e p i s o d e : 01

1648 Words
"Permisi, Pak. Berkas laporan keuangan bulan ini sudah selesai." Seorang gadis cantik terlihat memasuki ruangan atasannya dengan wajah merona. Bagaimana tidak, atasannya yang masih berumur dua puluh delapan tahun terlihat sangat luar biasa. Tampan, panas, dan sukses, masih jomlo pula. Siapa yang tidak tertarik dengan pria semacam itu? Semua wanita jelas melihatnya sebagai target yang empuk. Tidak peduli apakah mereka akan mendapat cintanya atau tidak, yang pasti mereka akan mendapat uangnya jika berhasil bersama dengan pria itu. "Taruh di meja saya." Sayang sekali, pria ini begitu dingin. Begitu kaku untuk urusan yang tidak penting, itu artinya urusan di luar pekerjaan. Ardalan Setala Adjiesucipto, tidak pernah tertarik untuk memiliki hubungan dengan siapa pun saat ini. Pria itu terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan di kantor cabang, yang rasanya sama menggunungnya dengan kantor pusat. "Kenapa Arumi harus ngelimpahin semuanya ke aku?". Kira-kira begitu gerutuan yang sering Dalanㅡnama panggilannyaㅡucapkan. Maka dengan waktu bekerjanya yang dia anggap tidak normal, Dalan tidak sempat untuk melirik seorang perempuan. Kencan buta yang sering Arumiㅡsepupu, sekaligus penanggung jawab kantor pusat saat iniㅡjadwalkan untuknya saja, tidak pernah Dalan gubris. Pria itu lebih suka menyelesaikan pekerjaannya yang menggunung. Bertumpuk-tumpuk, tiada habis. Namun, hal ini justru membuat para wanita itu semakin mengerubungi Dalan seperti semut menemukan gula. "Ada apa?" Dalan mengangkat pandangan, manik matanya yang hitam cemerlang menatap datar ke arah pegawainya. Gadis itu menjadi lebih merona, hampir mirip dengan tomat rebus sekarang. Malu karena ditatap sedemikian rupa oleh pria tampan. "T-tidak, Pak. Mohon maaf, saya permisi dulu." Dalan hanya mengangguk singkat dan kembali pada pekerjaannya. Tidak tahu kalau pekerjanya itu sudah oleng di depan pintu ruang kerjanya. Selalu seperti itu. Bagi staf perempuan yang datang ke ruang kerja Dalan, selalu berakhir keluar dengan oleng. Seperti tidak memiliki pegangan. Atau mereka tiba-tiba berteriak tidak jelas, seperti orang gila. Pengaruh Dalan memang sebesar itu. Maklum saja, Dalan memang memiliki wajah yang tidak rasional. Rasanya Tuhan sungguh tidak adil saat membuat wajah Dalan. Rasanya seperti pahatan Tuhan. Begitu indah, tegas, dan menakjubkan. Dalan semakin terlihat memabukkan. Dan pria itu tetap tidak sadar dengan potensinya. "Mas Dalan!" Suara yang terdengar merajuk dan bantingan pintu, tidak membuat Dalan kehilangan fokus atas pekerjaannya. Pria itu bahkan tidak melihat siapa kiranya yang datang dengan tidak sopan ke dalam ruang kerjanya. Kuncinya hanya satu, Dalan sudah sering mendapat perlakuan seperti itu. Jadi, dia tidak perlu merasa terkejut atau apa pun lagi. Terus fokus pada pekerjaan agar segalanya dapat selesai dengan cepat. "Duh, Mas! Ini tuh lagi jam makan siang. Ngopi kek, apa kek gitu. Jangan ngantor aja, ngantor mulu. Apa nggak capek ngelihat dokumen? Iya, kalau punya sekretaris cantik nan aduhai gitu, wajar suka dekem di kantor. Lah ini, udah sekretarisnya cowok sebelas dua belas lagi sama Mas Dalan lagi." "Mas!" "Apa? Kalau mau ngomel di tempat Arumi saja, kantorku terlalu bagus." "Ck, aku ke sini juga kalau bukan diancam Mbak Arumi soal makan malam juga, nggak akan mau. Ngapain ke tempat macem kutub utara gini? Brrr ... ogah banget." "Ya sudah, cepat katakan apa yang Arumi suruh." "Dih, dingin banget sih." "Fabian." Orang bernama Fabian yang tadi datang dengan seenaknya dan tanpa sopan santun itu, hanya bisa mengerucutkan bibir kesal dan segera membuka tas punggungnya. Dalan melirik sekilas, melihat gaya Fabian yang hari ini mengenakan kemeja hijau army dengan lengan yang sudah terlipat sampai siku. Dipadu dengan celana bahan kain warna cokelat dan sepatu kets putih kesayangannya. Terlihat lebih rapi daripada biasanya. Dalan juga sadar atas wangi harum yang menguar dari tubuh di depannya itu. "Kamu baru selesai bimbingan?" Dalan bertanya, menebak dengan benar. "Hah? Kok Mas Dalan bisa tahu? Mbak Arumi diam-diam kasih jadwal aku ke Mas Dalan, ya?" "Untuk apa? Tidak ada gunanya." Fabian ingin menangis sekarang. Tahu, Dalan memang bukan membicarakan hidupnya tapi, jadwal bimbingannya. Tapi, tetap saja, menyakitkan. Rasanya hidup Fabian yang jadi tidak berguna. Kalau saja dia tidak ingat dengan fakta bahwa Dalan adalah orang yang cuek dan memiliki kuasa besar, mungkin sekarang Fabian akan mengacak-acak wajah pria itu. Lihat, bagaimana tampang Dalan tetap datar dan tidak peduli. Lihat, bagaimana Dalan tetap mengerjakan pekerjaannya dan kembali tidak menghiraukan Fabian. Merasa Fabian hanya menatapnya terus-menerus, Dalan jadi terusik. "Jadi, ada apa Fabian?" "Eh, iya, Mas. Itu, kata Mbak Arumi, Mas Dalan harus datang ke ulang tahun Eyang Putri tahun ini. Kalau nggak datang, Mbak Arumi langsung yang bakal seret Masnya. Oh ya, jangan lupa bawa pendamping." Dengan sikap tegap sempurna dan jari telunjuk kanan terangkat, Fabian mengatakan pesan dari Arumiㅡkakak kandungnya. Sesuai dengan gaya perempuan itu saat mengatakannya pada Fabian. "Oh, aku datang kalau pekerjaan sudah selesai." Dalan langsung kembali fokus pada tumpukan berkasnya lagi. Fabian menjadi semakin gemas. Kali ini laki-laki itu benar-benar menggebrak meja saking gemasnya. "Astaga, Mas! Mas itu harus datang, bukannya kalau-pekerjaan-sudah-selesai!" "Aku tidak punya banyak waktu luang untuk mengurus hal-hal seperti itu. Bilang saja begitu pada Arumi." "Argh! Terserah, Mas, deh. Yang penting aku udah sampaikan pesannya Mbak, kalau Mbak marah bukan tanggung jawabku." Fabian angkat tangan ke udara. Menyerah dengan tingkah laku Dalan yang bisa-bisanya tetap seperti itu pada keluarganya sendiri. "Kamu yang tanggung jawabku, Fabian." Anjir, ini orang ya. Fabian memilih untuk segera keluar dari tempat itu. Ruang kerja Dalan adalah tempat terkutuk bagi Fabian. Selain karena respon Dalan yang minim, dia tidak suka melihat tumpukan berkas yang menggunung itu. Sebenarnya tugas Dalan tidak sebanyak itu, semua tumpukan berkas-berkas itu datang dari anak cabang yang lain. Dalan memang selalu mengecek semua berkas dari perusahaan cabang yang lain sebelum, diteruskan pada Arumi pada perusahaan pusat. "Lan, waktunya kantor tutup. Lo masih mau nyangkut di sini?" Pintu terbuka dan menampilkan sedikit tubuh dari seorang laki-laki dengan kemeja cokelat susunya. Itu sekretarisnya yang juga teman kuliah Dalan dulu. Melihat ke belakang, pada jendela yang ditutup tirai tipis. Dalan tidak menyangka perputaran waktu begitu cepat. "Udah malam?" Pantas lampu udah nyala. "Menurut lo?" Sekretarisnya bertanya balik. Kini pria itu sudah masuk seutuhnya ke dalam ruang kerja Dalan. Berkacak pinggang dan menatap garang pada Dalan. Tidak bisa berimajinasi tentang cara bekerja Dalan yang terlalu fokus. "Ya udah, pulang saja. Masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Bilang saja pada satpam di bawah, masih ada aku di sini." "Lan, lo gila kerja banget sih. Itu kan kerjaan buat bulan depan." "Semuanya harus selesai sekarang, bulan depan aku harus kosongkan jadwal di minggu kedua." Sekretarisnya langsung membuka ponselnya melihat tanggal untuk mencatat saat akhirnya mengerti kenapa Dalan meminta pengosongan jadwal di minggu itu. "Oh, ulang tahunnya Oma." "Eyang Putri," koreksi Dalan cepat. "Iya, iya, ultah Eyang putri." "Ya sudah, kamu pergi sana. Berhenti menjadi pengganggu." "Ck, tajam seperti biasa." Sekretaris itu segera keluar dari ruang kerja Dalan, membiarkan pria itu sibuk dengan urusannya sendiri. Sedangkan, Dalan tetap tidak peduli dengan sekretarisnya itu. Meskipun, telinganya sedikit geli kala mendengar gerutuan sekretarisnya. Sampai-sampai Dalan jadi ikut bergumam juga. "Memangnya aku workaholic? Sepertinya tidak. Aku kan bekerja sesuai waktu." *** "Dalan bangun!" Astaga, gumam Dalan dalam hati. Matanya sakit sekali saat sinar silau tiba-tiba tertangkap, menusuk masuk ke dalam retinanya. Pria itu mengerang sedikit, mengusap mata, dan menguap sejenak, sebelum melihat siapa yang sudah mengganggunya sepagi ini. Seingat Dalan, dia tidak ada jadwal menanti pagi ini. Semua rapat sudah Rayhan pindahkan setelah makan siang. Kantor juga baru buka jam delapan. "Kenapa lo malah malas-malasan sih? Nggak sadar ini sudah jam berapa?" Suara tinggi melengking bagai nenek sihir, Dalan langsung memberikan 'oh' kecil dalam hati. Matanya segera melirik ke arah jam digital di atas nakas. Kembali bergumam kesal di dalam hati saat jamnya belum menunjukkan waktu yang terlambat, bahkan jamnya belum berbunyi. Padahal waktu yang Dalan atur untuk terbangun sudah terbilang pagi. "Mau apa kamu ke sini, Rum?" "Heh! Sopan santunnya mana? Gue lebih tua dua tahun dari lo, ya. Jangan seenaknya panggil nama." "Berlagak senior seperti biasa. Apa kamu nggak terlalu senioritas? Lagi pula hanya beda dua tahun." Dalan menyugar helaian rambut hitamnya yang kusut. Berjalan ke arah kamar mandi. Sedangkan, Arumi masih mondar-mandir di dalam kamar Dalan. Membuka seluruh tirai dan melakukan hal-hal aneh lainnya. Dalan tidak peduli, terserah Arumi ingin bagaimana. "Bukannya gue berlagak senior tapi, emang nyatanya gue senior lo. Di sekolah juga gitu. Inget ya, sadar diri. Gue juga atasan lo di pusat ya. Jangan macem-macem lo." Suara shower terdengar, Arumi pun sudah tahu suaranya tidak akan terdengar jelas. Tapi tetap saja, Arumi mengomel ini dan itu sampai Dalan selesai dengan mandinya dan terlihat jauh lebih segar sekarang. Dalan sudah rapi dengan kaus polo lengan panjang berwarna hijau dan celana olahraganya yang berwarna biru gelap. Dirinya bergerak ke arah meja kerja, mengambil kacamata minusnya dan menatap Arumi yang kini sudah duduk pada kursi kerjanya. "Jadi, kenapa?" "Lo ada kencan hari ini." "Arumi, berapa kali aku bilang, aku tidak mau ikut kencan yang kamu rencanakan lagi. Kencanmu selalu mengerikan." Dalan mengambil laptopnya, bergerak menuju sofa sudut dan mengecek beberapa email yang belum sempat dia balas kemarin. Dalan tertarik pada sebuah email pengajuan kerja sama. Ide yang diberikan terdengar menarik dan mungkin akan menghasilkan untung yang banyak. Hanya tinggal bagaimana mereka mempresentasikannya saja. "Halo, Rayhan. Jadwalkan pertemuan dengan Lilac Group untuk minggu depan." "Hah? Lo ngelindur? Ini masih jam enam pagi, jangan gila. Gue aja masih baru bangun. Masalah kantor dibicarain di kantor aja." Suara serak yang berteriak di ujung sana membuat Dalan harus menjauhkan ponselnya dari telinga. Yang mana membuat Arumi mengambil alih. "Heh, Ray! Atur ulang jadwal Dalan hari ini, dia ada kencan lagi sama temen gue ntar siang sekitar jam tiga sore gitu." "Oh, Bos Arum. Oke, Bos, siap. Sering-sering aja, Bos. Biar Dalan nggak ngedekem di kantor doang. Pusing gue." Dalan hanya menatap Arumi yang sengaja me-load speaker percakapannya dengan Rayhanㅡserkretaris Dalan. Dia tidak tertarik dengan kencan itu, sama sekali tidak. Seperti yang Dalan katakan, kebanyakan teman-teman Arumi tidak pernah cocok dengan Dalan dan malah membuatnya merasa tidak nyaman. Obrolan mereka juga jarang bisa satu frekuensi. Intinya Dalan tidak nyaman. Hah, sudah lah, aku bisa kabur nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD