14. GUNUNG SEMBADA

1949 Words
Suatu ketika di Bumi Pertama, Venus pernah menyayat jarinya secara tak sengaja. Rasanya begitu perih waktu itu. Lukanya tak begitu dalam, tapi kata orang: semakin dalam, semakin kebas rasa sakitnya di awal. Rasa sakit itu baru akan muncul berkali-kali lipat berjam-jam kemudian. Jadi, saat itu Venus cukup beruntung; lukanya tidak dalam, dan karenanya sakit yang ia rasakan hanya berada di permulaan saja. Namun, hari ini berbeda. Luka sayatan pisau berbeda dengan luka dalam akibat takdir yang menyembilu hatinya. Di permulaaan, rasanya begitu sakit. Begitu tak tertahankan. Begitu … menyedihkan. Setelah beberapa saat, rasa sakit itu perlahan meluruh. Ia tidak menghilang; tapi ia bersembunyi di sudut hati Venus yang tergelap. Menunggu saat yang tepat untuk kembali mengemuka. Yang tersisa hanyalah kehampaan. Saat Amerta berkata, “Sudah waktunya,” Venus hanya diam. Kegelapan di sudut hatinya menyebar sedikit demi sedikit. Ia tak menunjukkan emosi yang berarti lagi di depan Ildara maupun Amerta. Venus memendam amarahnya; mengurungnya dalam satu ruangan bersama kesedihan yang tak terelakkan. Ketika langkah anak perempuan itu bergema di sepanjang lorong, benaknya kembali terisi dengan skenario melarikan diri. Namun, di sinilah ia berada; mengikuti langkah Amerta di depannya, dengan Ildara di belakang punggungnya. “Apakah kau masih menginginkan ibumu kembali, Venus?” Suara dingin itu menggores kekakuan hati Venus. Rahang Venus mengeras, tangannya terkepal. Anak itu memejamkan matanya, lalu mengembuskan napas perlahan; menahan amarahnya lagi. Venus bersuara di antara sela-sela giginya yang menggertak. “Aku hanya peduli pada diriku sendiri.” Bahu Amerta bergoncang. Tawa lelaki itu mengingatkan Venus akan Druiksa; suaranya begitu menggiriskan hati. Venus sempat bergidik, tapi ia menahannya. Lagi. “Kau sudah belajar jadi egois.” Amerta menyatakan. “Itu bagus.” “Aku tidak belajar.” Venus menyanggah kaku. “Aku hanya berubah.” Kepala Amerta menoleh, seringai keji menghiasi wajahnya yang terkena bayang-bayang obor di lorong batu ini. “Kau benar-benar anak Langit.” Venus masih terombang-ambing di antara kepercayaan barunya tentang sang ibu. Napasnya menjadi berat; sepenuhnya belum benar-benar menganggap Langit adalah sosok jahat yang pernah bersisian dengan Amerta di jalan bernamakan kejahatan. “Aku bukan anak siapa-siapa.” Venus berkata tanpa emosi. Amerta tiba-tiba berhenti. Venus ikut berhenti dalam jarak dua meter dari lelaki itu. Venus hanya menatap iris gelap Amerta dengan kebencian teredam di hatinya. “Kakekku ingin kau memimpin bersamaku.” Kata-kata Amerta yang dingin bagai sembilu beku mengejutkan Venus. Kepalan tangan anak perempuan itu tak pernah melonggar sedikit pun. “Apa yang Giris mau dariku?” tanya Venus datar. Amerta setengah membalikkan badan. “Buyutmu ingin kau mendampingiku memimpin kegelapan.” Venus tertawa dingin. Tatapannya sebeku benua es. “Sungguh sebuah kehormatan. Namun aku tak punya buyut. Tak punya … orang tua. Aku berdiri sendiri, di antara orang-orang yang salah. Aku tidak harus mendampingi siapa pun untuk memimpin apa pun.” Amerta terdiam sejenak seraya mengawasi Venus dengan tatapan tak terbaca. Ia kembali berjalan; Venus dan Ildara mengikuti. Mereka diam hingga tiba di penghujung lorong. Cahaya terang di pintu keluar berbentuk oval sesaat menyilaukan mata Venus. Ia menyipitkan mata bahkan setelah keluar dari lorong dan berakhir memandang hutan lebat; jalanan tunggal setapak membelah tepat di depan Venus. Anak perempuan itu membalikkan badan. Lorong tempat mereka keluar ternyata semacam gua di tengah-tengah gunung yang berdiri gagah hingga ujungnya hampir menyentuh awan. Saat Venus menunduk kembali, lehernya sedikit terasa kaku. Ia menoleh ke Ildara dengan wajah datar. “Di mana kita ini?” Ildara menjawab singkat. “Gunung Sembada.” “Apa itu dekat dengan Kota Sembada?” Suara Venus tetap datar saat bertanya lagi. “Kota Sembada ada di belakang gunung ini.” Venus menoleh menatap Amerta yang tetap berdiam diri de depannya. Venus tersenyum dingin. “Di mana kau akan membunuhku? Tempat ini terlalu sempit.” Kepala Amerta tengadah ke atas. Dahi Venus berkerut penasaran. Ia bersedekap dengan sikap kaku. “Kau tak berniat mengatakan di puncak sana ada lapangan besar, bukan? Karena aku tidak akan percaya.” Amerta mendengus sinis. “Kau tidak berniat mengatakan kita akan bermain sepak bola dengan aman, bukan? Karena pertarungan akan terasa menantang jika tempatnya sedikit berbahaya. Berdiri di atas ketinggian dan saling membunuh … bukankah itu cukup menggiurkan?” Angin tiba-tiba bertiup cukup kencang. Venus menutup wajah dengan lengan saat debu beterbangan di sekitarnya. Sedetik kemudian, Amerta menghela tubuhnya naik dengan kecepatan serupa lift. Amerta terbang dalam keadaan berdiri; kakinya diselimuti angin yang berputar-putar menggila. Venus menoleh lagi pada Ildara. “Bukankah dia seharusnya takut aku melarikan diri? Kenapa ia meninggalkanku sendiri bersamamu di sini?” Salah satu alis Ildara terangkat, senyumnya tampak mencenooh. “Karena Amerta percaya kau tak akan begitu.” “Aku bisa saja begitu.” “Tetap saja, kau akan tertangkap lagi.” Venus mendengus. Benar sekali; ia tak akan lari untuk saat ini. Biar pun ia nanti mati, ia akan sangat bersyukur. Dengan begitu penderitaannya berakhir. Jiwa Venus tak cukup mampu menampung semua kebenaran menyakitkan terus-menerus. Venus menarik napas dalam-dalam, lalu meraih Bakat Udara di sekelilingnya. Benak anak itu sudah memerintahkan kumpulan angin di sekitarnya untuk membawa tubuhnya naik. Namun jari Venus secara otomatis ikut bergerak pelan; seakan ia adalah penyihir yang mengendalikan sesuatu menggunakan lentikan jari. Sensasi terbang membuatnya terlena dan tersenyum sepenuh hati untuk sesaat. Ia menunduk dan menyaksikan Ildara yang masuk kembali ke dalam lorong gua. (Mustaka?) Venus bertelepati. (Selalu di sini, Venus.) Venus tersenyum sambil memutar badannya. Matanya sejuk memandang hutan di bawahnya yang tampak diselimuti kabut pagi. (Indah.) Mustaka bergumam tiba-tiba. Senyum Venus luntur. (Benar sekali; indah. Namun mereka menyimpan banyak binatang buas di sana. Atau sesuatu yang berbahaya.) Mustaka tergelak ironis. (Anda tak bisa menyamakan hidup dengan hutan dan seisinya.) Venus menatap cakrawala dengan murung. (Tidak, Ka. Aku tahu keduanya berbeda. Hanya saja … beritahu aku; berapa umurku?) Mustaka terdengar heran. (Lima belas tahun, Venus. Kenapa?) (Seandainya kisahku dibukukan, maka pembaca akan bosan karena seringnya aku menyinggung tentang usiaku.) Venus tertawa sedih. (Aku bukan anak kecil lagi, Mustaka. Aku tak boleh main-main lagi. Bukankah itu menyedihkan?) (Tidak, Venus. Itu hanya masalah—) (Sebentar lagi aku mati, Mustaka.) Venus berkata serak. Pandangannya kabur sesaat. (Perbedaan itu sangat jelas, tidakkah kau melihatnya?) (Ya. Tapi—) “Aku benci, Mustaka,” desis Venus tiba-tiba. (Terhadap apa, Putri Bizura?) “Semuanya, Roh yang Baik. Semuanya.” • • • “Kenapa Illdara tidak ikut kemari?” “Aku hanya butuh membunuhmu, Venus, dengan cepat. Aku tak butuh penonton.” Venus masih memandang sekelilingnya. Mereka berdiri di puncak gunung yang datar. Di samping mereka merekahlah sebuah kawah beku nan bersalju. Uap keluar dari sela-sela lubang hidung dan bibir Venus saat ia mengembuskan napasnya. Tubuhnya menggigil dan telinganya berdenging lagi; sebagian karena dingin, sebagian lagi akibat Nyanyian Kenya dulu yang kembali terasa nyeri. Venus meraih Bakat Api sesedikit mungkin, lalu menyebarkan hawa hangat ke dalam tubuhnya sendiri. Rasanya lebih baik. Amerta dan Venus berdiri berjauhan dengan jarak hampir delapan meter satu sama lain. Meski begitu, Venus dapat melihat dengan jelas kebencian tiba-tiba yang muncul di sorot mata Amerta. “Kenapa?” Venus berkata sarkatis. “Baru berani menunjukkan perasaan aslimu padaku? Itukah yang sebenarnya kau rasakan? Kebencian dan bukannya meremehkan?” Amerta mulai berjalan memutari Venus. “Aku tak pernah meremehkan orang yang memiliki anugerah dari kakekku.” Tiba-tiba sesuatu menumbuk Venus hingga ia tersungkur ke depan. Napasnya tersembur keluar dengan kaget. Punggungnya seperti akan patah. Venus bangkit secepat yang ia bisa sambil menoleh ke belakang. Sebuah kristal bundar sebesar bola basket menggelinding ke kawah beku, lalu terbang dan memelesat ke arah Venus lagi. Tangan Venus terangkat; ia meraih Bakat Udara untuk menahan bola kristal itu. Lantas ia menggertak; melemparkan benda itu sekuat tenaga ke arah Amerta. Semudah menjentikkan jari, Amerta hanya menatap bola kristal itu yang langsung hancur di tengah jalan. Venus bernapas dengan berat. Ia menyiagakan tubuhnya kali ini. Venus menoleh secepat kilat saat suara mendesing datang dari sampingnya. Tombak es tajam berkelebat ke arah kepalanya. Venus menggunakan Bakat Udata lagi; ia melempar tombak es itu sampai terjatuh ke bawah gunung. Amerta terkekeh jahat. “Kau Bizura, tapi cuma itu. Pengalamanmu tak sebanding denganku!” Ia mengibaskan jubahnya dan mengangkat tangan ke samping setinggi lehernya. Tanah bergemuruh di bawah kakinya. Tiba-tiba, dua bongkah batu raksasa memaksa keluar dari dalam tanah. Venus melakukan hal yang sama; ia meraih Bakat Batu dan berakhir menggoncang tanah di bawahnya. Amerta melakukan gerakan melempar, lalu kedua batu raksasa miliknya memelesat ke arah Venus. Venus membuat gerakan merejan dan berteriak. Tanah dan bebatuan di bawahnya bergemuruh naik ke permukaan membentuk benteng setinggi sepuluh meter. Dua batu Amerta menabrak dinding benteng Venus. Anak itu tersurut ke belakang. Ia mengerahkan tenaga lagi, lalu menumbukkan tinju ke depan. Benteng bebatuan Venus memelesat ke depan, mendorong kedua batu raksasa Amerta dengan kuat. Venus tersengal-sengal, tapi tetap waspada. Tanah di depan Venus kini membentuk celah besar saat benteng tanah dan bebatuan tadi menumbuk Amerta di depan sana. Venus menunggu dengan penuh antisipasi. Telinganya berdenging semakin ngilu. Ia menekan kedua telinganya kuat-kuat. (Telinga Anda akan berdarah, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nada suaranya terdengar datar. Venus meludahkan cairan getir yang naik ke mulutnya akibat gejolak tiba-tiba dalam perutnya. (Aku tak peduli, Mustaka. Amerta mati, atau aku yang mati. Cuma itu masalahnya sekarang.) Venus menggertakkan gigi geram saat Amerta bangkit dari puing-puing tanah dan bebatuan yang menimpanya. Jubahnya robek-robek; ia membuangnya ke samping. Kini sosoknya yang tinggi besar tampak lebih jelas; dibalut dengan pakaian serba hitam dengan pelindung baja hitam di titik-titik tertentu. Venus meludah lagi. “Kau sangat adil, Amerta!” Venus berteriak. “Menggunakan segala pelindung itu ke tubuhmu!” Amerta menggunakan Bakat Udara untuk menghilangkan debu di wajahnya yang sesaat tampak konyol. Ia mengambil langkah-langkah besar hingga jaraknya dengan Venus hanya dipisahkan oleh retakan super lebar di depannya. “Gunakan saja Bakat-mu,” sentak Amerta dingin. “Atau kau tak bisa mengendalikan Besi seperti yang seharusnya?” Amerta meninju tanah di depannya tanpa aba-aba. Mungkin hanya firasat, tapi Venus menghela tubuhnya naik ke udara menggunakan Bakat-nya. Sepersekian detik kemudian, ratusan mata tombak dalam berbagai ukuran melesing dari bawah tanah secara bersamaan di tempat Venus semula berada. Amerta meninju udara di atasnya hingga urat di dahinya bertonjolan. Venus berdengap sedetik. Ratusan mata tombak melesit ke atas dengan kecepatan tak main-main. Venus menarik Bakat Besi begitu cepat, hingga menyakiti jantungnya. Ia mengernyit, tapi tak menurunkan kecepatan untuk membentuk selubung bulat di tubuhnya. Sebuah mata tombak menggores pahanya. Venus berteriak saat nyeri datang tiba-tiba. Ia mempercepat penggabungan selubung besinya. Satu detik sebelum secelah selubung menutup, satu mata tombak kecil menancap ke paha Venus yang semula hanya tergores. Venus berteriak kesakitan dalam kegelapan selubung bundar yang ia ciptakan. Hampir saja Venus kehilangan konsentrasinya, tapi ia mampu mempertahankan kembali selubungnya. Ia berdiri terengah seraya menyandar ke dinding selubung. Anak perempuan itu menggertakkan gigi kuat-kuat. Menggunakan Bakat Udara, ia menarik lepas mata tombak itu dari pahanya. Teriakan Venus menyakiti telinganya sendiri. Ia jatuh terduduk di dalam selubung yang goyah dan terombang-ambing; konsentrasi Venus hampir pecah lagi. Venus menangis, tapi juga marah. Ia merobek bagian bawah celananya tanpa bantuan Bakat; selubung besi dan udara sudah membuat anak itu kewalahan. Venus mengikat pahanya dengan sobekan kain itu dengan gigi menggertak. Ia menahan raungannya dengan berlinang air mata kesakitan. Cairan merah pekat mengotori hampir seluruh tubuhnya. Tiba-tiba selubungnya bergoyang begitu kuat. Venus menghela tubuhnya berdiri seraya menggerung. Venus melepas Bakat Udara-nya pelan-pelan; mencoba meletakkan selubung besinya ke permukaan tanah. Begita rasanya sudah berada di atas tanah, Venus menarik napas gemetar. Ia tak pernah mengerahkan Bakat dalam keadaan begini payah. Benturan keras membuatnya terhempas ke dinding selubung. “Amerta k*****t!” Samar-samar Venus mendengar suara Amerta di luar sana yang berteriak-teriak tak keruan; seakan sedang mengejek Venus agar ia segera keluar dari perlindungannya. Venus berdiri agak goyah; telinganya berdenging lagi. Venus mengerang saat darah mengalir dari kedua telinganya. Napasnya berubah pendek-pendek. Menarik napas dalam-dalam, Venus mulai membuka selubungnya sedikit demi sedikit. Di mulai sebesar lubang paku; untuk mengintip di mana persisnya Amerta berada. Kemudian, setelah tahu posisi musuhnya, Venus membuka selubungnya mulai dari belakang. Hingga selubung itu hanya menyisakan semacam perisai besi berbentuk persegi panjang di depan Venus. Namun, Venus nyaris terperenyak. Di sana, tersenyum seperti seorang psikopat, Amerta berdiri waspada dengan sikap percaya diri. Namun kini ia tak lagi sendirian. Di sampingnya, berdiri seperti manusia; seekor serigala jadi-jadian dengan moncong berliur. Makhluk itu menggeram, sorot matanya tampak mengancam. “Perkenalkan, dia aul setiaku!” Amerta berseru gembira; begitu berbeda dengan citra dingin yang Venus tahu selama ini. “Kau boleh memanggilnya Artha kalau mau. Aku mendapatkan Gal ini dari Bumi Ketiga, kau tahu? Sungguh menakjubkan!” Venus mencengkeram pahanya yang berlumur darah. Jadi, ini adalah salah satu Gal yang pernah disebut-sebut oleh Penjaga Portal semasa Venus baru tiba di Bumi Kedua. Serigala jadi-jadian. Aul; sebutan manusia serigala di tanah Jawa. (Mustaka?) (Ya, Venus?) (Bisakah kau membantuku?) (Saya cuma roh, Venus. Tak bisa berbuat banyak selain memberitahu Anda satu hal: jangan sampai tergigit oleh aul.) Venus terkekeh di antara kernyitan sakit di dahinya. (Kenapa? Apa aku akan jadi aul juga?) (Tidak. Anda akan mati.) Saat itulah, Artha si Aul menerjang ke arah Venus dengan ganas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD