BAB : 4

1310 Words
Andine meminta agar Farel segera menurunkannya, tapi permintaannya tak direspon oleh Farel sedikitpun.  "Pak, tolong turunkan aku," pinta Andine. "Enggak mau, kan, kalau Bapak dituduh atas penculikan calon istri orang lain?" Dari tadi perkataannya seolah tak dihiraukan, tapi sekarang secara tiba-tiba Farel menghentikan laju mobilnya dan memandang tajam kearah Andine dengan tangan mencengkeram setir. Andine menarik napasnya dalam sebelum mengeluarkan kata-katanya.  "Pak Farel ... ku mohon jangan bersikap seperti padaku. Ini nggak benar." "Salahnya dibagian mana? Katakan padaku!" "Sikapmu salah padaku." Farel tak membalas lagi perkataan Andine. Ia kembali menyalakan mesin mobilnya dan melanjutkan perjalanan, meskipun gadis itu terus meminta agar segera diturunkan.  Sampai di halaman rumahnya, ia segera membawa Andine keluar dari mobil dan memaksanya untuk masuk ke dalam rumah. Sampai di ruang keluarga ia dorong gadis itu hingga terduduk di sebuah sofa.  "Bapak mau ngapain, sih, sebenarnya?" Farel dengan cepat menindih Andine dan mengunci kedua lengannya agar tak bisa kemana-mana.  "Harusnya kamu menyadari kalau aku menempatkanmu di hatiku, tapi kenapa malah pergi? Kenapa malah meninggalkanku di saat aku merasakan itu? Tak bisakah mengasihaniku sedikitpun? Apa aku terlalu buruk untukmu?" Bukan kesal dengan sikap Farel, hanya saja ia begitu sulit mengendalikan hati dan perasaannya kini. Berhadapan dengan Farel, benar-benar membuatnya seolah langsung terperosok ke dalam rasanya. Bahkan ia begitu sulit menahan tangannya untuk tak memeluk cowok ini. Jujur, ia merindukannya. Andine menggeleng. "Sudah ku katakan, bukan. Yang salah di sini adalah aku, bukan Bapak." "Tolong jelaskan padaku. Kenapa begini? Kenapa membuatku menderita dengan perasaanku sendiri dalam waktu yang lama. Apa kamu memang sengaja mempermainkanku?" Andine memejamkan kedua matanya. Ia menahan isaknya. Berada dalam kebingungan, antara mau berkata jujur atau justru membuat Farel terus menyalahkan dirinya sendiri.  "Aku nggak bermaksud mempermainkanmu, sungguh. Ini semua di luar keinginanku. Aku tak bisa menghentikannya terjadi. Aku hanya seorang anak yang memang diharuskan untuk mengikuti keinginan orang tuaku." Perkataan Andine membingungkan bagi Farel.  Farel melespaskan Andine dari cengkeramannya. "Jangan berbelit-belit. Aku tak suka itu," komentarnya. Andine duduk berhadap-hadapan dengan Farel. "Pak Farel, aku nggak pernah ada niat untuk mempermainkanmu," ujarnya menyentuh pipi Farel. "Apa yang kamu rasakan, itu juga yang ku rasakan. Aku mencintaimu, benar-benar mencintaimu. Ini rasa tulus yang ada di hatiku buatmu." Sebelumnya, Andine tak pernah jujur dengan perasaannya. Tentu saja saat itu dia ungkapkan, sontak membuat jantung Farel seakan berdetak lebih cepat.  "Lalu apa yang membuatmu menjauh?" Air mata Andine menetes begitu saja, melihat itu, Farel dengan cepat menghapus dengan jarinya. "Jangan menangis," pinta Farel.  Gadis mana, sih, yang nggak suka dengan cowok sejenis Farel? Memang, dia terlihat begitu kejam dan terkesan emosian. Tapi balik lagi, sikapnya hanya mengikuti kondisi hatinya. Ia bisa emosi, itupun jika tersulut.  "Orang tuaku, mereka bercerai," ujar Andine memulai penjelasannya.  "Apa?"  Setahunya, Andine memang hanya tinggal bersama asisten rumah tangganya karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Makanya, ia juga tak pernah melihat ataupun bertemu dengan mereka. "Iya, aku nggak tahu masalah awalnya apa. Tapi belakangan ku ketahui ternyata Papa punya wanita simpanan. Hingga suatu hari aku lihat dengan mata kepalaku sendiri." Farel merasakan tangan Andine yang berada dalam genggamannya sedikit mengerat, seolah menahan emosinya.  "Aku bingung harus memilih siapa yang harus ku ikuti. Papaku atau justru mamaku? Ingin mandiri, aku hanya seorang anak SMA yang nggak tahu apa-apa dan belum mengerti tentang kejamnya dunia," jelasnya menahan isak.  Farel membawa Andine ke pelukannya. Ia yakin, kalau gadis membutuhkan tempat bersandar untuk meluapkan keluh dan kesahnya.  "Pilihannya begitu sulit, hingga akhirnya aku memilih ikut bersama mama. Lagian, aku juga nggak sudi bersama papa yang pada kenyatannya adalah salah." "Kenapa tak menjadikan aku sebagai pilihanmu?" Mendengar pertanyaan itu, Andine berniat melepaskan diri dari pelukan Farel, tapi tak bisa karena ditahan. "Apa aku nggak begitu meyakinkan untuk bisa bertanggung jawab atasmu? Atau, karena kamu memang sudah punya pilihan yang lain? Laki-laki yang kemarin?" Andine yang tadinya tak membalas sikap Farel, tapi kini ia benar-benar tak bisa menahan hatinya lagi. Perlahan, kedua tangannya mulai melingkar di pinggang Farel.  "Dia bukan pilihanku, tapi pilihan mamaku. Aku nggak bisa menolaknya," ungkap Andine sambil menangis dipelukan Farel. "Tapi setidaknya kamu bisa mengutarakan pilihanmu. Kalau bukan aku, bisa yang lain ... dapatkan yang jauh lebih baik dari dia ataupun aku. Aku tak suka sikap kasarnya padamu, aku tak suka saat dia menyentuhmu, aku tak suka ketika dia mengatakanmu sebagai calon istrinya," jelasnya mengungkapkan.  Jangankan Farel yang melihat, ia yang menerima perlakuan seperti itu saja rasanya nggak rela. Disentuh oleh laki-laki yang tak disukai dan diperlakukan kasar. Tapi ia bisa apa? Memberontak? Sepertinya tak bisa. "Papa mencabut semua fasilitas kehidupanku dan mama. Untuk itu mama memintaku untuk membantu agar kehidupan kami bisa normal kembali. Salah satunya, aku harus menikah dengan dia." "Jadi, semua karena uang?" Andine melepaskan diri dari Farel, kemudian menghapus bekas air mata di pipinya. Ia tak bisa terus seperti ini. Hubungannya dan Farel ... anggap saja sebagai salah satu kisah yang tak bisa ia lupakan sampai kapanpun.  Ia mengamit kedua tangan Farel. "Mulai sekarang, jangan mengharapkanku lagi, ya. Meskipun rasa kita sama, tapi justru kita yang nggak akan pernah bisa bersama sampai kapanpun." "Nggak akan ku biarkan itu terjadi!" "Tapi itulah yang memang harus terjadi. Kita nggak bisa mengelak dari alur kehidupan yang sudah ditetapkan pencipta. Aku tau banyak wanita yang mengharapkanmu. Dan aku tau, kalau kamu akan mudah melupakanku jika sudah mendapatkan penggantiku di hatimu." Farel melepaskan pegangan tangan Andine di tangannya dan beranjak dari posisi duduknya. Kemudian tersenyum miris. "Kamu pikir hatiku terbuat dari apa ... yang dengan mudahnya bisa mempersilahkan siapapun untuk menetap. Kalau aku tak menghendakinya, tetap saja tak akan bertahan dan akan ku lempar keluar." "Maka dari itu, tolong buka hatimu untuk wanita lain," pinta Andine berdiri dihadapan Farel. "Sepertinya di sini bukan tentang kita, tapi tentang hanya rasaku yang merasa tersakiti, tidak denganmu," pikir Farel.  "Kenapa Bapak berpikir seperti itu?" "Karena hanya aku yang seolah berjuang, tapi tidak denganmu." Andine menundukkan kepalanya. "Iya, anggap saja seperti itu jika bisa membuatmu bisa melepaskanku," jelasnya sambil mengumbar senyuman.  "Kamu keterlaluan!" "Iya." Farel merutuki dirinya sendiri saat mendengar perkataan Andine yang seolah pasrah pada keadaan.  "Sekarang, mulailah membenciku, menghapus tentang aku di pemikiranmu dan juga hatimu. Karena aku ... bukan untukmu. Aku bukan untukmu, Pak Farel," jelasnya seolah menekankan perkataannya dengan tangis yang tertahan. Setelah mengatakan hal itu, Andine berbalik badan dan berlalu pergi dari hadapan Farel. Jangan ditanya lagi seperti apa kehancuran yang dialami hatinya saat ini. Bahkan kalau boleh memilih, ia ingin mengalami amnesia.  "Pliss ... jangan pergi," ujar Farel berharap. Tapi sepertinya Andine tak menghiraukan permintaan Farel. Meskipun sejujurnya ia ingin kembali ke pelukan cowok itu, tapi ia sadar akan keinginan mamanya. "Kamu nggak boleh pergi lagi dariku ... nggak boleh!"  Farel mengejar Andine yang saat itu sudah berada di teras depan. Dengan cepat ia menyambar pergelangan tangan gadis itu dan menarik ke pelukannya. "Katakan padaku apa yang harus ku lakukan agar kamu terus bisa bersamaku? Katakan, Andine."  Anggaplah ia begitu cengeng karena mengeluarkan air mata. Tapi memang begitulah nyatanya ... ia benar-benar cengeng.  "Apa aku harus membunuh laki-laki itu agar kamu bisa terbebas? Atau, apa aku harus menculikmu dari mamamu? Katakan padaku ... katakan bagaiman caranya," isaknya. "Jangan melakukan apapun yang membuatmu salah, jangan lakukan itu." "Tapi aku mau sama kamu, Ndine. Bukan yang lain," balas Farel. Andine melepaskan diri dari pelukan Farel, kemudian menangkup wajahnya. "Jangan melakukan apapun juga. Bisa, kan?" Farel menggeleng menjawab pertanyaan Andine.  "Anggap ini adalah pertemuan terakhir kita. Jangan mengharapkan dan mencariku lagi. Percuma. Aku berterima kasih karena kamu pernah memberi warna dalam kehidupanku meskipun akhirnya kita nggak bisa bersama. Tenang, aku pastikan kamu berada di tempat terkhusus di hatiku," jelas Andine dengan senyuman. Tangannya yang tadinya menangkup wajah Farel, kini beralih ke tengkuk cowok itu. Kemudian menarik agar semakin mendekat dan mensejajarkan dengan tingginya.  Matanya terpejam, saat bibirnya menyentuh bibir Farel. Hanya sesaat, hingga akhirnya ciuman itu ia lepaskan.  "Anggaplah ini salam perpisahan dariku," ucap Andine melepaskan rengkulan tangan Farel yang melingkar di pinggangnya. Tersenyum, kemudian berlalu pergi meninggalkan Farel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD