15. UJUNG PENGHABISAN

1525 Words
Venus terlempar sejauh beberapa meter bersama Artha yang mencengkeram kedua bahunya. Mereka nyaris menyentuh tepi jurang. “Akh!” Artha berdiri di atas dua kakinya yang serupa kaki serigala. Aul itu mencekik leher Venus dan mengangkat tubuh gadis itu setinggi hampir tiga puluh sentimeter dari tanah. Kaki Venus menendang-nendang liar menggunakan kakinya yang sehat. Wajahnya pucat dan nyaris berubah biru. Dalam kesusahan untuk bernapas, benaknya mati-matian berkonsentrasi pada satu Bakat. Tanpa sadar salah satu tangan Venus membentuk tinju. Lalu, kepalan itu mengentak sekali ke bawah; seakan sedang memindahkan konsol dengan gerakan tegas. Sejurus kemudian, langit menggelegar. Awan gelap berkumpul tepat di atas puncak gunung itu. Petir menyambar-nyambar dengan suara menggemuruh. Venus hampir hilang kesadaran, tapi ia sekuat tenaga mempertahankan konsentrasi Bakat Petir-nya. Tangannya membuat gerakan menarik dari atas. BLAR! “ROOOOAAARRGGHHH!” Venus terhempas ke atas tanah dengan keras. Anak itu mengerang keras saat luka di kakinya tertindih tubuhnya sendiri. Artha si Aul terlempar dua meter dari tempatnya semula. Venus terbatuk-batuk dan tersengal-sengal; mencoba mereguk udara sebanyak yang ia bisa. Venus bangkit dengan leher masih terasa sakit. Bibirnya terluka akibat terlalu keras menggigitnya; nyeri pada luka bekas tancapan mata tombak membuatnya gila. Venus melirik ke atas. Mendung gelap dan petir dadakan telah lenyap. Ia memandang aul di seberangnya yang berubah gosong dan berasap. Namun, Artha masih bernapas. Ia menggerung pelan, lalu bangkit pelan-pelan seperti hewan yang terluka. Venus menyentuh bekas cekikan di lehernya yang sedikit berdarah karena terkena cakar Artha. Gadis itu melirik Amerta yang wajahnya berubah gelap saat menatap aul kesayangannya. Artha meraung. Venus menoleh tepat saat aul itu menerjang ke arahnya lagi. Venus menggertakkan gigi. Venus memejamkan mata sedetik seolah akan bermeditasi, lalu ia mencondongkan badan ke depan. Kedua lengannya otomatis terangkat ke atas dengan sikap anggun tetapi mantap. Salju di sepanjang jalur terjangan Artha mencair. Aul itu berhenti mendadak sambil berputar-putar menatap salju cair di bawahnya. Ia menggeram-geram kebingungan. Venus menarik napas perlahan. Kemudian, saat kedua lengan Venus telah berada setinggi lehernya, gadis itu menghempaskan tangan ke bawah secepat kilat. Bersamaan dengan otak Venus yang memerintahkan sesuatu pada objek Bakat-nya. Salju cair di depan Venus meluncur ke atas membentuk bola air raksasa. Bola itu menerjang Artha hingga mengurung aul itu di dalamnya. Venus menggerakkan bola air berisi aul itu ke atas menggunakan pikirannya. Artha berenang-renang panik; mencoba keluar dari kungkungan. BRASH! Bola air itu pecah; menjatuhkan Artha ke tanah dengan kuat. Venus menoleh cepat, mendapati Amertha yang mengangkat tangan kirinya ke samping. Venus menggeram marah. Amerta telah menyerang bola airnya dengan bola salju hingga pecah. Venus berlari terpincang-pincang ke arah Artha yang masih berdeguk lemah. Amerta mencoba menghalangi anak itu dengan melemparkan kristal tajam besar ke arah Venus. Venus menghirup udara dalam sekali helaan, lalu mengibaskan tangan dengan bertenaga. Kristal itu terlempar kembali ke Amerta. Venus menerjang ke depan, lalu mendorong Artha menggunakan bantuan Bakat Udara. Tangan Artha menggerapai ke arah Venus dengan panik. Cakarnya menggores tangan dan pipi Venus. Artha jatuh ke bawah gunung; raungannya terbawa angin hingga suara itu tak terdengar lagi. Tiba-tiba hembusan angin kuat mendorong tubuh Venus ke depan. Terkejut, anak itu terlontar ke udara; jatuh menyusul aul yang ia tadi lemparkan. Venus meraih Bakat Udara susah payah, lalu menyeimbangkan tubuh dan mempertahankannya di udara dengan sedikit goyah. Gadis itu terengah-engah mempertahankan pikiran sekaligus sakit di kakinya. Kekuatan Bakat benar-benar menguras pikiran dan tenaga-dalam anak itu secara harfiah. Venus naik hingga kakinya menapak kembali ke tengah puncak gunung; hanya lima meter jaraknya dari tempat Amerta berdiri. “Selalu main belakang, huh?” ejek Venus dengan gigi terkatup; mati-matian menggigit bagian dalam mulutnya akibat rasa sakit yang masih ia rasakan. Amerta tiba-tiba tersenyum dengan cara yang aneh. Ia menyabetkan tangannya ke atas. Puluhan ular kecil berbisa muncul begitu saja di udara. Amerta membuka jari-jarinya. Ular-ular itu menyerbu ke arah Venus dengan sangat cepat. Benak Venus meraih Bakat Udara untuk menciptakan benteng angin di seputar tubuhnya. Ular-ular kiriman Amerta terlontar ke sana kemari. Namun, ular itu tak bisa mati. Venus menarik napas dalam-dalam; gemetar. Kekuatannya makin melemah. Andai saja Mustaka dapat membantu. Venus mengambil keputusan cepat yang cukup beresiko. Ia terlalu lemah saat ini untuk menggunakan dua Bakat sekaligus. Jadi, ia melepas Bakat Udara dan balik meraih Bakat Api ke dalam benaknya. Sepersekian detik sebelum ia berhasil, ular-ular itu hampir menancapkan taringnya ke tubuh Venus. Namun, dengan cepat mereka terbakar saat tubuh Venus dilalap api. Secara harfiah. Hampir saja Venus melepas Bakat Api ke dalam benaknya lagi karena terkejut. Ia tak pernah membayangkan bisa berubah menjadi manusia api seperti ini. (Mustaka!) Venus mencoba bertelepati tanpa harus mengendorkan konsentrasinya. Suara batinnya terdengar takjub. (Aku—) (Yang bisa membuat tubuh Anda kebal api cuma Anda sendiri, Venus. Jika itu api dari volt lain, maka Anda akan terbakar seperti yang seharusnya; alias mati.) “Sialan!” umpat Venus tertahan. Dari balik api, Venus melihat Amerta menurunkan tangannya. Tak tampak ular di mana-mana. Venus membuka celah api di bagian wajahnya agar bisa menatap Amerta dengan jelas. “Ularmu tidak kebal api, Papa.” Venus memberi penekanan pada sebutan ayah dengan tatapan benci. Matanya melirik sekilas pada bangkai-bangkai ular yang gosong. Nyaris tak kentara, kepala Amerta tersentak. Venus menyeringai. Namun, begitu pula dengan Amerta. Tiba-tiba langit berubah gelap; persis seperti yang Venus lakukan sebelumnya. Gelegar guntur dan sambaran petir yang dihasilkan Amerta tampak lebih dahsyat dari milik Venus. Venus melepas Bakat Api-nya dengan kelelahan luar biasa. Rambut hitam sebahunya terkibar-kibar saat angin kencang bertiup ke segala arah. Petir menyambar tanah di samping Venus dengan gelegar yang memekakkan telinga. Venus membungkuk; sia-sia mencoba menutupi kepala dengan lengannya. Otomatis Venus meraih Bakat Petir dan melindungi tubuhnya dengan percikan-percikan listrik. BLAR! “Aaargghh!” Venus terlontar lagi untuk yang kesekian kalinya hari itu. Petir telah menyambar tubuhnya. Bau gosong menyentak hidungnya. (Untung kau cepat melindungi diri dengan listrik!) “Diam, Mustaka!” geram Venus marah. Tiba-tiba jantung Venus tersentak. Ia membungkuk rendah, tetapi tak sampai lima detik sakitnya telah hilang. (Anda akan mati.) Mustaka mengumumkan. “Kubilang diam,” dengus Venus di antara napasnya yang pendek-pendek. Venus tak tahu apa Bakat dominan Amerta, tapi ia tak peduli. Ia memutuskan untuk mengakhiri pertarungan ini. Ia berteriak keras ke udara; menyalurkan konsentrasi benaknya pada Bakat Petir paling kuat yang ia miliki. Jantung Venus menyentak lagi, tapi ia mengabaikannya. “Itu baru mengagumkan!” Amerta berteriak di antara gelegar guntur yang ia dan Venus ciptakan. Namun, Venus tak berhenti di satu kekuatan. Masih mempertahankan gemuruh petir di atasnya, Venus meraih Bakat Air dalam satu sentakan. Entah dari mana, tetapi ratusan liter air tiba-tiba muncul dari arah belakang Venus. Membentuk dinding tsunami di belakangnya; menunggu perintah Venus. (Venus, cukup!) Gadis itu tak menghiraukan peringatan Mustaka. Ia malah mengambil satu lagi Bakat dari dalam benaknya. Besi. Darah menyembur keluar dari mulut Venus. Ia menunduk saat cairan pekat itu terdesak keluar. Kepalanya pening dan perutnya mual luar biasa. Telinganya berhenti berdenging, tetapi darah mengalir lagi dari sana. Untuk saat ini Venus tak bisa mendengar apa-apa. Namun, itu bukan masalah. Masalahnya adalah Amerta. Habis cerita. Amerta melempar petir lagi ke Venus. Namun anak itu sudah membentengi tubuhnya dengan petir itu sendiri. Meski begitu, ia tetap terpental jauh. Venus bangkit secepat mungkin, lantas membentak ke udara. Gadis itu mengarahkan kilatan petir ke Amerta. Pria itu menghalaunya. Ia melempar kristal tajam lagi; kali ini dari samping. Venus melompat ke belakang dan melempar kristal itu hanya dengan satu pikiran. Kemudian, ia mendorong ke depan. Tsunami kecil di puncak gunung itu menerjang Amerta; menenggelamkannya. Untuk sesaat tubuh pria itu teraduk-aduk tak terkendali di dalam air. Namun, sekejap kemudian ia bisa mengontrol dirinya kembali. Saat Amerta bisa berdiri di atas genangan air yang dengan cepat surut mengalir ke bawah gunung, pandangan Venus sejenak menggelap. Venus mencengkeram dadanya yang terasa seperti ditusuk sembilu. Ia berteriak lagi; mencoba menahan rasa sakit itu. Petir dan kristal mendera tubuh Venus lagi. Ia terhempas ke tanah dengan keras. Rusuknya terasa nyeri; sepertinya terantuk sesuatu. Venus menggerung dalam posisi merangkak. Ia balik menggempur petir bertubi-tubi ke tubuh Amerta. Saat pria itu sibuk menangkis serangan petir, Venus melakukan hal lain. Amerta membeku saat sepotong besi lancip menembus jantungnya. Darah mengalir dari mulutnya. Ia jatuh dan hampir tersungkur. Kepalanya terangkat ke depan. Amerta bangkit dengan susah payah seraya memegang tancapan besi di dadanya. Venus memandangnya ngeri. Mereka telah melepas Bakat Petir secara tak sengaja. Langit kembali cerah. Namun tidak dengan keadaan saat ini. Amerta berdiri dengan goyah, lalu menyeringai. “Aku sudah hidup selama lebih dari empat abad, Venus. Aku abadi. Kau tak bisa membunuhku!” Kaget, Venus baru sadar pendengarannya kembali berfungsi. Pandangan Venus menggelap lagi. Ia memejamkan mata sebentar, lalu kembali menatap Amerta. Hatinya mulai dirasuki ketakutan. (Kau benar, Mustaka.) Batin Venus berbisik pada Amerta. (Aku akan mati, dan Amerta akan menang. Hidup sentosa.) (Entahlah, Venus. Saya tidak yakin kalau soal Amerta.) Venus meludahkan darah dari mulutnya. (Kenapa?) (Kaisar bilang Amerta akan mati; tak peduli jika Anda kalah.) Segera setelah itu, ekspresi Amerta berubah aneh. Mulanya terpaku, lalu kaget, tak percaya. Kemudian marah. Sangat murka. “Aku abadi!” gerung Amerta tiba-tiba. Venus menatapnya terkejut. “Azafer tak bisa melakukan ini padaku! Aku tak melakukan kesalahan!” “Mustaka,” gumam Venus heran. “Apa maksudnya—maksud dia bukan Kaisar Azafer, 'kan?” (Iya, itu maksud dia.) “Deksura!” Amerta terkapar kesakitan seraya berteriak; makin lama makin lemah. “Berhenti! Kau tak boleh pergi! Deksura!” “b*****t kau, Azafer! Aku sudah memberimu banyak nyawa! Apa salahku?!” Venus benar-benar kebingungan. Ia tak mengerti apa yang sedang terjadi pada musuh sekaligus ayahnya itu. Ada hubungan apa Amerta dengan Kaisar? Siapa pula Deksura? “Druiksa! Giris, berhenti!” Sekali lagi Venus terperanjat. Amerta tiba-tiba berdeguk, seakan besi yang tertancap di dadanya baru benar-benar membunuhnya. Sedetik kemudian, ia berhenti meronta. Mulut Amerta menganga kaku dengan tangan masih memegang besi di dadanya. Venus terduduk lemas. Napasnya masih terengah-engah. (Ini … bukan akhir yang kubayangkan.) Benak Venus memberitahu Mustaka. (Sudah jelas.) Pikiran Mustaka mendengkur. “Mustaka, siapa Deksura?” Venus bertanya lemah. “Hubungannya dengan Gir—” Jantung Venus menyentak tiba-tiba. Ia kesulitan bernapas. Anak itu duduk dengan tangan menumpu tanah bersalju di depannya. “M-Mus-ta-ka ….” Anak perempuan itu tersungkur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD