“Bukan seperti itu. Kau juga harus memerhatikan kekuatan petikanmu saat memetik senar-senarnya. Suara yang dihasilkan tiap senar tidak akan mengeluarkan nada khasnya bila kau tidak bisa mengetahui seberapa kuat jarimu memetik.”
“Maafkan aku, onee-chan. Aku akan berusaha lagi.”
“Tidak apa, lanjutkan. Kau pasti bisa, Chiharu.”
Gadis kecil bernama Chiharu itu kembali fokus memetik senar koto. Ditemani oleh seorang gadis yang berusia lebih tua darinya, Kinomoto Sakura. Gadis yang dipanggil dengan sebutan kakak itu tidak hanya memerhatikan Chiharu, namun juga tiga gadis kecil lainnya yang juga sedang berlatih memainkan koto. Alunan-alunan kasar senar koto memenuhi ruangan. Sakura harus ekstra bersabar dalam mengajarkan para maiko muda ini.
Melihat usaha keras mereka membuat Sakura teringat masa kecilnya saat masih menjadi maiko. Benar-benar nostalgia.
“Kakak, kudengar kakak akan pergi ke istana Kerajaan Minamoto untuk menghibur tamu dari kerajaan yang datang dari Cina,” celetuk Akane tiba-tiba melempar topik pembicaraan.
Seluruh gadis spontan berhenti memetik koto. Perhatian mereka sepenuhnya teralihkan ke Sakura yang kini mengerjap kaget menatap Akane. Seolah maling yang tertangkap basah, tidak percaya kabar itu sudah beredar ke para maiko di Okiya (rumah para geisha).
“Wah, benarkah? Kak Sakura dan kakak-kakak lainnya akan menghibur tamu Kerajaan Minamoto?” sahut Chiharu berseru kagum menatap Sakura dengan mata berbinar.
Akane mengangguk pada Chiharu. “Iya. Terlebih tamunya berasal dari Cina. Bukankah itu sebuah kebanggaan besar untuk diundang oleh kerajaan dan tampil di depan tamu dari negara asing.”
Sakura terkekeh lembut, senyuman terukir di wajah cantiknya. “Aku tidak menyangka kabar itu sudah beredar di Okiya. Kau mendengarnya dari siapa, Akane?”
“Kak Kaho sempat membicarakannya dengan Yumeko-sensei tadi pagi. Kakak-kakak lainnya pun juga membicarakannya,” Akane bertepuk tangan, wajahnya cerah berbinar dipenuhi ketakjuban, “aku selalu memimpikan suatu saat setelah menjadi geisha dapat tampil di istana kerajaan. Benar-benar sebuah kebanggaan besar!”
“Kau akan menjadi geisha yang sempurna, Akane.” tutur Sakura menyemangati membuat Akane semakin termotivasi dengan kembali melatih memainkan koto. Sakura menoleh ke gadis-gadis kecil lainnya. “Kalian juga. Ayo kembali latih permainan koto kalian.”
“Baik!”
Sakura menyimak latihan para maiko di hadapannya. Wajahnya tegas memerhatikan tiap nada yang mereka mainkan. Teguran demi teguran keluar dari bibirnya kala ada kesalahan yang muncul. Sakura tampak fokus melatih mereka, padahal sejak Akane mengungkit acara besar tersebut pikirannya tidak terfokus lagi pada latihan koto para maiko.
Sesuai penuturan Akane, pihak istana Kerajaan Minamoto telah memesan para geisha dari Okiya yang menaungi Sakura untuk tampil di pesta penyambutan tamu dari Cina. Wagataki Yumeko, sang Nyonya pemilik Okiya, sudah memilih para geisha yang akan tampil di istana Minamoto. Salah satu yang terpilih adalah Sakura.
Hingga detik ini, Sakura masih tidak percaya Yumeko memilihnya tampil di acara semegah itu.
Bila dibandingkan dengan para geisha lainnya, Sakura masih tergolong pemula yang jauh dari kata profesional. Karirnya baru menginjak dua tahun sejak ia resmi diangkat menjadi geisha. Pengalaman kerjanya pun masih jauh dibandingkan para seniornya.
Suara shoji bergeser berhasil membuyarkan lamunan Sakura. Para maiko berhenti memetik koto, serempak mereka membungkuk hormat kepada tamu yang membuka shoji. Sakura pun bergegas bangkit berdiri untuk menghadap sang tamu yang rupanya nyonya Okiya, Wagataki Yumeko.
“Yumeko-sensei, selamat sore,” sapa Sakura penuh hormat.
Yumeko mengangguk kecil, mempersilahkan para maiko kembali berlatih memetik senar koto. “Sakura, kemarilah. Ada yang perlu kita bicarakan.”
“Baik,” tanggap Sakura kemudian menginstruksikan para maiko untuk melanjutkan latihan mereka. Selanjutnya, ia melangkah keluar dari ruang latihan bersama Yumeko.
Melangkah menyusuri lorong Okiya yang sepi, Yumeko memulai obrolannya dengan Sakura.
“Ini tentang acara besar di istana Minamoto, kuharap kau sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin, Sakura,” ujar Yumeko bernada tegas membuat Sakura sedikit tersentak.
“Tentu saja, Yumeko-sensei. Saya sudah menyiapkan diri dengan lebih mengembangkan semua yang telah Yumeko-sensei ajarkan. Saya tidak akan mengecewakan anda,” tanggap Sakura percaya diri.
“Lalu, kita masuk ke permasalahan utamanya,” Yumeko berhenti berjalan membuat Sakura ikut berhenti di belakangnya. Tanpa menoleh, beliau melanjutkan, “kaki Kaho terkilir saat dia sedang berlatih chu no mai.”
Mata hijau Sakura membulat. “Eh? Bagaimana bisa? Jika begitu—“
Yumeko mengembuskan napas berat, memotong ucapan Sakura. “Benar. Kita berencana untuk menampilkan tarian chu no mai dan kagura sebagai penampilan utama. Kaho yang piawai menari pun satu-satunya harapan kita, tapi sayangnya terjadi hal seperti ini.”
Sakura mengerjap cepat, tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan buruk yang berada di depan mata. Esok pagi mereka sudah harus berangkat menuju istana Minamoto, sementara pesta penyambutan dilakukan pada malam hari. Sudah tidak ada waktu lagi.
Sakura benar-benar tidak habis pikir mengapa Yumeko tampak tidak panik sama sekali. Sikap tenang beliau memang benar-benar mengerikan.
Sakura maju satu langkah. “Yumeko-sensei, jika seperti itu kita harus segera mencari pengganti Kaho-nee. Tarian chu no mai dan kagura harus ditampilkan.”
Yumeko berbalik badan, menghadap Sakura. “Benar. Chu no mai dan kagura harus ditampilkan. Oleh sebab itu, Sakura, kau yang akan menggantikan Kaho.”
Mata Sakura membulat sempurna dengan mulut ternganga. “A—Apa?”
“Selain Kaho, kau juga piawai dalam menari. Tubuhmu sangat atletis dan mudah menghapalkan segala bentuk tarian. Harapan Okiya sekarang berada di tanganmu,” Yumeko berbalik badan, memberikan punggung kepada Sakura seraya kembali melangkah, “aku tahu kau bisa melakukannya, Kinomoto Sakura.”
Untuk pertama kali dalam hidup Sakura, beban yang memberatkan pundaknya benar-benar bukan main beratnya. Bila sampai ia gagal menampilkan kualitas tarian tradisional Jepang yang suci itu, ah…, Sakura tidak ingin membayangkannya.
***
Wilayah Kerajaan Minamoto dihiasi oleh beragam pernak-pernik tradisional. Seluruh sudut kota dipenuhi hiasan, tidak ada satu pun yang terlewatkan. Seolah sedang mengadakan festival, bahkan lebih meriah dari festival. Terlebih di ibu kota, sungguh bukan main megahnya. Semua itu dilakukan untuk menyambut tamu dari negara tetangga, Cina. Tamu besar Kerajaan Minamoto yang sangat dihormati sekaligus guna memberikan kesan yang sempurna untuknya.
Rombongan Kerajaan Li sudah tiba di Kerajaan Minamoto sejak subuh. Sang Kaisar pun sudah sedikit mengintip kondisi wilayah Minamoto yang benar-benar makmur dan dipenuhi hiasan untuk menyambutnya. Kabar burung itu bukan isapan jempol belaka. Xiao Lang menyeringai bangga mengingat dirinya sudah menyetujui hubungan diplomatik dengan Kerajaan Minamoto tanpa perlu membahasnya di pengadilan bersama para menteri.
Wang Wei, seorang kepala kasim Kerajaan Li, beserta para pelayan Kerajaan Minamoto memasuki kamar tidur Xiao Lang. Serempak mereka bersujud memberi hormat kepada sang Kaisar.
“Yang Mulia Kaisar, pesta penyambutan anda sebentar lagi akan digelar. Dimohon kesiapan anda untuk hadir di aula istana,” ujar Kasim Wei penuh hormat.
Xiao Lang yang berdiri di samping tempat tidur pun berbalik badan. “Begitu? Kudengar Kaisar Minamoto mengundang geisha.”
“Menjawab pertanyaan Kaisar, benar, Yang Mulia,” jawab salah satu pelayan dengan bahasa mandarin yang fasih, “geisha merupakan seniman handal kebanggaan Jepang. Para geisha akan menghibur anda dengan menampilkan tarian dan permainan alat musik khas Jepang yang memukau.”
Xiao Lang menyeringai kecil seraya melangkahkan kaki membuat Kasim Wei dan para pelayan segera bangkit untuk memberikan jalan kepadanya. Tanpa berbasa-basi, dia keluar dari kamar tidur menuju aula istana. Kasim Wei yang selalu sigap pun merapikan pakaian Xiao Lang sembari melangkah. Hal yang sudah biasa terjadi dan hanya Kasim Wei yang bisa melakukannya kepada Xiao Lang.
Seluruh area istana Minamoto dihiasi lentera berwarna kuning. Riuh ramai pun terdengar. Suara tabuhan wadaiko dan petikan senar shamisen memasuki gendang telinga Xiao Lang. Entah mengapa membuatnya sedikit tertarik antusias menantikan penampilan geisha yang dibicarakan oleh pelayan Minamoto.
Ketika Xiao Lang memasuki aula istana, para menteri Kerajaan Minamoto membungkuk hormat. Sementara, Kaisar Minamoto berdiri menyambutnya di singgasana. Dengan gestur bersahabat, Xiao Lang menghampiri Kaisar Minamoto untuk memberikan jabat tangan dan pelukan. Kaisar yang berusia jauh lebih tua dari Xiao Lang itu mempersilahkan Xiao Lang menduduki singgasana yang telah disiapkan untuknya.
Dengan kehadiran Xiao Lang, pesta penyambutan pun resmi digelar. Aula terisi oleh penari diikuti suara instrumen beragam alat musik tradisional Jepang. Xiao Lang tidak terlalu takjub melihat alat musik tradisional Jepang, sebab mayoritas merupakan alat musik asli dari Cina yang dimodifikasi lagi oleh rakyat Jepang.
Kaisar Minamoto mengangkat cangkir berisi teh hijau seraya menoleh kepada Xiao Lang, bermaksud mempersilahkannya untuk mencicipi hidangan yang telah tersaji di hadapannya. “Kaisar Li, jangan sungkan-sungkan. Cicipilah teh hijau khas Jepang, selain rasanya yang khas mereka juga bermanfaat bagi kesehatan tubuh.” ujarnya ramah.
“Tentu saja, Kaisar Minamoto. Aku akan meminumnya,” sahut Xiao Lang bersahabat, “tampaknya penampilan-penampilan ini berhasil membuatku lupa untuk mencicipi hidangan yang kau sajikan. Maafkan ketidaksopananku.”
Kaisar Minamoto tertawa ringan. “Tidak masalah. Mereka memang memukau. Tunggu sampai kau menyaksikan penampilan para geisha. Merekalah yang terbaik dari yang terbaik.”
“Tentu saja.”
“Selanjutnya, penampilan tarian chu no mai dan kagura yang dipersembahkan oleh geisha dari Okiya Wagataki!” ujar Perdana Menteri Kerajaan Minamoto tepat setelah Kaisar Minamoto menyebut geisha, bagai sebuah konspirasi kecil yang menakjubkan.
Enam perempuan berkimono panjang dan memiliki riasan tebal memasuki aula. Dengan anggun mereka melangkah, sukses menarik perhatian hanya dengan melangkah masuk. Dari keenam perempuan, ada satu perempuan yang lebih mencolok karena kimononya berbeda warna dari yang lain. Tampaknya, dialah geisha utama yang akan menari.
Lima geisha menggantikan para pemain instrumen, sementara satu geisha yang paling mencolok tersebut berdiri di tengah-tengah aula. Alunan musik mulai mengalun membuat geisha tersebut menggerakkan lekuk tubuhnya sesuai irama. Dimulai dari gerakan lambat dan halus, lalu tempo semakin naik seiring musik mengalun. Tubuhnya bergerak anggun meskipun tempo tariannya sangat cepat. Tidak ada gerakan yang tidak memancarkan keanggunan.
Berhasil membuat sang Kaisar Li terpukau.
Mata cokelat Xiao Lang mengikuti tiap gerakan geisha berambut cokelat sepaha tersebut. Dari balik kipas tangan yang menutupi sebagian wajahnya, mata Xiao Lang berhasil menangkap mata hijau sang geisha. Warna bola mata yang sangat jarang dimiliki oleh rakyat Jepang maupun Cina. Bagai tersihir, netra Xiao Lang tertancap pada sang geisha.
“Bagaimana? Sangat indah, bukan?” celetuk Kaisar Minamoto membuyarkan fokus Xiao Lang.
Xiao Lang tidak menjawab. Pria itu memerhatikan tarian geisha bermata hijau itu dengan teliti. Penuh binar pukau dan bertanya-tanya betapa indahnya mata hijau gadis geisha tersebut.
Untuk pertama kalinya, Xiao Lang dibuat tidak berkutik di hadapan seorang gadis biasa.
TO BE CONTINUED
Kamus Kosakata:
onee-chan = kakak perempuan (bahasa Jepang)
sensei = guru
geisha = seorang seniman tradisional asli Jepang yang bekerja untuk menghibur para tamu penting dengan memainkan alat musik dan menarikan tari tradisional.