7. API

1630 Words
Kesepuluh Pelatih Sementara berseru-seru kepada kelompoknya masing-masing, menggiring mereka untuk keluar dari lapangan tertutup tersebut. Ekspresi murid-murid baru terlihat panik dan agak takut, tetapi para pelatih menyarankan untuk tetap tenang agar tidak mengacaukan suasana. Meski begitu, kaki mereka melangkah lebih cepat daripada sekadar berjalan saja. Venus menoleh pada Virzash, merasa bingung harus bagaimana. Pak Zub saat itu sedang menengadahkan kepala, matanya seperti mencari-cari sesuatu. Krona beruban itu sama sekali tidak menghiraukan Venus dan Virzash. “Kita pergi sendiri atau bagaimana?” bisik Venus tegang, meski gadis itu tak tahu apa tepatnya yang membuat ia tegang. Virzash menatap separuh anak-anak lain yang sudah setengah jalan menuju pintu keluar. “Kita susul mereka sajalah,” Virzash memutuskan, matanya mengerling Pak Zub. “Krona pelatih ini sepertinya bahkan tidak akan sadar kalau kita hilang. Yuk!” Saat Venus dan Virzash tiba di barisan kelompok terakhir, kekacauan meledak. Sebuah bola api melesat jatuh dan hampir mengenai bahu seorang Pelatih Sementara. Murid-murid baru yang tersisa menjerit-jerit dan berlari serabutan ke pintu keluar lapangan dengan panik. Venus, menatap semuanya dengan kebingungan yang bodoh, hanya berdiri di sana tanpa melakukan apa-apa. Ia terlampau terkejut hingga seperti mati rasa, seakan ada pasak tak kasat mata yang menahan kakinya untuk tetap diam di sana. “Ven!” teriak Virzash kalut. “Apa yang kau lakukan?! Ayo, lari!” Teriakan Virzash terdengar membingungkan di telinga Venus. Anak perempuan itu masih tak tahu apa yang membuat semua orang begitu panik. Pandangannya terarah ke atas, tempat bola api tadi berasal. Sedetik kemudian, Venus berdengap. Belasan sosok berapi tampak melayang berputar-putar di seantero lapangan. Bentuk mereka seperti kepala setan yang terbakar. Hidung mereka hanya berupa celah gelap, mulut mereka menyeringai dan menunjukkan gigi-gigi hitam bersaput api. Mata makhluk-makhluk itu sewarna kegelapan, dengan telinga panjang nan runcing seperti gambaran iblis dari neraka. Salah satu sosok itu terpelesat di depan Venus. Hawa panas dan mencekam tiba-tiba membuat d**a Venus terasa sesak. “Merekakah yang kau maksud dengan kepala setan terbang waktu itu?” tanya Venus gugup pada si cowok bayi yang kini berwajah pucat. “Jangan pernah merasa takut, oke?” ujar Virzash ketakutan. “Bantuan akan datang.” Venus menatapnya dengan aneh. Sejauh ini, Venus hanya melihat Pak Zub seorang, lain tidak. “AWAS!” Venus melongok tepat ketika sebuah bola api meluncur ke arah Virzash dari belakang. Segalon air menyembur bola neraka itu dengan begitu keras. Kedua murid istimewa itu menunduk saat percikan air berhawa panas membasahi tubuh mereka. Pak Zub berlari menghampiri kedua anak itu dan mengutuk mereka habis-habisan. “Apa yang kalian lakukan di sini?!” hardik sang pelatih berang. “Venus cuma berdiri dan tidak mau lari, Pak!” Virzash mengadu dengan wajah lebih pucat, tangannya tampak bergetar. “Virzash, kau tahu kau tidak boleh takut, kan?” Pak Zub mengingatkan dengan keras. “Cepat pergi dari sini!” Pak Zub membuat selubung dari air untuk melindungi tubuh Virzash. Bocah berwajah bayi itu lantas berlari sekencang yang ia bisa menuju pintu keluar. “Kenapa kita tidak boleh takut?” selidik Venus penasaran. Pak Zub menatap gadis itu dengan kegalakan luar biasa. “Makhluk-makhluk ini pemakan rasa takut, kau tahu?!” bentak Pak Zub tak sabar. “Mereka menyerap ketakutan lewat udara, dan siapapun yang takut akan terkena lemparan apinya! Tanpa dijelaskan pun seharusnya kau tahu kalau mereka ini berbahaya! Kenapa malah berdiri dengan bodoh di sini?!” “Anu, mereka keren,” kata Venus lebih bodoh lagi. “Apanya yang keren, Bocah?!” Belasan banaspati tiba-tiba meluncur menuju kepala Pak Zub. Makhluk-makhluk itu tampak marah karena sesuatu. Venus terkejut dan melakukan sebuah tindakan tanpa berpikir panjang lagi. Gadis itu menarik keluar dua buah Bakat sekaligus. Secara mendadak. Venus memikirkan tentang air yang ia sedot dari sumber di bawah tanah dengan konsentrasi yang akan membuat semut pun bangga. Napasnya tersentak dan perut gadis itu menegang. Sebelum setetes air pun muncul, Venus menyuruh tanah di bawah kakinya untuk menghambur ke atas. Ia membayangkan kedua Bakat itu menyatu hingga membentuk adonan lumpur super di udara. “Venus, berhenti!” Venus merasakan bahunya diguncang, tetapi ia mengabaikan hal itu. Konsentrasinya tak boleh pecah. Sedikitpun. Tubuh Venus begitu lengket seakan ia baru saja diguyur oleh sepanci minyak. Rona merah menjalar di seluruh permukaan wajah dan lehernya yang berkeringat. Namun, usahanya berhasil. Gemuruh dari bawah tanah mengguncang kaki Venus, tapi ia tetap bertahan saat tanah mulai retak di berbagai tempat. Semburan benda cair tiba-tiba memancar keluar dari sela-sela retakan. Berliter-liter air mengantam gerombolan banaspati, mengungkung makhluk-makhluk itu di dalam pusaran basah yang mematikan. Hebatnya, api mereka masih menyala, meskipun tidak seterang sebelumnya. Pun, Bakat selanjutnya mengemuka. Lapangan itu terguncang seperti kedatangan gempa secara tiba-tiba. Retakan-retakan sebelumnya membesar, kemudian meledak menjadi jutaan serpih tanah cokelat yang kini terlempar ke udara. Pijakan Venus goyah dan matanya terpejam menghindari serpihan tanah yang terlontar ke segala arah. Namun, ia memfokuskan diri pada satu titik terakhir. Gadis itu memekik nyaring ke udara, dan serangan kedua dimulai. Milyaran partikel tanah itu menghambur ke dalam pusaran air berisikan gerombolan banaspati marah yang berusaha keluar. Berton-ton tanah dan puluhan liter air mengaduk-aduk belasan banaspati tanpa ampun. Pemandangan itu tampak seperti lumpur raksasa yang mengambang di udara. Venus mempertahankan posisi itu selama beberapa saat untuk memastikan semua banaspati benar-benar telah mati. Tubuhnya diguncang lebih keras oleh seseorang. Guncangan itu membuat pandangannya kabur untuk beberapa detik. Venus melepaskan energinya, menyebabkan lumpur raksasa itu jatuh berdebum dengan suara yang sedikit aneh. Venus jatuh terjengkang sambil melindungi wajahnya dengan tangan, dan merasakan percikan lumpur hangat mengenai tubuhnya seperti hujan. Ironisnya, Venus merasa seperti kotoran sapi yang menjijikkan. Gadis itu terduduk dan terbatuk-batuk. Tiba-tiba jantungnya terasa nyeri, seakan ada yang menusuknya dengan sesuatu. Venus mencengkeram dadanya begitu kuat. Ia jatuh telentang dan berguling-guling, bernapas pendek-pendek, dan merasa kesakitan setiap kali ia menarik napas. Satu titik di perutnya mengejang, tersentak. Seakan sebuah pisau tertancap dan ditarik keluar oleh seseorang. Gadis itu tak mampu berteriak karena dadanya yang nyeri. Ia meremas perutnya begitu kuat hingga tangannya terasa kebas. “MEDIS!” teriak sebuah suara. Mata Venus berkunang-kunang, dan kepalanya sungguh sakit luar biasa. Ada seseorang yang menumbuk kepalanya dengan batu, dan ia merintih meminta tolong. Gadis itu melenguh lagi, merasa tidak mampu menanggung sakit yag dirasakannya. Pendengarannya berdenging ngilu. Venus ingin berteriak, tetapi jantungnya tak mengizinkan itu terjadi. Berteriak sepertinya hanya akan membuat gadis itu semakin tersiksa. Atau malah akan membunuhnya. Venus tak mampu lagi. Sungguh-sungguh tidak kuat lagi. Maka, ia pun menyerah. • • • Sekali lagi, Venus terbangun di kegelapan. Tubuhnya begitu lemah. Membuka mata pun terasa seperti sebuah pekerjaan yang melelahkan. Kemudian, ia ingat dengan apa yang telah terjadi. Gadis itu mengeluh. Ia memijit dahinya yang masih bekernyut nyeri. Tangan Venus meraba perutnya, merasakan sakit yang kini sudah tidak ada lagi. Jantungnya tak lagi terasa nyeri. Ia bisa bernapas sebaik manusia sehat manapun. Venus mencoba membuka mata lagi, berpikir dengan sadar bahwa membuka mata atau tidak, pemandangan yang tersedia tetap tidak akan berubah. Yang ada hanya kegelapan. “Tuhan, aku di mana?” bisik Venus merana. Kenangan tentang Portal Gelap membuatnya panik. Jika dulu portal itu menariknya masuk ke Bumi Kedua, bagaimana jika portal yang ini menariknya keluar dan kembali ke Bumi Pertama? Kembali kepada keluarga angkatnya? Atau, jangan-jangan Venus sebenarnya sudah mati? Apakah kematian seorang volt selalu begini? Terdampar di kekosongan? Di ruang ketiadaan? Air mata Venus merebak. Ia tidak mau kembali pada keluarga angkatnya, tidak peduli apapun yang terjadi. Lebih baik ia mati. Namun, apakah kematian seperti ini sepadan? Anak perempuan itu menangis, tak mampu lagi menahan air mata. Di sana, ia teringat lagi dengan ibunya. Ibu kandungnya, ibunya yang begitu cantik. Seseorang yang pantas menghadapi kematian lebih dari sekadar kecelakaan kapal. Venus benar-benar merindukannya. “Venus Prahara Adiwangsa.” Venus terkeranjat. Kepalanya menoleh ke sana kemari. Ia merasa yakin mendengar suara seorang laki-laki. “Siapa itu?” Venus bertanya hati-hati, jantungnya berdebar tak keruan. “Aku,” suara itu menyahut, begitu halus, begitu menakutkan. “Siapa?” ucap Venus dengan gemetar. Kegelapan membuatnya tak berdaya, terancam, dan tak terlindungi. “Druiksa.” Nama itu mengingatkan Venus pada seseorang. “Giris Druiksa?” tebak Venus ragu-ragu. Suara itu tiba-tiba tertawa. Tawanya mengikis keberanian dalam hati Venus. Tawa itu seperti pedang yang menggores logam. Membuat hati terasa ngilu dan terdengar mengerikan. “Kau tahu namaku,” suara tawa itu terhenti, “tapi kau tak tahu siapa aku.” “Bukankah kau volt pertama di Bumi Kedua?” Venus memberanikan diri lagi. “Pengetahuan mereka hanya sebatas itu, bukan?” Druiksa berujar, suaranya seumpama pedang samurai. Tipis, tajam, dan mematikan. “Mereka tidak tahu rahasia dunia barang sedikit saja. Mereka seumpama debu tak berguna yang terombang-ambing di udara. Mereka yang seharusnya memujaku, menjadikanku panutan. Bukan kepada Tuhan yang tak bernama mereka seharusnya percaya, tapi kepadaku! Namun, itu tidak penting sekarang. Kata-kata tidak akan menyurutkan para pengendali laknat itu. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah kesakitan, kesengsaraan, dan pembalasan yang setimpal. Bukankah begitu, Anakku?” Tubuh Venus menggigil hebat. Ketakutan merasuk ke seluruh sistem tubuhnya yang mati rasa. Ia tidak tahu mimpi buruk apa yang sedang berlangsung saat ini. Ia tidak mau berhadapan dengan suara iblis ini, bahkan di leher kematian seperti sekarang. “Kau ini siapa?” suara Venus begitu kecil dan tak berdaya, bergetar seakan dirinya akan mati sekali lagi. Embusan angin menerpa Venus. Rasanya panas. Namun panas ini, mengandung kengerian yang akan melelehkan tulang-tulangmu, meremukkan perasaanmu, dan mengacaukan kewarasanmu. Entah kematian sedang mempermainkan Venus, atau kekuatan alam belum ingin melihatnya hancur. Gadis itu masih sekokoh tiang, meskipun punggungnya meremang dan siksaan perasaan takut membuat air mata Venus kembali berlinang. “Aku, Giris Druiksa, manusia yang lahir di tengah-tengah masyarakat Jawa,” suara Druiksa mengiris udara sekali lagi. “Aku, yang dikaruniai kekuatan murni dari napas Sang Raja Empat Bumi. Aku, sang Adam di Bumi Kedua. Aku, yang mati secara terhormat di pangkuan Azafer Nan Digdaya. Aku, yang terlahir kembali dan menjadi penguasa Negeri Roh nan terkejam. Aku, yang akan menyatukan seluruh Bumi menjadi satu dunia. Aku, yang akan menghancurkan siapapun yang menjadi penghalangku.” Isakan Venus terdengar jelas saat sosok tak terlihat bernama Druiksa itu terdiam. Venus memejamkan mata rapat-rapat. Ia memeluk tubuhnya sendiri seerat yang ia bisa. Kengerian memenuhi diri anak perempuan itu. Kegilaan apa yang sedang menimpaku? “Tolong tinggalkan aku,” pinta Venus tersedu-sedu. “Tolong biarkan aku sendiri.” “Bagaimana aku bisa pergi, Putri Bizura?” Druiksa berseru laksana iblis dari dalam neraka. “Kau adalah penghalang bagiku. Terkutuklah orangtuamu! Tidak ada seorang pun iblis yang boleh menghalangiku di dunia manapun! Kau harus enyah!” Sedu sedan Venus tak tertahankan saat energi panas luar biasa menghantamnya. Gelombang lidah panas bergulung-gulung. Kegelapan berubah menjadi warna merah. Anak perempuan itu berteriak saat api melahap raganya, menghanguskan pakaian dan jiwanya. Venus Prahara Adiwangsa. Nama itu tercetak jelas di ingatan si gadis. Bersamaan dengan itu, kesadarannya jatuh ke dalam lubang kenestapaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD