***
“…ria. Aria!”
Aria tersentak kaget dan menoleh cepat.
Gia menatapnya dengan serius. “Ini bukan pertama kalinya kamu melamun untuk hari ini, Aria. Jadi katakan padaku ada apa.”
Aria mengerjap pelan lalu melirik ke luar mobil. Ternyata mereka sudah tiba tempat acara. “Ayo keluar, Kak.”
Gia hanya bisa melihat Aria yang melepaskan seat belt dan keluar dari mobil.
Di sebuah ballroom besar, Aria bersama Gia di belakangnya menyapa beberapa orang yang ia kenal. Setelah sekadar menyapa singkat beberapa public figure tibalah dia bertemu dengan Pak Rachman.
“Aria!” Rachman berseru sambil tertawa. Dia membuka kedua tangannya selebar yang ia bisa.
Tersenyum lembut, Aria membalas pelukan Rachman. “Pak Rachman.”
Racham adalah seorang sutradara kondang. Aria sudah sering bekerja di bawah Rachman dan pria tua ini sangat menyukai kemampuan akting Aria. Walau hanya peran kecil yang ia mainkan, Aria selalu melakukannya dengan sungguh-sungguh. Itulah yang membuat Rachman ingin mengambil Aria kembali untuk serial drama yang akan ia kerjakan sebentar lagi.
“Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu, Nak?”
“Sangat baik. Saya harap Anda sehat-sehat saja, Pak Rachman.”
“Tentu saja!” Ketika seorang pelayan datang membawa nampan berisikan gelas sampanye, Rachman mengambilnya dan memberikannya kepada Aria yang menggumamkan terima kasih.
Gia yang berdiri di belakang Aria dengan jarak yang cukup jauh juga mengambil segelas untuknya.
Menyampirkan tangannya di punggung Aria, Rachman membawa Aria berjalan menuju meja kosong. “Aku dengar kamu mengambil peran Rissa di drama nanti.”
Seolah sudah terbiasa dengan pertanyaan semacam ini, Aria mengangguk singkat. “Ya.”
“Kenapa?”
“Saya memiliki banyak pemotretan iklan dan lain sebagainya. Saya takut akan mengganggu jadwal syuting jika mengambil peran yang cukup penting.”
“Jawaban itu lagi.”
Aria mengangkat matanya.
Rachman menyesap minumannya sebelum bertanya, “Ini benar-benar kemauanmu atau orang lain?”
Aria mengerjapkan matanya. Dia membuka sedikit bibirnya namun tidak mengatakan apapun. Apa maksudnya? Sudah sampai mana dia tahu tentang posisi Aria? Aria tidak bisa memikirkannya terlalu jauh.
Rachman melirik Aria sejenak sebelum menatap ke pintu utama ballroom. “Dengar, Nak. Kita sudah bekerja sama sangat lama dan aku selalu melihat bakatmu. Jangan disia-siakan bakatmu dengan mengikuti kemauan orang lain. Kamu ingin bangkit, kamu ingin terbang tinggi, kamu ingin berakting, kamu bisa memilih peran yang kamu mau. Aku selalu berharap sangat banyak darimu, Nak.”
Setelah mengatakan itu Rachman menepuk bahu Aria sebelum meninggalkannya. Ketika Aria berbalik untuk melihat kepergian Rachman, tatapannya malah berhenti di depan pintu. Di sana, Bryce bersama istrinya baru saja tiba. Dan seperti biasa, mereka akan mengobrol bersama dengan tamu yang hadir.
Aria memperhatikan bagaimana Lexi tertawa dengan wajah bahagianya sedangkan Bryce mengistirahatkan tangannya di pinggang kecil Lexi. Menurut Aria, Lexi adalah wanita yang sangat sempurna. Cantik, berwibawa, tidak berlebihan. Sungguh melengkapi Bryce di sisinya.
Ya, ketika kedua orang itu berdiri bersama sambil menunjukkan wajah bahagia mereka, mereka seperti pasangan yang serasi dan harmonis. Akan tetapi Aria yang lebih tahu apa yang terjadi di antara kedua orang itu.
Aria berbalik dan berjalan menuju teras yang cukup sepi. Memegang gelas sampanye, dia hanya menatap pemandangan malam dengan tatapan tidak tertarik. Hingga seseorang memanggilnya. Setelah membetulkan ekspresinya, Aria segera berbalik.
“… Maya?” Aria sungguh terkejut.
“Oh Tuhan, aku pikir kau tidak akan mengenaliku!” Maya berseru. Dengan langkah cepat dia mendekati Aria. Dan mereka pun berpelukan dengan penuh kerinduan.
Maya adalah temannya di sekolah dulu. Adik kelasnya yang pemberani, lincah, dan aktif -jauh berbeda dengan Aria yang pendiam dan penyendiri-. Adik kelasnya yang pertama kali mengajaknya bicara. Dan sekarang adik kelasnya berubah menjadi semakin cantik dan wajahnya terlihat bahagia.
Mereka membicarakan hal santai. Memuji satu sama lain dan saling tersenyum lebar. Entah kenapa, dengan kehadiran Maya di sini membuatnya tidak terasa kesepian. Seolah Aria kembali ke masa-masa ketika mereka sekolah. Karena hanya di masa itulah dia memiliki teman…
***
Bryce menangkap sosok wanita yang berjalan membelakanginya keluar menuju teras. Wanitanya mengenakan gaun itu. Bryce mengedipkan matanya ringan. Suasana hatinya juga menjadi ringan hanya karena pilihannya semakin menambahkan kecantikan seorang Aria.
“Bryce.”
Bryce sedikit menggeser kepalanya ke Lexi. Wanita itu mendekatkan wajahnya dan berbicara dengan nada lembut. “Aku ingin istirahat.”
Tanpa menunggu lebih lama, Bryce segera berbicara kepada beberapa orang yang mengelilingi mereka. “Maaf, tapi saya harus membawa istri saya ke lounge sebentar.”
“Ya, ya. Silakan.” Mereka mengangguk antusias.
Memeluk pinggang Lexi, mereka berdua mulai berjalan.
“Bryce masih sama seperti dulu, bukan? Kesehatan istrinya paling ia utamakan.”
“Benar. Awalnya aku pikir mereka menikah hanya karena sebuah bisnis. Siapa yang tahu jika mereka memang saling mencintai?”
Ada suara decakan iri. “Memiliki tampang, sangat perhatian dan mencintai istrinya, bahkan cerdas. Andai saja aku memiliki anak laki-laki seperti itu.”
“Ahahah Pak Ruben pasti bahagia karena memiliki menantu seperti Bryce.”
"Bicara apa kalian? Seharusnya yang merasa beruntung adalah Bryce. Dia memiliki istri yang cantik, lembut, ramah dan cerdas! Entah bagaimana cara Pak Ruben membesarkan putri satu-satunya..."
"Kau benar juga..."
Di belakang mereka, baik Bryce maupun Lexi bisa mendengar obrolan beberapa orang tadi. Pura-pura tidak mendengar, mereka hanya terus berjalan tanpa melihat ke belakang, menuju salah satu lorong yang memiliki beberapa pintu ruang istirahat pribadi.
Setelah berada di lorong yang sangat sepi, senyuman Lexi segera pudar. “Beri aku 1 jam di sini.”
“Setengah jam lagi Gavin dan istrinya akan tiba.”
Wajah Lexi berubah menjadi mendung ketika dia berhenti tepat di depan sebuah pintu. Dia melirik Bryce dengan tidak senang seolah Bryce baru saja merundungnya.
Namun Bryce yang tidak peduli hanya menatap Lexi dengan tenang. Bryce membuka pintu di depan mereka dan berkata pelan, “Ingat, perhatikan sikapmu di sini jika ingin mempertahankan wajah keluargamu.”
Lexi mendengus dingin sebelum masuk dan meninggalkan Bryce. Dia melepaskan sepasang sepatu tingginya dan berjalan menuju couch tanpa alas kaki dengan bunyi teredam di karpet bulu. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam tas malamnya, mengambil salah satu batang candunya yang tipis kemudian menyalakannya. Duduk sambil menghisap dalam-dalam benda silinder tersebut, Lexi menatap pemandangan malam yang buram di luar kaca.