8. KEBENARAN

1467 Words
Bayang-bayang terpelesat ke sana kemari. Wujud mereka seperti malaikat kematian yang enggan meninggalkan makhluk bernapas hidup-hidup. Suaranya bagai angin yang berdesau, seirama dengan gerakan tak bertubuh citra tersebut. Siluet seorang pria dan seorang wanita tampak berdiri di tengah-tengah kepungan itu, berdiri dan saling berhadapan, seakan tak ada yang lebih penting daripada itu. Gerak bibir mereka seperti sedang berbicara. Citra kelabu itu perlahan memudar menjadi kabut yang mengaburkan penglihatan. Suara tawa tiba-tiba menggelegar, menciptakan gema yang menggiriskan hati, seakan ia keluar dari palung kematian. Bintik-bintik gelap dengan cepat menyebar, menutup sepetak kelabu yang tersisa. Namun, gema tawa itu masih ada. Menggoncang jiwa. Seandainya mungkin, orang mati pun niscaya terbangun kembali, lalu kembali mati berkubang ketakutan. Saat tawa itu berhenti, sebuah kesadaran tampak menunjukkan keberadaannya. Kesadaran itu menggigil seakan tengah berada di tengah kubangan es. Kesadaran itu terisak, antara ngeri dan bahagia sebab tawa menyeramkan itu pada akhirnya raib di kegelapan. Namun, sebuah bisikan mengacaukannya. “Venus Prahara Adiwangsa.” Kesadaran itu tersentak. Ia berteriak hingga serak pada kegelapan, menolak nama yang dibisikkan padanya. “Aku Venus Samudera, bukan Venus Adiwangsa!” ia berteriak marah. Kemudian, kesadaran itu menghilang. • • • Venus tersadar tanpa bisa membuka matanya. Ia berusaha dengan sia-sia, dan akhirnya menyerah. Suara bip berulang yang terdengar jauh tertangkap oleh indra pendengarannya. Punggungnya terasa pegal, meski ia tampak dibaringkan pada sesuatu yang terasa empuk. Gadis itu ingin mengubah posisi tidurnya, tetapi sekali lagi ia tidak mampu. Rasanya seperti lumpuh. Apakah ia pada akhirnya mati? Neraka seharusnya terasa panas, tetapi ia malah merasakan suhu senormal suhu dalam kamar. Apakah entah bagaimana Tuhan memperbolehkan ia masuk ke surga? Surga dengan suara bip-bip-bip? “Kroter! Jempolnya berkedut!” Apakah itu sebentuk salam dari surga? Suara itu terdengar kaget dan, sekali lagi, seakan berada di tempat yang jauh. “Matanya juga!” Kali ini suara lain kedengaran senang. Jadi, apakah Venus sedang pingsan? Pikiran ini menyibukkan otak Venus yang terasa membatu. “Tenang, kalian berdua!” suara ketiga terdengar lebih dewasa, dan sebal. “Kita tunggu hingga Venus benar-benar terjaga. Dan, tolong, jangan berteriak-teriak.” “KEPALANYA BERGERAK!” “Shad!” Shad? Bukankah Venus sudah mati? Kenapa ada Shad di sini? Apa Shad ikut mati? Venus berjuang membuka mata lagi. Hampir berhasil. “WHOA!” “Virzash! Tidakkah kau mengerti arti dari tidak boleh beris—!” “VENUS SIUMAN, KROTER!” “Hah?” Venus merasa seperti baru saja mengalahkan kedua matanya sendiri. Matanya berkedip-kedip, terkejut dengan sinar putih terang setelah beberapa lama ia berada dalam kegelapan. Saat ia sudah bisa melihat dengan jelas, kejengkelan memenuhi cairan otaknya. “Aku? Di dalam inkubator?! Sejak kapan aku kembali jadi bayi?!” gadis itu menggerundel, suaranya begitu serak dan segera saja ia batuk-batuk. “Venus mengomel artinya Venus hidup!” kata seseorang sambil tertawa. Venus sedikit menoleh mencari sumber kebijakan tersebut, dan menemukan sosok anak laki-laki berambut hitam dengan wajah seperti bayi. Di kiri dan kanannya berdiri Shad yang cengar-cengir, Ris yang bertampang lega, dan Lou yang berkacak pinggang sambil meneliti wajah Venus dengan serius, seakan ingin memastikan bahwa hidung Venus masih di tempatnya atau tidak. “Kalian juga mati?” Venus terkaget-kaget sendiri. “Cuma kau yang mati, Bodoh,” sahut Lou bernada sebal. Namun, seringai di wajahnya tak bisa lebih menyenangkan lagi. “Caramu mati benar-benar keren!” timpal Shad takzim. “Mengagumkan!” “Teman-teman!” Ris memperingatkan, lalu menoleh dan memberikan Venus seulas senyum meminta maaf. Venus tertawa. Tak pernah ia merasa sebahagia ini saat ada orang yang mengomentari betapa ciamik caranya mati. “Haus,” kata Venus semakin serak. Virzash tertawa. “Ya, terimakasih kembali,” canda anak itu, lalu bergegas mencari segelas air di sekitar meja ruangan itu. “Kita buka dulu kaca penutupnya,” ujar sebuah suara lain. Venus menoleh ke arah berlawanan dan mendapati seorang pria berjas mantel putih. Pria itu separuh botak dan memakai kacamata yang melorot dari hidungnya. Jarinya menekan sesuatu di samping tempat Venus tidur, dan terbukalah tutup kaca di hadapan Venus. Pria itu menekan sekali lagi, dan tubuh bagian atas Venus terangkat oleh mekanisme ranjang di bawahnya. Pria tersebut lantas permisi keluar (“menurut Pemindai, kondisi Venus sudah stabil”) dan menyuruh anak-anak untuk memanggilnya jika ada apa-apa (“tekan tombol merah di samping Pemindai”). “Kenapa peneliti ilmiah bisa ada di sini?” celetuk Venus pada teman-temannya. “Duh, Ven,” kata Virzash geli sambil menyodorkan gelas berisi air di bibir Venus. “Dia bukan peneliti ilmiah, tapi kroter.” Venus meneguk habis air di gelas tersebut dan mendesah puas. “Kroter apaan, sih?” katanya lagi sembari mengelap bibirnya. “Penyembuh,” jawab Ris seraya merapikan seutas rambut di dahi Venus. “Terimakasih,” Venus tersenyum. “Jadi, kroter itu seperti dokter?” “Mungkin?” balas Ris lagi, lebih seperti ragu daripada yakin. Venus mengesampingkan masalah itu dan menanyakan pada mereka sudah berapa lama ia tak sadarkan diri. Jawaban Shad sungguh tak masuk di akal Venus yang pas-pasan. “TUJUH BELAS HARI?! SERIUS?” Venus batuk-batuk lagi gara-gara itu. “Ven! Jangan teriak-teriak dulu!” tegur Ris, sementara Virzash tergopoh-gopoh mengambil segelas air minum lagi. “Shad bercanda, Ven,” ujar Lou, lantas mendengus. “Kau cuma tidak sadar selama seminggu.” Venus meminum setengah gelas air yang disodorkan Virzash, lalu menukas, “Dan satu minggu itu tujuh hari!” Lou melotot sinis. “Sangat jenius. Selama ini aku bodoh sekali,” ujarnya. “Dan tujuh hari artinya sepekan,” Shad berpikir-pikir, jari telunjuknya tertempel di bibir. “Kurasa kita baru saja membuka kelas Taman Kanak-kanak,” gumam Virzash tiba-tiba pada Ris. Ris menghela napas seakan sudah lelah. “Yang benar saja.” Dalam tiga puluh menit selanjutnya, mereka membicarakan aksi heroik Venus yang dijuluki Sang Bizura Yang Payah oleh teman-temannya. Sementara Venus sendiri sibuk makan seraya mengomeli semangkuk muntahan nasi abon yang ia pegang. “Dari mana kau yakin kalau kau bakal bisa mengeluarkan Bakat sebesar itu?” satu saat Virzash bertanya penasaran. “Nah, betul juga,” Shad mengiyakan. “Bagaimana kalau perhitunganmu ternyata salah, Ven?” Venus memutar-mutar bola mata dan mengetuk-ngetuk pinggiran mangkuknya. “Maaf sudah mengecewakan kalian, tapi aku tidak merasa sudah menghitung apapun saat itu!” ucapnya ketus. “Pak Zub bakal diserang oleh segerombol kepala setan terbang, dan kalian malah mempertanyakan bagaimana caraku bisa berpikir?! Aku nggak berpikir!” “Pantas kau mati,” cetus Lou tiba-tiba. Ketukan Venus pada mangkuknya berhenti kira-kira sepersekian detik. Kata-kata Lou mengingatkannya pada mimpi buruk … entahlah, rasanya malah seperti bukan mimpi. Venus mengerjapkan mata, dan ketukan pada mangkuknya malah lebih cepat dari sebelumnya. Virzash berdecak. “Kau ini lagi makan atau apa, sih?” tanya cowok berwajah bayi itu. Venus menatapnya. “Jadi tukang bakso.” “Hah?” Geli rasanya melihat teman-temannya melongo seperti sekarang, tapi Venus punya pertanyaaan yang lebih baik dari sekadar menelan bubur hambar. “Ada kabar apa di sekolah?” Ris dengan sigap menjelaskan segala hal yang terlewat oleh Venus. Yang lain ikut menyimak dan menambahkan informasi. Kata Ris, semua anak di sekolah ini kaget, bahkan bisa dibilang para krona juga. Bukan hanya aksi penyelamatan Pak Zub yang mengesankan, tapi karena kemampuan Venus yang malah membuat semua orang jadi bertambah khawatir dari sebelumnya. “Apa-apaan itu?!” protes Venus tak terima. Seorang volt pemula tidak seharusnya bisa dengan mudah meraih Bakat-nya. Bahkan jika mereka sedang dalam bahaya besar sekalipun, hal paling maksimal yang bisa mereka lakukan adalah meraih sekitar dua persen dari kekuatan masing-masing. “Dan aku meraih seratus persen dari kekuatanku?” Venus menyimpulkan dengan ragu. Shad dan Ris mengangguk. “Dari beberapa kekuatan sekaligus,” Lou mengoreksi seraya bersedekap. Ris menambahkan, “Dan volt pemula yang dapat meraih kekuatan sebanyak itu dalam percobaan pertama mereka? Sungguh sangat menakutkan.” “Nggak paham,” kata Venus. “Kau itu Bizura, Venus!” seru Lou gemas. “Dan setiap volt yang ada di negeri ini trauma dengan Bizura! Masih tidak paham juga? Kau itu Bizura ke—” “Lou!” “—turunan Druiksa!” “JANGAN SEBUT NAMA ITU!” Lou dan yang lain tersentak kaget, sementara napas Venus naik turun dengan emosi. Setitik embun mengganggu mata kiri Venus, dan dengan sekuat tenaga ia menahan getar ketakutan di bibirnya. “Jangan. Sebut. Nama. Itu.” Suara Venus bergetar, tapi ia sudah tidak peduli lagi. Mendengar nama itu serasa mendengar bunyi goresan pedang itu lagi …. Venus menutup matanya selama beberapa detik dan menenangkan diri. “Maaf,” bisik Venus. Tangannya saling menggenggam dengan erat. Ris mendekati Venus dengan hati-hati. “Kami tidak akan menyebutkan nama itu lagi,” ujarnya pelan, yang lain mengangguk-angguk setuju. “Tapi, kalau kau butuh bantuan—” “Tidak, maafkan aku. Ada yang terjadi padaku saat …,” Venus berkedip-kedip, mengusir air mata yang kembali terbit. “Pada saat, kalian tahu, aku belum bangun. Dan … kurasa itu cuma mimpi, tapi … bukan, itu nyata. Ya, rasanya nyata. Tiba-tiba saja suara itu … dia memanggilku … dia bilang aku ….” “Wow, Venus,” ucap Shad simpatik. “Kau kedengarannya kacau.” Venus tertawa gemetar. Ia memeluk dirinya sendiri. “Tentu saja aku kacau, Shad!” teriak Venus histeris. “Bayangkan, si … si Druiksa itu tiba-tiba berbicara padaku di tengah kegelapan! Dia memanggilku Venus … Venus Prahara Adiwangsa, padahal bukan itu nama lengkapku! Dan … dia bilang aku ….” Venus menutupi wajahnya dan terisak. Ia sadar ia pasti terdengar seperti orang gila yang tengah meracau. Rasanya sulit sekali mengutarakan segala hal yang telah dialaminya di kegelapan waktu itu pada teman-temannya. Bahkan saat Ris mengusap-usap pundaknya, dan entah tangan siapa lagi yang membelai lengannya. Ia tetap saja kesulitan untuk berbicara secara bebas. Saat akhirnya Venus membuka tangan yang menutupi wajahnya, ia sadar kenapa teman-temannya tidak tampak mencemooh ataupun menghiburnya. “Kalian menyembunyikan sesuatu. Ada apa?” kata Venus tertahan. Ia menatap satu persatu dari mereka yang semuanya tampak canggung dan berjarak. Venus menggertakkan gigi dan berkata sekali lagi, “Ada. Apa.” Ria menarik napas panjang dan berujar, “Kegelapan di Beranda Hitam tiba-tiba berbisik—sesuatu yang belum pernah terjadi—bahwa kau adalah keturunan … Giris Druiksa.” Shad menambahkan, “Semua orang di negeri ini sudah menganggapmu sangat berbahaya.” “Dan, tentu saja mereka amat sangat terguncang,” timpal Virzash. Namun, Venus berkali-kali lipat lebih terguncang dari seisi negeri. “Venus?” kata Lou lembut. “Maafkan aku, tapi Vrosiden telah menjatuhkan hukuman mati padamu. Segera setelah kau siuman.” Yang artinya, hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD