BAB : 1

985 Words
Hidup itu akan terasa lebih bermakna saat ada seseorang yang bisa menyemangati, bisa menemani dan menjadi tujuan kita untuk hidup. Ya, sebelumnya ini memang tak jadi masalah baginya, tapi di saat hatinya pernah merasakan rasa itu, justru malah terbiasa. Kini dunia seakan hancur kala dia menghilang.  Jungkir balik, bisa dikatakan seperti itulah apa yang dirasakan Farel kini. Bahkan tak pernah membayangkan kalau kisah dari hatinya akan seburuk ini. Secara tiba-tiba Andine yang baru saja berniat ia masukkan ke dalam hatinya, pergi tanpa jejak. Jangankan jejak, bahkan sepatah katapun tak ia dapatkan sebelum dia pergi. Berharap, suatu waktu keberuntungan berpihak pada dirinya dan mengembalikan sosok itu. Ini bukanlah sebuah keinginan yang mustahil, bukan? Berjalan dengan langkah pasti, bahkan seolah tak perduli dengan situasi sekitarnya. Tanpa sengaja ia malah menabrak seorang siswi yang sedang membaca buku.  "Kalau baca buku jangan di tengah jalan!" "Maaf, Pak," ucapnya takut-takut sambil mengemasi buku bacaannya yang jatuh di lantai. Satu sekolah pun tahu, bagaimana sikap dan kepribadian Farel sebagai seorang guru. Dia begitu dingin, bahkan lebih terlihat menakutkan kalau sedang berhadapan langsung. Apalagi semenjak gadis itu pergi darinya, yang membuat kepribadiannya semakin bertambah dingin. Pokoknya masalah kecil, bisa jadi panjang kalau sudah berurusan dengannya. Berstatus sebagai guru BK, bahkan kadang siswa dan siswi yang suka berbuat onar pun seolah berubah total. Ya, mereka juga enggak mau lah berurusan dengan si Bapak BK yang satu ini. Bisa-bisa digantung di tiang bendera. Duduk di kursi ... kemudian menarik napasnya dalam. Seolah menghembuskan semua masalah yang bersarang di pikirannya. Andine, nama itu terus saja yang jadi pikiran utama baginya. Ini sudah beberapa bulan semenjak gadis itu pergi tanpa sebab dan ia masih saja belum bisa move on. Ia mencengkeram rambutnya seolah frustasi. "Andine ... kamu di mana, sih?!"  Menyambar tas ransel dan ponselnya, kemudian melangkah pergi meninggalkan area sekolah. Ini masih pagi, bahkan ia saja baru sampai, tapi sepertinya mood-nya sudah kacau duluan. Bisa-bisa kalau dilanjutkan malah berefek buruk. Sebelum menuju rumah, ia berhenti di sebuah restoran. Tadi sebelum ke sekolah, ia belum sempat untuk sarapan. Toh di rumah pun bakalan makan sendirian. Berpisah dengan kedua orang tua, membuatnya kesepian. Paling ada seorang asisten rumah tangga yang biasa mengurus rumah dan keperluannya. Untuk itulah ia memilih untuk menyibukkan diri di luar. Setidaknya dengan mengajar di sekolah dan juga mengurus urusan kantor milik keluarga, itu membuatnya tak merasa sepi. Paling kalau bosan, ia malah menginap di rumah orang tuanya Mirza, sahabatnya. Memilih duduk di meja bagian pojok. Sambil menikmati makanan, sesekali ia melirik layar ponselnya setelah menerima beberapa pesan. Di saat bersamaan, tiba-tiba saja aktifitas itu terhenti ketika mendengar sebuah suara dua orang yang sedang berdebat di meja yang ada dibagian belakangnya. Bahkan disela-sela perdebatan terdengar jelas kalau si gadis sedang menangis.  Sendok dan garpu yang ada di tangannya, terlepas begitu saja di piring. Ia semakin berfokus memastikan kalau apa yang ia dengar memanglah benar dan nyata.  'Plakkkkk' Sebuah tamparan itu membuat Farel sedikit tersentak. Langsung saja ia beranjak dari posisi duduknya dan berjalan menuju meja yang ada dibagian belakang. Memastikan kalau apa yang ada dipikirannya kini adalah benar.  Seorang laki-laki dan seorang perempuan sedang berdebat. Itulah yang ia dapatkan. Bukan ... bukan itu yang jadi pusat rasa kagetnya, tapi justru sosok perempuan yang kini sedang menatapnya. Apa yang dirasakannya kini? Kaget dan tak percaya dengan siapa kini dirinya dihadapkan. Bahkan lidahnya saja seakan tak mampu untuk mengeluarkan kata-kata.  "Pak Farel," gumam gadis itu.  Ia mendengarnya, meskipun terkesan begitu lambat.  Farel memastikan kalau saat ini ia bukanlah sedang bermimpi. Andine, gadis yang sudah berhasil membuat dirinya dan hari-harinya berubah total, kini justru berdiri tepat dihadapannya. Dengan cepat ia menarik lengan gadis itu dan menarik ke pelukannya.  "Aku kangen sama kamu," bisik Farel seolah menumpahkan apa yang ia rasakan selama ini.  Tak lama, ya ... hanya beberapa saat, tiba-tiba seseorang menarik Andine dari pelukannya dengan paksa. Bahkan saat ia hendak kembali merebut, justru malah didorong. "Lepasin dia!" bentak Farel pada cowok yang kini memegangi tangan Andine. Bahkan itu terlihat sangat kasar.  "Hei, ini calon istri saya ... kenapa anda malah bersikap tak sopan memeluknya seperti itu?!" "Apa?" tanya Farel kaget. Rasa kagetnya seakan membuat dunia seakan mau runtuh. Tidak, sepertinya ia salah dengar. "Calon istri? Yang benar saja!" Lagi-lagi Farel berusaha merebut Andine dari rengkuhan cowok itu. Rasanya benar-benar menyesakkan hati saat ada tangan lain yang menyentuhnya. Tapi kali ini justru sikapnya mendapatkan pukulan di wajahnya.  "Anda benar-benar sudah tidak waras, ya!" "Bilang padaku kalau apa yang dia katakan tak benar," ujar Farel pada Andine untuk memastikan. Andine tak menjawab pertanyaan yang diajukan Farel padanya. Raut kesedihan benar-benar terlihat nyata di wajahnya, tapi kini malah senyuman yang diberikannya pada Farel. "Maaf, ini memang calon suami saya," ujar Andine. Tak hanya itu, ia malah dengan sengaja merengkuh pinggang cowok itu agar Farel benar-benar yakin. Farel tersenyum miris. Kemudian seketika itu juga wajahnya langsung berubah dingin dan menatap tajam kearah Andine. Tangannya mengepal seolah menahan emosi melihat sikap Andine pada laki-laki itu. "Jadi, seperti inikah akhirnya kita?" tanya Farel. "Kita?" tanya Andine. Kemudian tersenyum sambil bersidekap d**a. "Maaf, kita nggak punya hubungan apa-apa, kan? Jadi, apalagi?"  Mendengar jawaban yang diberikan Andine, cowok yang kini ada disampingnya tersenyum penuh rasa puas. "Sudah dengar sendiri, kan, jawaban dan penjelasannya?" Dia kembali merengkuh pinggang Andine dengan posesiv dan membawanya pergi dari sana, keluar dari restoran. Ya, bahkan tanpa menolak dan berkomentar, gadis itu seolah menurut saja.  Apalagi yang dilakukan Farel sekarang? Bahkan setelah mendapatkan penjelasan dari Andine barusan, seolah membuat hatinya disobek-sobek layaknya sebuah buku bekas yang telah usang. Iya, kini Andine memang kembali, tapi membawa rasa sakit. Begitu menyakitkan saat ada orang lain yang justru sudah memiliki dia lebih jauh.  Farel kembali duduk di kursinya, emosinya bahkan seakan mau meledak saja. Bahkan sebuah gelas yang berada di pegangannya malah diremuk hingga pecah berserakan di meja. "Iya, benar ... kita nggak ada hubungan apa-apa. Kamu benar dan aku yang terlalu berharap. Iya, hanya aku ... hanya aku yang menginginkanmu," gumamnya tertahan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD