BAB : 2

830 Words
Gilbert dan Diana berada di ruang keluarga, tiba-tiba terdengar suara deru mobil yang memasuki halaman rumah. Keduanya saling pandang. Ya, setidaknya mereka bisa menebak dengan pasti siapa yang datang.  "Tumben itu anak ke sini pagi-pagi?" tanya Diana sedikit berpikir. "Mungkin ada masalah di kantor," balas Gilbert sekadar menebak. Bahkan pandangannya tak ia alihkan dari buku yang ia baca. Ya, tak lama setelah itu, terdengar derap langkah kaki yang berjalan mengarah pada keduanya. Kemudian sosok itu langsung saja duduk di kursi yang ada di sebelah Diana.  Kini pandangan Diana berfokus pada wajah yang tampak tak baik-baik saja. Dia sedikit pucat. "Farel, kamu sakit, Nak?" tanya Diana. Iya, Farel. Bahkan kini Farel seolah menjadi anak kedua di keluarga Gilbert, apalagi setelah Mirza putra rumah ini menikah yang membuat waktunya semakin bertambah sibuk. Karena otomatis akan membagi waktu untuk dua keluarga. Gilbert yang awalnya hanya memusatkan pandangannya pada buku, kini beralih mengarah pada Farel saat mendengar pertanyaan sang istri. "Aku nggak apa-apa, Tante," jawabnya. Tak lama kemudian ia malah menyodorkan telapak tangannya yang berbalut sapu tangan penuh darah kearah Diana. "Tapi ini sedikit menyakitkan," tambahnya sedikit meringis. Bahkan ia malah menutupi wajahnya dengan bantal sofa. Tentu saja penampakan itu membuat Diana kaget, begitupun dengan Gilbert yang bereaksi sama.  "Farel, kamu habis ngapain, sih, Nak?" tanya Diana mulai cemas. "Ada-ada saja ini anak kelakuannya," tambah Gilbert mendekati Farel dan memeriksa luka itu. Ya, beberapa luka goresan yang lumayan, tercetak di telapak tangannya. "Kita ke rumah sakit aja, ya. Ini lumayan parah, kalau nggak ditangani dengan benar bisa infeksi," jelas Gilbert.  Mendengar itu Farel malah merebahkan badannya di sofa. Jangankan ke rumah sakit, ini saja kepalanya berasa cenat-cenut loh. Bukan karena sakit di tangannya, tapi justru kini hatinya yang terasa begitu sakit. Andine benar-benar berhasil membuatnya patah hati. "Nanti ajalah, Om ... aku mau istirahat dulu," ujarnya memejamkan mata.  Diana beranjak dari kursinya dan melangkah cepat menuju arah dapur. Sementara Gilbert, ia menyambar ponselnya ... kemudian menghubungi seseorang lewat pesan singkat.  "Jangan bilang sama Om kalau kamu habis berantem, Rel?" "Bukan, Om," balasnya dengan mata yang masih terpejam. Ia bukan sedang tidur, hanya ingin menenangkan sedikit pikirannya. "Aku nggak akan berbuat begitu juga kalau nggak ada sebabnya." "Atau berniat bunuh diri." Tebakan itu berasal dari Diana yang datang dengan sebuah mangkok berisi air hangat dan handuk kecil di tangannya. Apalagi kalau bukan untuk membersihkan luka di tangan Farel. Farel hanya diam tak merespon perkataan Diana. Tapi lebih menikmati rasa perih di tangannya saat wanita paruh baya itu mulai membersihakan lukanya. Bahkan ia sampai menggigit bantal menahan perih. Yakali mau nangis. "Aduh ... Tante, ini asli rasanya perih banget, loh," ujarnya langsung bangun, meringis menarik tangannya dari pegangan Diana. Kemudian meniup-niup luka itu. Gilbert dan Diana malah tertawa melihat ekspressi Farel. Emosi boleh tinggi, saat marah begitu menakutkan, tapi tetap saja kalau berurusan dengan luka, darah dan sejenisnya ... Farel dan Mirza sama persis. Langsung ciut seketika. Mending ini dia nggak sampai mual-mual dan pingsan. "Makanya, lain kali jangan lakuin hal aneh-aneh kayak gini lagi. Udah tahu, kan, rasanya gimana," omel Diana. "Nggak sengaja, Tan. Aku sakit hati, aku lagi patah hati." Tiba-tiba saja ia malah curhat. Dahi Gilbert berkerut mendengar pernyataan Farel. "Apa kamu udah punya pacar? Kok bisa patah hati?" tanyanya heran. Bukan apa-apa, karena setahunya Farel tak punya kekasih. Bahkan saat ia kenalkan pada anak dari rekan-rekan kerjanya pun, tetap saja dia menolak. Apalagi masalahnya kalau bukan Andine. Ya, gadis itu seolah sudah merasuki hati dan perasaan Farel hingga tak bisa digantikan dengan yang lain.  "Tadi di restoran aku nggak sengaja ketemu sama dia." "Wahh ... bagus dong," respon Diana. Ia kembali meringis saat Diana kembali menarik tangannya untuk dibersihkan. "Pelan-pelan dong, Tan. Ini beneran sakit loh." "Lanjutin aja ceritanya," komentar Gilbert. "Parahnya dia ternyata udah punya calon suami, Om," lanjut Farel menyenderkan kepalanya di sofa. Mengingat itu saja masih membuatnya sakit hati. "Kesal banget aku liatnya, berasa pengin nonjok itu cowok. Main rangkul-rangkul aja. Malah Andine ngebiarin dia lakuin itu." "Kan calon suaminya," respon Gilbert.  "Om, jangan bikin aku tambah patah hati deh. Kalau masalah sikapnya itu, malah aku pernah lakuin hal yang lebih jauh dari ..." Tiba-tiba Farel menghentikan perkataannya saat menyadari apa yang ia ucapkan barusan. Matanya mengarah pada Diana dan Gilbert secara bergantian, yang menatapnya aneh dan penuh curiga.  Ia tersenyum. "Maksudku ..." "Hayoo ... kamu pernah lakuin apa sama Andine?" tanya Diana mencubit lengan Farel. "Suer, aku nggak lakuin hal-hal yang terlalu jauh, kok, Tan. Cuman ..." "Mirza, Farel ... kalian berdua sama saja kelakuannya," balas Gilbert melempar Farel dengan bantal. "Masa iya mengambil hal itu sebelum jadi milik kalian." Farel hanya menggaruk tengkuknya saat mendengar omelan Gilbert. Sedangkan Diana hanya tertawa melihat tingkah Farel.  Berbeda dengan Mirza yang terkesan suka menutupi perasaan dan apa yang dia rasakan, sedangkan Farel dia lebih terkesan terbuka akan masalahnya. Terlihat sekali, bukan ... bahkan pada Diana dan Gilbert yang hanya sebatas orang tua dari sahabatnya saja, dia bisa terbuka. Ya, keterbukaannya lebih terkesan blak-blakan. NB : Ini sekuel Evolution of Love♥️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD