12. KESADARAN

1532 Words
Engsel pintu berdentang saat seseorang membuka pintu ruangan tempat Venus berada. Venus masih duduk di atas tempat tidurnya dan menyandarkan punggung, kedua matanya terpejam. Kepala anak itu mendongak, sesekali wajahnya mengernyit kesakitan. Rasanya seperti Kesatria Jarum dan Raja Godam tengah menyerang telinga dan kepalanya secara serempak. “Halo, Anak Haram.” Venus memaksakan diri untuk membuka mata dan melihat siapa yang dengan berani menghina dirinya seperti itu. Sosok itu adalah seorang wanita berambut hitam pendek, dengan riasan tebal yang tampak menakutkan. Matanya berwarna cokelat … atau kemerah-merahan? Venus tidak yakin dengan itu. Wanita berkulit eksotis itu memakai terusan hitam dengan belahan d**a sangat rendah; membuat Venus bertanya-tanya, bagaimana perasaan Mustaka saat ini. Wanita itu tiba-tiba menyeringai. Ada yang menggelitik pikiran Venus. Ia seperti pernah melihatnya di suatu tempat … di mana? Nyeri di kepala Venus makin berdenyut gara-gara terlalu keras memeras ingatan. “Anda sopan sekali, Bu, menyebut saya Anak Haram.” Venus bergumam sambil menekan sisi kepalanya kuat-kuat. Wanita itu tersenyum miring. Ia menyeret salah satu kursi mengilat, lalu meletakkan dan mendudukinya di samping tempat tidur Venus. “Baik sekali kau memujiku sopan, Nak,” katanya lancar. Ia menyilangkan kaki dengan sikap agak berlebihan. “Bicara tentang kesopanan, rasanya kurang pas kalau aku sudah tahu namamu, tapi kau belum. Perkenalkan, namaku Ildara.” Venus sangat bersyukur Ildara tidak menyodorkan tangan untuk mengajaknya berjabat tangan. Dipanggil secara tidak sopan saja sudah cukup untuk membuat Venus tidak menyukai wanita itu. “Apa maumu?” tanya Venus tenang. Ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh apa arti dari julukan Anak Haram itu untuknya. Wanita itu menyeringai lagi. “Mauku banyak. Untuk saat ini, biarkan aku bertanya satu hal.” Ildara menatap Venus lekat-lekat. “Kau tidak mengingatku?” Mata Venus mengerjap cepat dua kali. “Aku sepertinya memang pernah melihatmu, tapi tidak ingat di mana,” aku Venus heran. “Memangnya kenapa?” Ildara tersenyum licik. “Oh, tidak apa-apa. Lagipula, kau hanya pernah melihatku sekali. Dari kejauhan pula. Jadi, kumaklumi kalau kau tidak ingat.” Venus mendengus. “Kalau Alun-Alun Kematian adalah tempat yang kaumaksud—” “Pantai,” sela Ildara. “Kau melihatku di pantai sore itu.” Venus menatap Ildara, tercengang. Tiba-tiba saja ia ingat tentang anak kecil yang berlarian dan— “—kau salah seorang pencari remis itu?” Ildara bertepuk tangan pelan. “Benar sekali!” Kening Venus mengernyit. “Jadi, kau ingin mengatakan, kalau kau adalah seorang volt yang sedang liburan ke Bumi Pertama?” Ildara menggeleng. “Aku tidak sedang liburan. Aku sedang memburu makanan.” Venus mengeluh. Nyanyian Kenya benar-benar berdampak buruk pada kewarasannya. Bisa-bisanya Kaisar malah menyuruh Venus untuk membunuh Amerta—ayah kandungnya—sementara keadaan Venus sangat tidak stabil seperti ini?! “Entahlah, Ildara, terserah kau saja,” ujar Venus agak kesal. “Bisakah kau pergi dan tinggalkan aku sendiri?” Ildara bangkit berdiri dengan perlahan. Kursi di bawah wanita itu berderit saat terdorong ke belakang oleh kakinya. “Tidak masalah, Nak.” Ildara meletakkan sebuah ponsel layar sentuh di atas pangkuan Venus. “Aku … Amerta menitipkan itu padamu. Ayah yang payah, ya?” Ildara berbalik dan meninggalkan ruangan itu dengan langkah-langkah anggun. Sebelum Ildara menutup pintu, ia menoleh pada Venus yang masih menatapnya dengan sorot mata tak terbaca. “Benci aku sesukamu, Bizura, dan akuilah, Amerta memang ayah yang payah. Namun, kau bahkan lebih dari sekadar payah!” Ekspresi Ildara berubah tamak. “Seandainya diperbolehkan, aku sendirilah yang akan mengisap habis darahmu. Sayang sekali!” (Wah!) Mustaka tiba-tiba berbisik ke kepala Venus. (Kenapa ada manusia jelmaan kuyang di sini?) • • • Tak ada sinyal di ponsel yang diberikan oleh Ildara pada Venus. Tentu saja tidak ada. Apa yang diharapkan dari berada di ruang bawah tanah? Seberapa dalam ruangan Venus itu berada? Venus lagi-lagi mengeluh. Ia duduk meringkuk di sudut tempat tidur, dengan tangan masih mencengkeram kepala dan membekap telinganya yang berdenging. Denyut nyeri menyerang keduanya, membuat Venus marah-marah sendiri. Anak itu semakin jengkel saat suara Mustaka kembali membisu dan tak kunjung muncul saat ia memanggilnya. Bergerak perlahan, Venus merebahkan badan dan menatap nyalang langit-langit kemerahan di atasnya. Sosok gosong di lapangan tiba-tiba menyerang ingatannya. Venus gemetar, kemudian menggeleng kuat tiga kali, seakan ingin mengusir lalat yang menjengkelkan. Setelah beberapa menit menenangkan diri, pikiran lain kembali muncul. Citra foto sang ibu seakan melayang-layang ganjil di sudut benaknya. Venus mendesah. Seandainya waktu bisa diulang, dia pasti akan menyempatkan waktu sekadar untuk menyisipkan foto itu ke saku jaket atau celananya. Atau, lebih baik lagi, kabur meninggalkan rumah sebelum Bima mendorongnya ke Portal Gelap nan celaka. Sungguh, itu cuma angan-angan. Namun, Venus mau mempertaruhkan segalanya agar hidupnya kembali normal; senormal manusia biasa. Bahkan jika dia harus menjadi gelandangan sekali pun. Paling buruk yang akan dihadapi oleh tunawisma mungkin cuma Satpol-PP, atau keharusan berpuasa selama berhari-hari lamanya. Berat rasanya saat kenyataan tak membiarkan angan-angan Venus menjadi ada. Venus mencoba memanggil Mustaka lagi, tapi hasilnya nihil. Entah roh itu sedang makan atau buang air besar. Pikiran itu membuat Venus mendengus geli. Dia benar-benar ingin tahu apakah roh masih harus buang air besar atau tidak. Ponsel di samping gadis itu tiba-tiba bergetar. Ia meraihnya, lalu berpikir-pikir sebentar saat pengingat berjudul "Ayahmu akan datang! Asyik, 'kan?" muncul di layar gawai itu. Venus tidak merasa asyik sama sekali. Malah, entah kenapa ia jadi gugup sendiri. Ia bangun begitu mendadak, alhasil membuatnya meringis lagi. Selama semenit penuh, pandangannya menggelap dan berkunang-kunang, sebelum akhirnya kembali normal. Venus membuka ponselnya kembali, lalu mengetuk rincian pengingat tadi. Pengingat itu disetel tepat pada jam sembilan malam … dengan tanggal yang berbeda satu hari saat Venus dihukum. Itu artinya Venus sudah berasa di ruang bawah tanah ini selama dua puluh empat jam. Pengetahuan itu membuat perut Venus jadi berkeruyuk. Ia berdecak-decak kesal, lalu melemparkan ponselnya asal-asalan ke samping. Venus menarik dan mengembuskan napas secara teratur, tapi ia tidak bisa menahan untuk tak menggigit bibir atau membuka tutup kepalan tangan dengan gelisah. Pintu tiba-tiba menjeblak terbuka. Venus tersentak. Terperangah. Anak itu tidak percaya kalau tamu barusan adalah sosok ayah kandungnya. Lelaki berjubah merah itu berdiri di ambang pintu, tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. Surai gelap nan ikal sepanjang bahu membingkai wajahnya yang dingin. Iris matanya segelap Kegelapan, memantulkan cahaya obor yang bergoyang-goyang seperti mata iblis. Yang mengusik perhatian Venus adalah; wajah dan perawakan Amerta sama sekali jauh dari kesan bapak-bapak, melainkan lebih seperti lelaki gagah berusia dua puluhan … dengan aura yang lebih menakutkan. Udara tiba-tiba bertiup dari pintu yang terbuka. Venus mengejang. Aroma tubuh Amerta seperti darah segar, tetapi sekelebat harum mawar entah kenapa mampu mengaburkannya. Amerta menutup pintu di belakangnya, lalu melangkah mendekat. Kepalan tangan lelaki itu mengendur; tapi tidak dengan Venus. Punggung gadis itu seperti diregangkan paksa oleh sesuatu. Setitik keringat dingin menetes di dahi kanannya. Mata Venus dengan waspada mengawasi gerak-gerik Amerta, saat lelaki itu memosisikan diri di kursi yang sebelumnya diduduki Ildara. Venus menggigiti bagian dalam pipinya, dan langsung merasakan cairan seperti karat asin memenuhi rongga mulutnya. “Kau tampak seperti ibumu.” Suara itu terdengar berat dan datar. Venus menelan ludah berdarahnya dengan tegang. Buku-buku jari anak itu memutih hingga uratnya bertonjolan. “Apa dia benar-benar sudah meninggal? Apa kau benar ayahku?” Venus diam-diam merasa terkejut. Ia tidak merencanakan pertanyaan itu, tapi bibirnya seperti bergerak sendiri. Amerta tersenyum miring. Matanya menelusuri keadaan tubuh anaknya dengan kritis. “Ya, dia sudah meninggal dan ya, aku ayah biologismu.” Jari-jari Venus seperti terkena kram. Ia menggertakkan gigi. “Apa benar Mama … meninggal karena kecelakaan?” Akhirnya Venus berani menyuarakan ketakutannya selama ini. Suaranya bergetar. Amerta memiringkan kepala sedikit. “Kau mau jawaban jujur, atau jawaban bohong yang munafik?” Mata Venus menyipit. “Jujur.” Amerta menyandarkan punggung ke kursi dan menyilangkan kaki dengan santai. Lelaki itu bersedekap, selanjutnya mengawasi ekspresi anak perempuan di hadapannya baik-baik. “Aku membunuhnya.” Venus membeku. Sulur-sulur listrik seakan menyetrum tubuhnya. Ia punya keraguan tersendiri atas meninggalnya sang ibu, tapi ini bukanlah jawaban yang Venus perkirakan. Pandangannya mengabur, darah dalam mulutnya bertambah lagi. “Kau!” Venus berteriak. Gadis itu bangkit berdiri dengan marah. Napasnya terengah-engah. Air mata mengalir deras hingga ke pipi. Ia menatap mata sang ayah dengan kemarahan tak terbendung, lantas memutuskan sesuatu. Venus menarik keluar ion-ion listrik dalam tubuhnya. Dirasakannya sulur-sulur listrik mulai berkumpul di kedua telapak tangannya. Namun, penglihatan Venus tiba-tiba kabur. Kepalanya berdentam lebih sakit dari sebelumnya. Venus mengerang, seketika menghentikan pengerahan Bakatnya dan jatuh terduduk di tepi ranjang. Tangan gadis itu, untuk sejuta kalinya, kembali mencengkeram kepalanya dengan kuat. “Kekuatanmu belum pulih.” Venus mendengar Amerta berkata. “Kau belum makan sejak terakhir kali kau sadarkan diri.” Venus mengangkat kepala dan menatap benci pada sosok di depannya. “Lalu apa, Pembunuh? Mau menyuruhku makan agar kau bisa membunuhku dengan racun?” Amerta menggeleng dan tersenyum tipis. “Racun adalah senjatanya para wanita lemah. Aku tidak akan menurunkan harga diriku dengan melakukan itu.” Amerta berdiri. “Pulihkan tenagamu hingga semaksimal mungkin. Akan kusuruh seseorang untuk mengantarkan makanan kemari. Kemudian, kau—” lelaki itu menunjuk Venus, lalu dirinya sendiri, “—dan aku, akan berakhir di tempat pertarungan.” Venus memaksa berdiri meski tubuhnya agak terhuyung dibuatnya. “Katakan padaku,” kata Venus perlahan. Amerta menatap Venus tidak mengerti. “Katakan apa?” “Kenapa kau membunuh Mama? Apa salahnya?” geram Venus membencinya. “Salahnya?” ulang Amerta tergelak. “Dia memutuskan untuk menjadi musuhku, lalu berniat membunuhmu juga, dan kau masih tanya apa salahnya?” Venus terperengah. Perkataan Amerta tidak mungkin mutlak kejujuran! Wajah dan senyuman ibunya di dalam foto adalah buktinya! Dia pasti menyayangi Venus … iya, 'kan? Amerta tertawa. “Ada apa dengan wajahmu? Kenapa jadi diam? Tanyakan pada orang lain tentang Langit Prahara, dan dengarkanlah jawaban mereka. Kita lihat apakah kau masih menganggapnya lebih baik dariku.” Venus tergagap sejenak, tapi kemudian mampu berkata, “Kau pasti bohong. KAU PASTI BOHONG!” “Kita akan bertarung dan, toh, kau akan mati di tanganku. Jadi, untuk apa aku berbohong padamu?” Amerta memiringkan kepala sekali lagi, lalu melecut kesadaran anak perempuannya. “Dan kau memanggilku pembunuh. Katakan padaku, Venus. Kaupanggil dirimu sendiri dengan sebutan apa setelah dua krona malang itu kau bakar?” Amerta beranjak pergi. Meninggalkan Venus sendiri di keremangan ruang bawah tanah, dengan keyakinan terhadap kebenaran ilusi yang semakin terkikis setiap menitnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD