13. LUKA

1425 Words
Menurut Venus, ada dua kategori dewasa di dunia ini. Satu, dewasa dalam hitungan usia. Dan dua, dewasa karena keadaan yang memengaruhi psikis seseorang. Venus masih berusia lima belas tahun … dan ia memasukkan dirinya sendiri ke kategori dewasa yang kedua. Otak Venus dipaksa untuk memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan oleh remaja seusianya. Ia diharuskan untuk memperjuangkan hidup dan matinya. Ia dicokoli kebenaran nan menyakitkan secara terus menerus. Seakan-akan ia tidak boleh menjadi anak alay sebentar saja! Venus menghela napas, merasa seperti sedang syuting sebuah sinetron komedi yang membosankan. Sudah sembilan hari dia berada di ruang bawah tanah itu. Makan, minum, meregangkan badan, pergi ke kamar mandi, bermain Bubble Shooter dan Zombie Apocalypse di ponselnya. Sesekali meminum obat yang diberikan oleh seorang wanita tua, yang selalu datang ke ruangannya untuk mengantarkan makanan dan mengambil pakaian kotor Venus. Di hari-hari itu, kehidupan Venus nyaris mendekati normal. Tubuhnya sudah kuat kembali. Sakit di kepala dan telinganya sudah banyak berkurang. Ia tak lagi diserang gejala pusing atau anemia. Venus hampir-hampir merasa nyaman. Namun, Venus sadar bukan itu tujuan Amerta yang sebenarnya. Meski begitu, Venus pernah mencoba lari dari kesepakatannya dengan Kaisar, dan juga keinginan Amerta untuk bertarung dengan Venus. Pada hari kelima, ia berniat untuk kabur dari ruang bawah tanah dan markas Amerta sejauh-jauhnya. Namun, Venus gagal; sekadar membuka pintu pun ia tidak mampu. Pintu itu sepertinya dilapisi atau ditempeli oleh anti-Bakat, dan dikunci dari luar dengan kuat. Bahu Venus sampai ngilu akibat terlalu sering mencoba mendobraknya. (Berhenti mencoba, Venus,) Mustaka bertelepati pada Venus di hari keenam. “Daripada mengoceh saja, tak bisakah kau membuatku tembus pandang atau apa, 'gitu?” sentak Venus geram, menghempaskan pantatnya pada salah satu dudukan kursi. Pada hari ketujuh, ia hampir mencoba meretakkan dinding-dinding ruang bawah tanah itu, bahkan juga langit-langitnya, sebelum Mustaka mengingatkan itu tidak gunanya. Percuma menghancurkan ruang bawah tanah jika pada akhirnya Venus terkubur akibat ulahnya sendiri. “Aku akan melindungi tubuhku dengan membuat selubung dari besi, setelah itu baru meruntuhkan ruang terkutuk ini!” ujar Venus bersemangat. Mustaka bertelepati lagi dan langsung menjatuhkan semangat Venus dengan kejam. (Saat ruang bawah tanah beserta apapun yang ada di atasnya ini runtuh, Anda akan kembali pingsan karena kelelahan, lalu selubung itu otomatis akan menghilang. Setelah itu, Anda bisa katakan selamat datang pada berton-ton beban yang akan mencium kepala Anda dengan romantis.) Venus langsung berteriak frustrasi gara-gara ceramah roh itu, yang sialnya terdengar sangat masuk akal. “Serius, Ka! Tak bisakah kau memberiku ide yang lebih baik dari itu?” Venus menyergah keras-keras. (Ka?!) Venus memutar-mutar bola mata.“Ya, Mustaka! Kau tak mau kupanggil Mus, dan aku capek harus memanggil nama lengkapmu. ‘Ka’ tidak terlalu buruk, kau tahu?” (Tapi, Venus, itu bahkan bukan nama lengkap saya! Nama lengkap saya—) “Sudahlah!” tukas Venus sebal. “Kau mau kaupanggil Ka atau Mus?” (Ka saja, tolong.) Venus menyeringai. Pintu tiba-tiba terbuka. Venus langsung berdiri, terkejut. Ia menatap heran pada Ildara yang hanya berdiri di ambang pintu sambil bersedekap. Wanita itu tampak agak bosan. Venus dengan cepat menelepati Mustaka. (Kira-kira dia mau apa, ya?) (Entahlah.) Venus membayangkan Mustaka sedang menggeleng atau mengangkat bahu. Menyebalkan sekali saat kau punya partner rahasia yang benar-benar rahasia. Mustaka mengupil pun Venus tak akan tahu. (Hati-hati saja, Venus.) Mustaka mewanti-wanti. (Dia itu kuyang. Lindungi darah Anda dengan benar.) Venus diam-diam mendengus. (Yang benar saja, Ka. Dia tak akan membunuhku, atau dia akan berakhir di tangan ayahku yang mulia.) Venus berdeham-deham. Ia mengangguk ke arah Ildara dengan sikap berani. “Ada apa?” tanyanya santai, seakan sedang berbicara dengan teman sejawat. Ildara mendesah. “Amerta ingin aku menunjukkanmu sesuatu sebelum kalian saling bunuh.” Santai sekali kedengarannya. Venus mengantongi ponselnya, lalu berjalan menghampiri Ildara. Ia mengisyaratkan wanita dewasa itu untuk memimpin jalan mereka. Saat Venus melangkah keluar dari ruang tahanannya, hatinya berdebar gugup. Segala rencana yang sangat mendadak berseliweran di benaknya. Ia harus sekuat tenaga menahan kakinya untuk tidak berlari. Percuma kabur kalau akhir-akhirnya tersesat di antara lorong-lorong batu yang kini mereka lewati. Ildara tampaknya benar-benar kebosanan dan tak punya keinginan untuk mengobrol. Jadi, Venus kembali berkomunikasi lewat jalur rohaniah bersama Mustaka. Venus berpikir sejenak. (Ka, seandainya kita lari—) (Tak akan berhasil,) sela Mustaka tak kalah bosan dengan Ildara. (Anda tak tahu wilayah ini, begitu juga saya. Maka, rencana apa pun yang sedang Anda pikirkan tak akan berhasil. Sama sekali.) Venus menggerutu tak jelas seraya bersedekap. Ekspresinya tampak begitu jengkel. Ildara berhenti dan menoleh. “Kau kenapa?” Venus membeku. “A-Aku—” (Jangan bilang kalau ada roh di sini!) Tiba-tiba Mustaka menginterupsi. Venus mencoba tidak menampilkan ekspresi jengkel lagi. Anak itu berdeham. “Tidak apa-apa, Ildara. Aku cuma bosan. Kapan kita sampai ke tempat tujuan?” Ildara mengangguk tak acuh. Ia menunjuk ke depan dengan dagunya, lalu mengangkat bahu. “Sebentar lagi.” Venus kira, kata "sebentar lagi" artinya satu tahun lagi. Ternyata Ildara tidak sejahat itu. Tujuh menit kemudian mereka sudah berdiri di depan pintu besar dari kayu. Ildara mendorongnya begitu saja, seakan memang tidak dikunci atau apa. Venus mengikuti saat Ildara masuk. Wanita dewasa itu langsung menuju ke sebuah lemari pendek di seberang ruangan. Lemari gelap itu terbuat dari kayu. Venus mendekatinya dari belakang. Lemari itu penuh debu dan engselnya sudah karatan. Ildara sampai harus merenggutnya secara paksa hingga pintu itu terlepas dari tempatnya. “Kau kuat sekali,” gumam Venus tanpa sadar. Ildara mendengus saja; sama sekali tak menoleh. Venus melihat hanya ada satu barang di lemari itu; koper hitam yang lumayan besar. Ildara menariknya keluar sambil mengernyitkan hidung. Ia berdiri, lalu membawa dan meletakkan koper itu ke atas meja dengan satu sentakan. Mereka berdua terbatuk-batuk saat debu di meja dan koper berterbangan. “Pekerjaan aneh,” sungut Ildara kesal. Ia mencoba membuka koper itu dengan wajah masih menampakkan kesebalan. Venus melongok saat kopernya terbuka. Jantung anak perempuan itu berhenti berdetak selama sedetik, lalu kembali berdegup lebih kencang. Venus mengambil dua pigura di bagian paling atas isi koper itu. Tangannya bergetar. “Kau kenal dia?” Ildara memandangnya heran. Venus tertawa gemetar. “Dia ibuku.” Salah satu dari kedua foto itu adalah gambar yang sama dengan foto yang Venus tinggalkan di Bumi Pertama. Ia membuka paksa kedua pigura itu untuk mengambil kertas fotonya. Venus memeluk erat-erat keduanya. Lalu, Venus teringat sesuatu yang pernah dikatakan Amerta padanya. Venus menggigit bibir seraya menatap Ildara yang masih tampak heran. “A-Apa ….” Venus berdeham-deham gugup. Ia mengangkat kedua foto itu agar Ildara dapat melihatnya dengan jelas. “Kau mengenalnya?” Salah satu alis Ildara terangkat. Ia bersedekap. “Siapa di Negeri Dasina ini yang tak kenal Langit Prahara? Dia musuh besar Amerta, sekaligus momok menakutkan nomor dua di negeri ini. Mereka sama-sama terobsesi dengan ide menguasai Bumi Kedua.” Kedua tangan Venus terjatuh lemas ke samping tubuhnya. “Tidak,” gumam Venus; pikirannya mendadak kosong. “Dia … dia tidak seperti itu.” “Oh, ya?” dengus Ildara. Ia mulai membongkar isi koper yang sisanya hanya berisi pakaian dan beberapa kalung berliontin batu hitam. “Dengar, Venus.” Ildara memberi penekanan saat mengucapkan nama Venus. “Kuberitahu kau sebuah kisah nyata yang melegenda di Dasina. Amerta adalah Bizura; ayahnya si Giris Druiksa adalah Bizura; Langit juga Bizura. Lalu suatu ketika, entah bagaimana mereka terlibat cinta satu malam. Dan lahirlah kau—seseorang yang semua orang baru tahu—Venus si putri Bizura. Satu-satunya keturunan Bizura murni; bukan sekadar blasteran. Lalu—” “Itu tak ada hubungannya dengan istilah momok yang kau berikan pada ibuku,” potong Venus kaku. “Oke.” Ildara bersedekap; kebosanan seluruhnya telah hilang dari matanya. “Kau mau yang buruk-buruk tentang ‘ibumu’? Ini kisah nyata, sekali lagi kutegaskan.” Venus membasahi bibirnya. “Kau cuma bercanda.” “Langit Prahara pernah memimpin sebuah organisasi hitam bernama Voltura beberapa belas tahun silam. Ia dan pengikutnya mulai membunuhi orang-orang secara acak; tak ada yang tahu apa motifnya.” “Kau bohong.” Venus mundur selangkah. Ia menelan ludah dan menggertakkan gigi; goyah. “A-Amerta-lah yang memimpin Voltura. Dia—” “—mengambil alih organisasi bentukan Langit. Amerta membuat organisasi itu lebih terarah dan ‘terorganisir’.” “Tidak!” Venus berteriak. Ia ingat Ris yang mengatakan bahwa Amerta-lah yang mendirikan organisasi itu. Venus menjatuhkan diri di sofa berdebu di belakangnya. Tangannya mencengkeram kepala. (Venus.) Mustaka memanggil. Anak perempuan itu menggeleng-geleng. (Tidak sekarang, Ka!) (Saya hanya ingin mengingatkan satu hal, Venus.) Venus meringis dengan mata terpejam; hatinya terluka. Rasa sakit itu akhirnya datang. Bukan dari ayahnya yang mengerikan; melainkan ibunya. Sosok yang ia sayangi selama hidupnya; sampai sekarang. (Venus?) (Apa?) Bahkan batin Venus pun hanya mampu berbisik. (Ris waktu itu cuma bilang, ‘Voltum berhasil mengalahkan pemimpin Voltura yang punya Bakat Rahasia’ … dia tidak secara spesifik mengatakan nama pemimpin itu, Venus.) Dan waktu itu Venus mengira Amerta-lah yang dimaksud, bukannya seseorang yang lain. Anak itu bahkan tidak memedulikan bagaimana Mustaka bisa tahu tentang percakapannya dengan Ris. Venus hanya tak tahan lagi. Ia menggerung. Ia menjeritkan sakit hatinya ke udara. Air mata membasahi wajahnya; ia berdeguk seakan tak ada yang lebih sengsara dari dirinya. Ildara menyaksikan dalam diam saat Venus terlarut dalam tangis nan menyakitkan. Hampir tak ada sosok anak lima belas tahun di diri Venus saat ini; yang ada hanyalah penderitaan tak wajar. Ayahnya seorang pembunuh. Kakek buyutnya seorang dewa Kebencian; mungkin saat ini pun masih seorang pembunuh. Ibunya … juga seorang pembunuh. Apa lagi yang tersisa di seluruh dunia ini bagi Venus? Selain dirinya sendiri? “Pekerjaanmu bagus, Ildara.” Venus tersentak dan mengangkat kepala. Amerta sudah berada di ruangan itu; menatap Venus dengan kilau kejam di matanya. “Bukankah ironis, Nak? Mengagumi seseorang yang salah?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD