CLY - Chapter 1

1041 Words
Di malam yang tenang, terdengar suara deburan ombak seperti bisikan lembut pengantar tidur di tebing. Dan kicauan burung akan menyahut sesekali. Di atas tebing tepi laut tersebut, hanya terdapat satu rumah mewah bergaya modern berdiri dengan kokoh. Sedangkan rumah mewah lainnya akan membutuhkan waktu sekitar 15 menit berjalan kaki untuk menemukannya dan mereka menjorok ke hutan. Di dalam sebuah kamar utama luas yang menghadap ke pantai, ada sepasang manusia yang berbaring bermalasan tanpa mengenakan busana. Sang pria, Bryce Abrams dengan posisi setengah duduk malas bersandar di kepala tempat tidur menghisap cerutu. Tangan lainnya yang bebas ia gunakan untuk memeluk dan mengusap bahu wanitanya, Aria Madelyn. Sedangkan wanitanya berbaring, memejamkan matanya dan memeluk pinggang pria itu. Menatap ke luar jendela yang tinggi, Bryce menghembuskan asap kembali. Dalam keheningan ruangan itu mereka lalui dengan tenang hingga ponsel si pria bergetar singkat. Dia mengulurkan tangannya ke nakas sebelah dan melihat jam di layar ponselnya. Begitu tahu bahwa sudah tiba waktunya untuk pria itu pergi, Aria membuka kelopak matanya menampilkan mata hitam besar yang indah. Dia melepaskan pelukannya dan sang pria mulai beranjak dari tempat nyamannya, berjalan menuju kamar mandi. Ketika mendengar suara air, perempuan berambut panjang hitam dan lurus itu berjalan menuju stand hanger dan mengambil jubah tidur berbahan satin lalu mengenakannya. Dia masuk ke dalam walk in closet dan mencari setelan pakaian bersih untuk si pria. Kembali ke kamar, dia meletakkannya di pinggir tempat tidur. Sepanjang Aria melakukannya dia sangat tenang, diam, tidak tergesa-gesa dan menimbulkan suara. Bryce keluar pada saat itu. Dia memakai pakaian pilihan Aria tanpa mengeluh dan Aria membantunya mengenakan kemeja. "Tidak perlu pakai dasi." Aria tersenyum dan menjawab pelan, "Oke." Kemudian membantu Bryce mengenakan jas pagi tadi. Terakhir, Bryce mengambil arlojinya di atas nakas samping tempat tidur. Sambil memakainya, dia berkata, “You're the love of my life.” Aria segera terdiam dan agak tegang. Ia mendongak perlahan untuk menatap punggung lebar Bryce. Dalam ruangan yang temaram, rautnya terlihat agak kompleks walau samar. Suara Bryce sangat jelas walaupun desiran ombak masih bisa ia dengar. “Web Series terbaru yang akan digarap Rachman. Kamu tidak perlu mengikuti audisinya karena sudah aku pilihkan peran untukmu…” Aria menurunkan matanya setelah mendengar ucapan selanjutnya dari Bryce. Salah satu sudut bibirnya sedikit menukik ke atas membentuk senyum sarkas. Sebelum Bryce menoleh ke belakang, Aria sudah menatapnya kembali dan secara otomatis memasang senyum indah. “Skrip ‘You're the love of my life’ ada di atas meja kopi. Kamu hanya perlu menghapalkan dan memahami dialogmu seperti biasa. Aku sudah memberitahukan ini pada manajermu.” Bryce menatapnya dalam diam setelah itu, seolah sedang menunggu. Dan Aria menjawab dengan suara indahnya, “Baik.” Dia bahkan tidak repot-repot melihat naskah tersebut. Bryce mengambil ponselnya dan melangkah lebar mendekati Aria. Ia memegang belakang kepala Aria kemudian mengecup bibirnya cepat. “Aku pergi.” Aria tersenyum. Ketika dia baru saja melangkah ingin membuntuti Bryce, pria itu sudah lebih dulu berkata tanpa melihat ke belakang, “Langsung tidur.” Dengan bunyi pelan pintu yang tertutup rapat, senyumannya sirna perlahan. Aria harus melewati meja kopi agar tiba di balkon kamar. Dia mengencangkan jubah tidurnya karena angin malam yang sangat dingin hingga menusuk kulitnya. Saat ia menurunkan pandangannya ke bawah, Aria melihat Bryce baru saja keluar dan mengobrol dengan pelayan rumahnya. Ketika Bryce mendongak untuk memandangnya, Aria memberikan senyum tipis sambil melambaikan tangannya. Pria itu kemudian segera masuk ke dalam mobil di bagian belakang dan sopirnya segera mengendarai mobil tersebut keluar dari area rumah itu. Kembali ke kamarnya, Aria kembali melewati meja kopi begitu saja. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 1 malam kemudian segera masuk ke kamar mandi. *** “Aku menyukaimu. Mari berpacaran.” Mata hitam besar yang jernih dan indah milik seorang wanita cantik itu melebar. Bibirnya yang lembut dan kecil terbuka sedikit menandakan dia sangat terkejut dengan pengakuan Bryce. Dia masih mengenakan pakaian sekolah saat itu. Dan Bryce, pria muda itu berdiri di depan gadis tersebut menunggu jawaban yang ia inginkan. Walau harus seharian berdiri, dia tetap akan bersabar demi sebuah jawaban. Perempuan itu menundukkan kepalanya dengan linglung sebelum berkata, “Maaf…” Dia kembali mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Bryce. “Tapi aku sudah memiliki pacar. Aku yakin kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dariku.…” “Pak.” Suara sopir membuat Bryce yang memejamkan matanya di kursi belakang terbangun dengan tenang. Dia terdiam sebentar ketika sadar bahwa ia baru saja mengenang masa lalu. Dia melihat rumah besar yang sombong dan mengerikan di depannya dengan wajah datar, Bryce menghembuskan napas dalam. Dia sudah sampai ternyata. Seorang pelayan segera membuka pintu utama rumah dan Bryce segera masuk. Dengan langkah lebar ia berjalan lebih dalam dan menaiki anak tangga. Di saat harus melewati ruang keluarga lantai dua yang luas, suara tegas seorang wanita terdengar. “Aku kira kau tidak akan kembali malam ini,” Bryce berhenti melangkah. Bertepatan dengan itu lampu hias di ruangan tersebut menyala memberi cahaya untuk sosok wanita yang duduk dengan anggun. Wanita itu menyunggingkan senyum tipis di sudut bibirnya ketika menambahkan ucapannya, “Suamiku.” Pupil mata Bryce bergeser ke arahnya. Dan dia tidak takut ketika Bryce baru saja memberinya tatapan tajam. Lexi Morgan, anak kedua dari keluarga Morgan, Ayahnya seorang pengusaha yang memiliki bisnis yang sukses dan juga seorang investor. Salah satunya adalah, Lux Entertainment, perusahaan hiburan swasta besar di Indonesia milik Bryce. Wanita itu beranjak dari tempat malasnya. Ia berjalan mendekati Bryce seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Pandangan matanya turun pada jari-jari besar Bryce yang tidak menggunakan apapun, dia mendenguskan tawa kecil dan singkat. “Jadi, selalu di jam seperti ini kau baru pulang dari rumah kekasih kecilmu?” “Sejak kapan kau peduli kapan aku pulang? Apa kau sedang bertengkar dengan asistenmu?” Tanya Bryce balik membuat senyuman Lexi menjadi kaku. Kaki panjang Bryce melangkah satu langkah dan berhenti tepat di depan Lexi. Dia sedikit mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga Lexi. “Urusi masalahmu. Dan aku akan mengurusi urusanku.” Setelah itu Bryce pergi meninggalkan Lexi yang sedang menahan amarah. Lexi menoleh ke belakang, melihat punggung Bryce yang semakin mengecil sebelum pria itu masuk ke dalam kamar utama. Dia memejamkan matanya dan menghembuskan napas dalam, mencoba menghilangkan kemarahan yang mulai menumpuk di dadanya. Lexi mengencangkan mantel tidurnya kemudian berjalan berlawanan arah dengan Bryce, menuju kamar pribadinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD