Chapter 03.

1369 Words
Namira mengantar Bu Arini sampai di depan rumahnya. Rumah besar dengan halaman yang sangat luas di penuhi aneka bunga warna warni yang tersusun rapi di samping teras rumah. Perumahan mewah di daerah Kabupaten Semarang ini terlihat asri dan sejuk karena ada beberapa pohon mangga dan pohon jambu air yang tumbuh subur di halaman. Namira menatap kagum saat melihat rumah mewah Bu Arini. Sangat berbanding terbalik dengan rumah ayahnya. Apalagi sekarang rumah ayahnya itu sudah di jual oleh ibu tirinya. Namira sekarang hanya sebatang Kara. Tak punya keluarga apalagi tempat tinggal. 'Rumahnya sebesar ini tapi kenapa tadi ke pasar jalan kaki, ya?' batin Namira dalam hati. "Nak Mira," panggil Bu Arini. "Eh, iya Bu, maaf." Namira sedikit gugup saat ketahuan melamun. "Terima kasih banyak, Nak Mira sudah sudi mengantar Ibu sampai di rumah ini. Kalau tidak ada Nak Mira, mungkin Ibu tidak bisa sampai di rumah." ucap wanita dewasa itu sambil melihat kakinya yang tadi terkilir karena jatuh. Untung Namira menolongnya. "Jangan berkata seperti itu Bu, Rara Bantu Ibu ikhlas kok." Namira tersenyum ramah. "Mari mampir dulu. Ibu ambilkan minuman untuk nak Mira." Awalnya Namira menolak karena merasa tidak enak hati. Tapi Bu Arini terus memaksanya hingga membuat Namira sulit untuk menolaknya. Bu Arini mengajak Namira duduk di meja makan. Tak jauh dari tempat itu ada dapur tempat untuk memasak. "Nak Mira minum dulu, maaf hanya ada air putih saja karena Bik Siti sedang libur selama seminggu ini, karena sedang mantu di kampungnya." "Iya, Bu. Tidak apa-apa. Terima kasih banyak sudah memberi minuman untuk Rara." Bu Arini tersenyum kemudian pamit masuk ke dalam rumahnya. "Sri, mana Kiara?" tanya Bu Arini pada Sri asisten rumah tangga yang lainnya. Selain Sri ada Bik Siti dan juga Pak Joko. Mereka adalah pasangan suami istri yang bekerja di rumah ini, tapi mereka berdua sekarang sedang cuti selama seminggu karena anaknya menikah. Sedangkan Bik Sri kini yang membantu mengerjakan pekerjaan rumah juga mengurus Kiara cucu Bu Arini yang masih berusia satu tahun lebih lima bulan. "Dalem, Bu." terdengar suara Sri dari kejauhan di barengi dengan suara tangisan anak kecil yaitu Kiara. "Kiara dari tadi nangis terus, Bu." Ujar Sri yang baru saja datang menggendong Kiara yang sedang menangis. Wajah kecil itu di penuhi dengan air mata. "Cup cup cup sayang, kasihan cucuku." mengambil Kiara dari gendongan Sri dan membawanya ke dalam pelukannya. "Huaaaaa ... Huaaaaa..." tangisan Kiara bertambah kencang saat berada di dalam gendongan neneknya hingga membuat wanita dewasa itu kesulitan untuk mendiamkannya. "Ambilkan dotnya, Sri." perintah Bu Arini. "Iya, Bu." dengan cepat Sri bergegas pergi mengambil dot Kiara yang berada di dalam kamar. "Cup cup sayang. Diam ya, sudah di gendong sama nenek nih. Diam ya sayang..." Wanita dewasa itu terlihat sedih saat Kiara tak juga mau diam, gadis kecil itu malah menangis tanpa henti. Dari dapur Namira mendengar suara tangisan anak kecil dan suara yang Namira kenali yaitu suara ibu Arini. "Suara siapa yang nangis itu ya?" bicara sendiri seraya menikmati minuman yang ada di dalam gelas. Karena penasaran Namira melangkah meninggalkan ruang makan dan mencari ke arah sumber suara itu. "Kenapa adik kecil ini menangis, Bu?" tanya Namira ingin tahu. "Biasa, kalau bangun tidur pasti Kiara nangis seperti ini." jawab bu Arini seraya mendiamkan Kiara yang masih menangis. "Ini Bu, dotnya." Sri memberikan dot yang berisi s**u formula pada Bu Arini. Wanita dewasa itu memberikan dot ke mulut Kiara namun gadis kecil itu masih saja menangis. Dan tak mau meminum s**u itu. "Kalau boleh biar Rara yang gendong, Bu." ujar Namira. Seketika Sri menatap sinis padanya. 'Dasar caper. Kenal juga enggak.' Sri membatin. "Halo adik cantik, jangan nangis ya ... Yuk main sama kak Rara. Tuh lihat tuh ada cicak di dinding tuh. Halo cicak kamu di panggil sama adik kecil nih..." Namira mencoba mendiamkan Kiara yang masih menangis dalam gendongannya. Berjalan beberapa langkah mendekati dinding. Tangannya menepuk nepuk dinding yang di atasnya ada cicak. Pura-pura memanggil cicak itu. "Hus ... Hayo cicak jangan nakal ya ... Kamu jangan menangis ya cicak... Hus ... hus..." Seketika gadis kecil itu terdiam menatap cicak yang ada di atas sana. "Mana dotnya Bu. Mungkin adiknya nangis karena haus." Dengan cepat Bu Arini memberikan dot itu pada Namira. Kiara memang baru bangun tidur dan mungkin saja sedang haus, tapi dari tadi Bu Arini dan Sri tak bisa mendiamkan Kiara dan sekarang Kiara berhenti menangis karena Namira. "Apa boleh, Namira duduk di situ, Bu?" Namira meminta izin sebelum gadis itu duduk di sofa ruang tengah milik Bu Arini. Namira takut di bilang lancang kalau langsung duduk tidak izin terlebih dahulu. "Silakan Nak Mira." "Terima kasih, Bu." Namira kini duduk di sofa dan diikuti oleh Bu Arini sedang Sri pergi ke dapur. Wanita dewasa itu terus tersenyum saat melihat Kiara tertidur di pangkuan Namira. s**u formula yang ada di dalam botol dot kini juga sudah habis Kiara minum. "Adik kecil ini namanya siapa Bu? Cantik banget dia," Namira mengusap kepala Kiara dengan sayang. Gadis dua puluh satu tahun itu sangat penyayang dan terlihat sangat menyukai anak kecil. Itu terbukti Kiara nyaman di pelukannya. Hingga tertidur dengan sangat pulas. "Namanya Kiara, umurnya setahun lebih enam bulan. Baru belajar berjalan." tutur Bu Arini dengan ramah. Namira dan Bu Arini ngobrol banyak hal. Hingga tak terasa waktu cepat berlalu. Jam di dinding menunjukkan pukul satu siang. Namira harus pergi. Tidak mungkin kan kalau Namira berada di rumah ini terus. "Bu, Kiara tidurin di mana nih. Rara mau pulang." Wajah Bu Arini yang sedari tadi tersenyum sedikit kecewa saat mendengar Namira akan pulang. Entah kenapa Bu Arini juga merasa nyaman berada di dekat Namira, apalagi Kiara, gadis kecil itu sudah sangat nyaman berada di pelukan gadis berambut panjang itu. "Kita bawa Kiara ke kamarnya ya," ajak wanita dewasa itu. Berjalan menaiki anak tangga menuju ke lantai dua. Namira mengikuti wanita dewasa itu masuk ke dalam kamar yang sepertinya kamar Kiara, itu sudah Namira duga karena banyak mainan yang masih terbungkus rapi di sudut kamar itu. Perlahan Namira menidurkan Kiara di atas tempat tidur. Menaruh bantal guling kecil di sisi kanan dan kiri gadis kecil itu. "Kiara sudah tidur, Namira pamit ya, Bu." pamit Namira, berdiri tepat di sisi ranjang. Lalu meraih tangan wanita dewasa itu dan mencium punggung tangannya. "Hati-hati di jalan, Nak Mira." Entah kenapa suara Bu Arini terdengar berat saat melepaskan Namira pergi padahal gadis itu bukan siapa siapa, kenal juga beberapa menit lalu di jalan. Kenapa Bu Arini merasa ada sesuatu yang tak biasanya. "Namira tunggu." panggil wanita dewasa itu saat melihat Namira membuka pintu kamar dan hendak melangkah keluar. Namira tersenyum seraya mengangguk pelan. Berhenti sejenak menunggu Bu Arini. "Ibu antar sampai ke depan ya." ujar wanita dewasa itu dengan ramah. "Iya, Bu." jawab Namira dengan cepat. Kini mereka berdua berjalan menuruni anak tangga menuju ke lantai satu. Tiba-tiba saja terdengar suara tangisan anak kecil yang mereka duga suara Kiara. "Aduh, Kiara bangun kayaknya. Ibu lihat dulu ya nak Mira." tanpa menunggu jawaban dari Namira, wanita dewasa itu memutar tubuhnya berjalan dengan cepat menuju kamar Kiara. 'Mendengar Kiara menangis seperti itu kenapa hatiku ikut sedih ya? Padahal aku baru saja melihatnya beberapa menit lalu, tapi aku merasa sangat sayang dengan anak kecil itu.' batin Namira dalam hati. Gadis cantik berambut panjang itu masih berdiri di tempatnya menunggu Bu Arini datang. Tak lama kemudian wanita dewasa itu datang bersama sembari menggendong Kiara cucunya yang masih menangis. "Kasihan dedek cantik, sini kakak gendong." saat berada di gendongan Namira seketika Kiara diam tak menangis lagi. Mereka bertiga kini berjalan menuju teras. Namira memberikan Kiara pada Bu Arini, tapi Kiara malah menangis lagi. "Sepertinya Kiara menyukai nak Mira. Apa Nak Mira mau menjadi pengasuh Kiara? Soal gaji kita bisa berunding lebih dulu." Mendengar ucapan Bu Arini, seketika Namira tersenyum. Tapi gadis itu masih bingung harus menjawab apa. "Apa Ibu tidak bercanda?" Karena bingung Namira malah asal bertanya. Hingga membuat Bu Arini tertawa kecil. "Mana mungkin Ibu bercanda. Ibu serius, kalau Nak Mira mau, nanti soal gaji bisa kita bicarakan." tuturnya dengan lembut. Membuat Namira sungkan untuk menolaknya. Setelah beberapa saat Namira memikirkan tawaran Bu Arini, akhirnya gadis itu menyetujui untuk menjadi pengasuh Kiara. Mereka berdua kini duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Mengobrol santai. Kiara masih betah di pangkuan Namira. Sesekali Kiara tersenyum bicara sendiri khas anak kecil. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD