BAB : 3

1320 Words
Farel masih duduk diam di sofa. Luka di tangannya masih terasa begitu perih, tapi agak sedikit mendingan setelah dibersihkan oleh Diana barusan. Di saat yang bersamaan, bel berbunyi pertanda ada tamu.  "Bik, ada tamu!" teriaknya pada Bibik yang posisinya berada di dapur. "Iya, Den," balas wanita paruh baya itu sambil berjalan cepat dari arah dapur menuju pintu utama. Tak lama kemudian, seseorang datang bersama Bibik dan menghampirinya yang masih tiduran di sofa dengan satu tangannya yang sibuk dengan ponsel. "Den, ada Non Zeta," ujar Bibik pada Farel, kemudian berlalu pergi kembali menuju dapur. Pandangannya mengarah pada seorang gadis yang kini tengah menatap kearahnya dengan senyuman manis. Ia segera bangun dari posisi tidurnya dan menatap gadis bernama Zeta penuh curiga.  "Jangan bilang kalau Om Gilbert minta kamu datang ke sini?" Lebih tepatnya ia sedang menebak, bukan memberikan pertanyaan. Dia tak menjawab, tapi malah langsung duduk begitu saja di sebelah Farel, kemudian menyambar tangan Farel dan membawa kearahnya. "Masih sakit?" "Sedikit," jawab Farel menarik tangannya, tapi tertahan karena Zeta menahannya. "Lepas ... ini sudah nggak apa-apa." Kata-kata Farel seakan-akan ia abaikan saja. Karena kini dirinya malah mulai mengobati luka itu dengan benar. Alkohol, kapas pembersih, anti septik dan perban sudah ia persiapkan di meja.  "Luka ini harus dibersihkan, karena kalau tidak, bisa infeksi." "Udah, tadi," balasnya sedikit meringis. "Pelan-pelan dong," ocehnya saat rasa perih itu ia rasakan . "Jangan cengeng," ledek Zeta. "Tante Diana hanya sekadar membersihkan, bukan dengan begitu lukamu bisa dibilang akan membaik. Setidaknya harus diobati dengan benar." "Jangan mulai menceramahiku lagi. Moodku dalam keadaan tak baik, jangan salahkan aku jika ..." "Ada masalah apa?" Farel yang tadinya bersandar di sofa, kini mengubah posisinya jadi duduk berhadap-hadapan dengan Zeta yang tengah sibuk mengurus lukanya. "Zeta, bisa tidak, jangan terlalu ikut campur dan mengetahui tentang semua kehidupanku?"  Zeta menyelesaikan lilitan perban untuk menutupi luka di tangan Farel. Setelah selesai, ia malah menatap cowok itu dengan senyuman dan menyentuh pipinya lembut. "Rel, kamu itu nggak punya masalah dalam kehidupanmu. Kecuali satu ... Andine, kan?" Farel diam tak berkomentar. Hanya berusaha menghindari tatapan Zeta. Lihat, kan, betapa gadis bernama Andine benar-benar berpengaruh dalam alur kehidupannya. Bahkan orang lain saja bisa mengetahui itu.  Dirinya memang terkesan blak-blakan, tapi untuk urusan hati, ia akan mempersilahkan siapa saja masuk ke dalam hatinya. Tapi maaf, hanya yang bisa membuatnya nyaman saja yang bisa bertahan. Sisanya akan ia depak keluar. "Sudah selesai, kan, sana pergi," suruh Farel pada Zeta. "Aku minta bayaran," balas Zeta sambil menyodorkan telapak tangannya kearah Farel. Farel merogoh sakunya dengan malas dan mengeluarkan dompetnya kemudian memberikan pada Zeta. "Gunakan sepuasmu," kesalnya. "Benar, kan ... kamu itu memang menyebalkan. Aku minta bayaran, kenapa malah dikasih ini?" "Trus apalagi?" "Enggak semua bayaran itu harus menggunakan uang, kan?" "Jangan berbelit-belit." "Traktir makan," harap Zeta sambil tersenyum. "Oke?" "Nggak." "Yasudah, kalau gitu aku buka lagi perbannya," balas Zeta tak terima dan bersiap membuka kembali perban yang menutupi tangan Farel. "Heiii ..." "Oke?" Farel sedikit berpikir. Mood-nya sedang hancur dan kini malah dihadapkan dengan gadis menyebalkan. Sepertinya keberuntungan hari ini sedang tak berpihak padanya. Buktinya, ia malah tak bisa menghindar dari gadis bernama Zeta.  "Loh, ada Zeta," ujar Diana yang datang menghampiri. "Hai, Tante," balasnya ramah kemudian menghampiri Diana sambil mencium punggung tangan wanita itu. "Udah lama?" "Baru, sih." Farel beranjak dari posisi duduknya kemudian menyambar kunci mobil yang ada di meja.  "Kamu mau kemana, Rel?" Farel menghampiri Diana dengan wajah kesal dan malas. "Tante, lain kali kalau terjadi apa-apa padaku, pliss ... jangan hubungi dia," jelas Farel sambil menunjuk kearah Zeta. "Dia selalu membodohiku." Diana malah tertawa mendengar penuturan Farel. Jujur, ya ... ia sebenarnya berharap kalau Farel bisa dekat dengan Zeta, tapi tetap saja dia menolak. Apalagi yang ada di pikirannya kalau bukan Andine. Bukannya tak setuju, tapi ia hanya kasihan melihat keseharian Farel yang seolah tak ada warna hingga terkesan monoton. "Aku nggak membodohimu," komentar Zeta tak terima. "Iya, iya ... paham. Aku bodoh dan kamu pintar, begitu, kan?" Saking seringnya mengalami hal-hal seperti ini, dirinya sampai hapal apa yang akan dikatakan oleh Zeta selanjutnya.  Farel mencium tangan Diana untuk pamit. "Nanti Om sama Tante mau pergi, kamu nginep di sini, ya," suruh Diana. "Tante mau kemana? Kapan balik?" "Jangan bilang kalau kamu mau merengek-rengek minta ikut?" Farel menjitak kepala Zeta dengan sengaja. "Lu kira gue bocah 5 tahun," kesalnya. "Woahhh ... kata-kata lakhnat nya keluar," balas Zeta.  Farel hanya mengabaikan ocehan Zeta dan berlalu pergi. Kalau diladeni, urusan dengan gadis itu bisa panjang. Daripada itu terjadi, lebih baik menghindari. Keduanya menuju sebuah restoran menggunakan mobil masing-masing. Apalagi Farel, ia akan sangat menghindari berada dalam satu mobil dengan Zeta. Karena omongannya itu loh, nggak berhenti Hingga sampai ditujuan.  "Ayo, Rel," desak Zeta saat sampai di parkiran dan Farel malah memilih untuk menunggu di mobil saja dengan alasan sudah makan.  Akhirnya iapun turun dari mobil. "Aku nggak mau makan." "Ck, yaudah, kalau gitu temenin aja," komentar Zeta. "Males." "Kok gitu, sih?" Farel tak membalas lagi perkataan Zeta, karena apa? Pandangannya mengarah pada seseorang yang baru saja memasuki sebuah taksi. Jujur, ini bukan penglihatannya yang bermasalah. Langsung saja ia kembali masuk mobil dengan cepat tanpa menghiraukan Zeta yang memanggilnya.  Laju mobil semakin ia percepat di saat taksi yang menjadi tujuan utamanya mulai menjauh. Beberapa kali menghilang dari pandangannya, tapi saat ada kesempatan, ia langsung memepet taksi itu hingga berhenti.  Segera keluar dari mobil dan melangkah cepat menuju taksi tersebut. "Buka pintunya!" bentak Farel pada penumpang yang ada di dalamnya. Tapi apa yang ia suruh, malah diabaikan begitu saja. Saat permintaannya tak digubris, ia bukan orang yang sabar akan hal itu. Tangannya mengepal dan dengan satu pukulan, kaca mobil langsung hancur. Ini tangannya baru juga diobati dan kini malah ditambah lagi lukanya.  Ia membuka pintu dan menarik lengan penumpang itu agar keluar dari dalam taksi meskipun menolak. Setelah itu ia berikan beberapa lembar uang seratus ribuan pada sopir taksi. Ya, setidaknya dengan itu bisa membuat dia pergi.  Pandangannya kini berfokus pada gadis yang kini ada dihadapannya, menatapnya dengan tatapan sendu. Tapi seolah tak berniat untuk mengeluarkan kata dari bibirnya. "Ternyata benar, ini kamu ... Andine," ujar Farel langsung saja memeluk Andine. Hanya beberapa saat adegan itu terjadi, tiba-tiba Andine mendorongnya agar segera melepaskan pelukan itu.  "Tolong jangan bersikap seperti ini lagi padaku," ujar Andine seolah menahan tangis. Ya, itu terdengar jelas dari nada suaranya yang sedikit tertahan.  Farel tertawa, tapi dengan ekspressi menahan sedih. "Kamu tiba-tiba pergi gitu aja, bahkan tanpa memberitahu siapapun termasuk aku. Tapi saat kini kamu kembali, justru malah bersikap seperti ini. Apa aku ada salah sama kamu?" Ia menggeleng menjawab pertanyaan Farel. Bahakan cairan bening itu kini menetes membasahi pipinya. Padahal sudah ia coba untuk menahan, tapi tak bisa. "Bapak nggak salah apa-apa, justru malah sebaliknya." "Aku nggak tahu masalah kamu dan aku nggak tahu apa yang kamu alami. Tapi asal kamu tahu, sikapmu udah berhasil bikin aku menderita berkepanjangan selama ini. Saat hatiku ku berikan padamu dan kamu malah pergi gitu aja." Andine menghapus bekas air mata di pipinya, kemudian tersenyum. "Aku begitu jahat, bukan?" "Aku juga tak sebodoh itu," balas Farel. "Apa kamu pikir dengan bersikap seperti ini akan membuatku akan berpikir kalau kamu benar-benar jahat? Enggak!"  Rasanya benar-benar tak tahan menghadapi perasaan yang menggerogoti hatinya saat berhadapan dengan Farel. Ia memang tak pernah mengatakan kalau dirinya mencintai Farel, tapi semua orang juga bakalan tahu apa yang sedang ia rasakan.  Andine berbalik badan dan melangkah pergi berlalu dari hadapan Farel. Mungkin, menghindar adalah hal yang paling tepat ia lakukan. "Andine, aku belum selesai bicara!" Dengan cepat ia menyusul dan menyambar tangan gadis itu hingga berbalik menimpa tubuhnya. Iya, kini Andine ada dalam dekapannya.  "Ku mohon, biarin aku pergi," bisiknya. "Kehilangan sesuatu yang berharga, dan saat ditemukan apa mungkin akan ku biarkan hilang lagi? Itu sesuatu yang mustahil," balas Farel dengan tatapan tajamnya. Ia membawa Andine ke dalam mobilnya, meskipun gadis itu tetap menolak. Anggaplah kali ini ia terlihat kasar, tapi jujur ... ia nggak mau lagi kalau sampai gadis yang dicintainya pergi lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD