit demi sedikit mulai membeku. Tangan kirinya masih mengeluarkan asap, tetapi belum ada tanda-tanda terbentuknya api yang solid. “Wah, keren,” puji Venus, ikut merasa senang. “Venus!” Venus terlonjak, dan untuk kedua kalinya dalam hari ini, ia gelagapan lagi. Konsentrasi Virzash terpecah, dan kekuatan Bakat-nya seketika menghilang. Anak itu melotot pada Venus, seakan yang membuatnya kaget bukan Pak Zub. “Kenapa tidak berlatih?!” omel Pak Zub jengkel. Venus buru-buru berkonsentrasi, entah kenapa, pada bayangan banteng bernapas api. Alhasil membuatnya bersimbah peluh tanpa hasil. Setelah sadar akan bayangan mustahil itu, ia segera memikirkan hal lain. Batu. Namun, sebelum Venus berhasil, suara alarm peringatan membahana di sepenjuru lapangan. Selanjutnya, terdengar suara berat seperti robot yang seolah-olah keluar dari mana-mana. Robot jantan, Venus teringat dengan geli. Namun, ia tak bisa merasa geli lebih lama lagi. “BAHAYA! PENYUSUP BANASPATI API! PARA VOLT, KELUAR DARI SINI!” “BAHAYA! PARA VOLT, TINGGALKAN TEMPAT INI! SEKARANG!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD