e p i s o d e : 02

1567 Words
Pada akhirnya Arumi terus memastikan bahwa Dalan akan datang di kencan nanti sore. Wanita nenek sihir itu bahkan sampai meminta pada Rayhan yang sangat pro dengannya, untuk terus mengawasi dan mengingatkan Dalan atas kencannya. Dan pria itu tentu saja mau, tidak ada penolakan apa pun bahkan. "Inget, lo jam tiga ada kencan. Jangan cari alasan pakai cara apa pun karena, semuanya udah gue beresin." Ini sudah kali ke ... entah sudah ke berapa kalinya Rayhan berucap seperti itu. Dalan sampai merotasikan matanya, sudah lelah untuk menjawab tidak. Dengan begitu banyak pekerjaan yang harus Dalan tangani, pria itu tidak akan pernah bisa meninggalkan kantor hanya untuk kencan. Dia tidak punya ketertarikan selain pada kertas-kertas kerjanya. Dalan mungkin sudah cinta mati dengan pekerjaannya, dan mengurusi hal-hal merepotkan seperti perempuan, bukan keahlian Dalan. Untuk apa melakukan sesuatu tidak penting seperti itu? Perempuan hanya akan merengek saat permintaan mereka tidak terpenuhi, bayi. Dalan mungkin berpikir terlalu kejam tapi, memang begitu adanya para perempuan yang selama ini dekat dengan dia. Entah mereka terlalu manja sampai Dalan tidak bisa fokus dengan pekerjaannya. Atau para perempuan itu yang terlalu possessive padanya, sampai-sampai meminta Dalan untuk terus memberi kabar setiap menitnya. Dalan itu pria dengan jiwa bebas, dengan pikiran yang diatur untuk bekerja dan terus bekerja. Pikirannya belum sampai pada rencana menjalin sebuah hubungan dengan perempuan mana pun atau dengan siapa pun. Apalagi pikiran untuk menikah, jangan harap Dalan memilikinya. Pria itu bahkan tidak bisa membayangkan akan menjadi seorang bapak-bapak dengan anak dan istri. Pemikiran itu terlalu jauh untukku, jangan coba-coba untuk membayangkannya, hal yang selalu Dalan ucapkan saat orang tuanya atau Arumi mulai bertanya tentang calon pasangannya. "Lan, dah jam tiga. Lo harus ke kafe yang Arumi bilang tadi. Deket kok jaraknya dari kantor." Rayhan menyembulkan kepala dari balik pintu. Melihat atasannya yang masih menatap tumpukan berkas dan layar laptopnya secara bergantian. "Lan," panggil Rayhan sekali lagi. Melihat Dalan tetap tidak memberikan respon baik, Rayhan memilih masuk dan menutup layar laptop Dalan secara tiba-tiba. Masa bodo dengan catatan di dalamnya, nanti minta anak IT buat mulihin. "Rayhan!" seru Dalan tidak senang saat jam kerjanya diganggu seperti itu. Apalagi diganggu untuk alasan yang tidak berguna. "Keluar dari ruangan saya." Harusnya Rayhan segera keluar saat itu juga, bukannya malah menatap balik Dalan dengan berani. Padahal Rayhan sudah merinding mendengar nada bicara Dalan yang tiba-tiba rendah seperti itu, ditambah dengan cara bicara Dalan yang mulai formal. Belajar dari pengalaman, Dalan pasti sudah masuk mode marah dan kesal sekarang. Harusnya Rayhan kabur dengan cepat tapi, pria itu malah menggantungkan lehernya pada tali gantung. "Ke kafe yang Arumi pesan, sekarang! Kasian temannya Arumi pasti udah nungguin lo. Mending lo beres-beres, tampil ganteng, dan terbang ke sana. Gue yakin yang kali ini pasti sesuai sama tipe lo." "Kamu dan perintah gila lagi. Kamu tahu kan, sudah berapa kali Arumi melakukan hal tidak berguna ini? Aku lelah dan aku tidak mau. Sekarang, biarkan aku bekerja." Dalan menatap balik ke arah Rayhan dengan tatapan tajam menusuknya. Dia tidak bisa menyerah begitu mudah seperti sebelum-sebelumnya. "Lan, gue serius. Berhenti kerja, lo harus keluar. Lo nggak capek sendirian terus selama dua puluh delapan tahun?" "Aku pernah berpacaran beberapa kali saat SMA dan kuliah, dan semua itu tidak berguna. Berhenti membuang-buang waktu saya, Rayhan." Rayhan tidak punya pilihan lain. Dia menarik kerah kemeja Dalan kuat hingga pria itu sedikit mendongak dan wajah mereka terlihat begitu dekat. "Gue bilangㅡ" "Permisi, Pak Dalan, adaㅡ" Perkataan itu tidak selesai karena, pegawai yang baru saja datang terlihat begitu terkejut dengan apa yang dia lihat. "Oh, uh, ma-maaf, Pak! Saya sudah mengganggu waktu kalian." Dengan cepat pegawai tersebut menutup pintu ruangan dengan wajah memerah dan kabur. Membuat Rayhan segera melepas cengkeramannya pada kemeja Dalan dan langsung menyesal. "Dia kenapa?" Sedangkan Dalan terlihat begitu tidak peduli dan terlihat tetap tenang. CEO yang satu itu memang tidak tahu dengan banyak gosip yang beredar di kalangan para pegawai. Banyak sekali gosip tentang dirinya dan seputar asmaranya. Bahkan yang paling parah adalah bahwa Dalan penyuka sesama jenis. Tapi, berita itu tidak berhembus terlalu kencang karena Dalan memang tidak pernah terlihat dekat dengan pria mana pun. Namun, Rayhan yakin sekarang gosip itu akan lebih terdengar paling unggul daripada yang lain. Posisi mereka tadi, seperti sebuah pasangan yang akan saling berciuman. "Anjir, ancur reputasi gue. Pasti nggak ada lagi cewek-cewek yang mau sama gue," ucap Rayhan histeris dengan menutupi wajahnya. Semakin membuat Dalan tidak mengerti. Tapi, toh, itu bukan urusan Dalan, selama Rayhan teralihkan maka Dalan bisa bekerja dengan tenang. Pria itu hanya mengangkat sedikit alis sebelum kembali membuka laptopnya. "Tenang Rayhan, tenang. Calm, lo ganteng, jadi tinggal tunjuk aja. Banyak cewek di luar sana Han, santai ... santai. Jangan stres dulu." Sedangkan Rayhan masih mencoba untuk menenangkan diri, Dalan sudah kembali tenggelam dalam dunianya. Sadar akan Dalan yang sudah kembali tidak terdengar suaranya, Rayhan melihat ke arah pria itu. "Heh! Kenapa lo masih ada di sini? Sana ke kafe." Rayhan kembali mengacaukan konsentrasi Dalan. "Kalau kamu yang ingin pergi ke kafe, silahkan aku tidak pernah melarang. Asal pekerjaanmu sudah selesai sepenuhnya." "Lan, lo pilih gue yang nyuruh atau Arumi? Gue bisa bilang sama Arumi sekarang kalau lo nggak mau datang ke sana, biar Arumi langsung nggak kasih lo pekerjaan." Mendengar ancaman Rayhan, Dalan hanya bisa menghembuskan napa lelah. Ancaman ini selalu berhasil karena, Dalan sudah mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk bekerja. Karena, tidak ada hal yang lebih berguna lagi selain bekerja. Sudah cukup saat waktu itu saja Dalan membuat papa dan mamanya kecewa, Dalan tidak mau harus terulang kembaliㅡkecuali itu soal pasangan, Dalan akan angkat tangan untuk hal itu. "Oke. Aku akan pergi sekarang. Tapi, aku mau berkas biru itu sudah selesai di cek dan segera kamu kirimkan ke Arumi. Jangan lupa untuk melihat dan membalas email balasan dari Lilac Group." "Serahin aja sama gue." "Aku pergi dulu." Dalan merapikan kemeja dan jasnya, mengambil kunci mobil, ponsel, dan dompetnya sebelum keluar ruangan. "Have fun!" *** "Hah, kenapa aku harus pergi ke tempat ini? Apa yang kamu harapkan Dalan? Perempuan itu pasti juga sama dengan yang sebelum-sebelumnya." Dalan menggerutu sendiri di dalam mobil. Merasa begitu bodoh karena mau saja pergi ke tempat kencan butanya itu. Dalan ada niatan untuk kabur tapi urung dia lakukan karena, Dalan tahu perempuan itu akan melapor pada Arumi. Dan wanita nenek sihir itu pasti akan menggiling Dalan dengan segala omelannya dan meliburkan Dalan dari pekerjaannya. "Kenapa aku harus hidup dalam keluarga yang terlalu menyebalkan? Padahal Arumi juga belum menikah dan tidak terlihat dekat dengan seseorang juga. Bukannya mereka harus mengkhawatirkan Arumi terlebih dahulu? Kenapa hanya aku yang ditekan untuk segera memiliki seorang pasangan?" Dalan memang tidak suka dengan perlakuan tidak adil yang selama ini selalu ditekankan padanya. Bahawa dia harus segera menikah. Keluarga besar papanya memang seaneh itu, kalau biasanya anak perempuan yang selalu didorong untuk segera menikah, kali ini akan terdengar berbeda. Di keluarga Adjiesucipto seorang laki-laki yang didorong terlebih dahulu. Beberapa orang tua di sana beranggapan bahwa pria yang sudah melewati umur dua puluh lima tahun adalah pria tua yang seharusnya sudah memiliki anak. Dalan tidak sepaham dengan hal tersebut. Tidak ada hubungan antara umur dengan pernikahan. Yang berhubungan dengan pernikahan adalah kesiapan mental dan finansial seseorang, bukan umur. "Ck, nggak tahu. Aku tidak peduli, lebih baik selesaikan kencan tidak berguna ini dengan cepat." Dalan segera turun dari mobil, melipat lengan kemejanya hingga siku dan memakai kacamata hitamnya. Sore ini begitu terik hingga dia harus menggunakan kacamata yang sudah lama tidak ia sentuh itu. Dalan tidak sadar bahwa dirinya menjadi sorotan, ada banyak pasang mata yang mengikuti setiap langkahnya sampai masuk ke dalam kafe. Ada lebih banyak pasang mata perempuan yang melihat Dalan dengan pandangan terkesima. Pria itu begitu menawan dan panas dengan segala otot biseps, d**a yang bidang, dan punggung yang tegap. Apalagi, paras Dalan bukan kaleng-kaleng. Pria itu bagai setetes air dalam sahara yang tandus. "Di mana perempuan yang Arumi suruh?" Dalan menengok ke kanan dan ke kiri, mencari kiranya di mana wanita itu berada. "Apa aku telat?" Dalan langsung menatap pada smartwatch miliknya. "Ini bahkan belum pukul tiga. Apa harus ku tunggu atau kembali saja?" Pada akhirnya Dalan memutuskan untuk menunggu. Dengan memesan satu ice americano, Dalan mengambil tempat dekat jendela. Dia melihat keluar, ke arah jalanan yang padat merayap. Selama menunggu, ingatannya berputar pada hal-hal yang buram. Hal-hal yang selalu membuat Dalan tidak mengerti dengan alasan ingatan-ingatan itu harus kembali. "Kalau sudah terhapus, lebih baik tidak perlu kembali. Untuk apa? Buang-buang waktu," gumam Dalan dengan meminum seteguk kopinya. Merasakan pahit yang mengalir dalam kerongkongannya. Memang lebih menyenangkan greentea. Hm, mint juga lebih menyegarkan. "Anu, permisi." Seorang gadis terlihat datang pada Dalan dengan wajah merah merona dan pancaran mata yang sedikit serius. "Ya?" Respons dingin Dalan bukan membuat nyali gadis itu ciut. Sebaliknya, gadis itu semakin bersemangat untuk menjalankan aksinya. "Apa aku boleh minta nomor telepon kamu? ID Instakilo atau sosial media yang lain juga boleh." Hah? "Maaf, saya tidak bisa." "Kenapa? Aku kurang good looking ya, Mas?" Mas?, Dalan semakin tidak mengerti dengan tingkah laku manusia zaman sekarang. Terlalu aneh untuknya. "Maaf, Mbak. Saya tidak bisa memberikan informasi pribadi saya pada siapa pun, itu sifatnya privasi. Saya tidak kenal anda dan anda juga tidak kenal saya." "Kalau gitu, ayo kenalan!" Gadis itu mengulurkan tangannya. Dalan hanya melihat tangan itu, tidak berniat sama sekali untuk menggapainya. Sampai gadis itu tidak sabar dan menarik tangan Dalan. Membuat Dalan merasakan sesuatu yang lain. Ada yang familiar di sana. "Kenalin! Calla, Calla November."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD