Chapter 02.

1329 Words
Berada di dalam penjara sangat menyedihkan bagi sebagian orang. Namun itu tidak berlaku bagi Namira. Gadis itu malah senang berada di tempat ini. Ruangan berukuran delapan kali empat meter yang di huni lima belas orang itu terlihat sesak. Bahkan tidur pun mereka beradu kaki. Entah kenapa Namira masih bisa tersenyum walau malam hari gadis itu tidak bisa tidur dan hanya duduk di sudut ruangan itu, bahkan tatapan aneh dari penghuni lainnya tak diindahkan olehnya. Gadis itu tersenyum kala melihat petugas datang membawakan sarapan pagi untuknya. Dengan cepat Namira meraih kotak makan itu dan segera melahapnya. Mungkin Namira akan membiasakan dirinya di dalam tempat ini. Tempat hukuman bagi sebagian orang yang melakukan kesalahan. Termasuk Namira. Bagi Namira tempat ini lebih baik dari pada ia berada di luar sana tanpa tujuan hidup yang jelas. Gaji terakhir Namira kemarin sudah habis untuk membayar hutang ibu tirinya. Ibu tiri Namira suka sekali beli barang kreditan, setelah ibunya pergi ternyata masih ada beberapa hutang yang belum dibayar. Saat Namira pulang tukang kredit itu meminta Namira untuk melunasinya. 'Berada di tempat ini enak juga, aku bisa istirahat dan makan tanpa harus susah payah mencari pekerjaan. Musim pandemi sekarang ini sangat susah mencari pekerjaan. Yang ada malah pabrik pada mengurangi karyawannya. Terima kasih Tuhan engkau sudah memberikan jalan terbaik untukku.' batin Namira dalam hati. Gadis itu bersyukur bisa berada di tempat ini. Walaupun di sini tempatnya sesak bahkan bernapas pun kesulitan tapi Namira senang. Namira berada di tempat ini sementara sebelum di pindahkan ke lapas khusus perempuan setelah berkas kasusnya selesai. Tiba-tiba polisi datang dan membuka pintu yang terbuat dari besi itu. "Namira Dewi." panggil teguh. Polisi yang mengurus kasus Namira. Namira yang semula duduk meringkuk di sudut ruangan kini mendongakkan wajahnya menatap seseorang yang memanggil namanya. "Iya saya, pak. Ada apa ya?" tanya Namira penasaran. Kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat. "Mari ikut saya." ucap Teguh kemudian kembali mengunci pintu itu setelah Namira keluar. "Pak, kenapa saya dikeluarkan ya, pak?" "Kasusmu sudah selesai, kamu bisa bebas hari ini." jawab Teguh seraya berjalan dengan cepat. Bahkan membuat Namira kesulitan mengikuti langkahnya. "Bebas?" "Iya, nanti saya jelaskan semuanya di kantor." "Pak polisi please aku mau di penjara saja, pak. Aku tidak mau keluar dari sini." rengek Namira ketika mendengar Teguh mau mengeluarkannya dari penjara. "Orang yang bersangkutan sudah mencabut laporannya. Jadi kamu bisa keluar dari sini." jawab Teguh. Namira berjalan mengikuti Teguh sampai di ruangan kantornya. Gadis itu terus saja merengek namun tak diindahkan olehnya. "Pak polisi please, tangkap aku lagi, pak. Aku tidak mau keluar dari penjara ini." Teguh masih tak menghiraukan rengekan Namira. Hingga mengundang perhatian teman-temannya yang ada di dalam ruangan itu. Teguh duduk di tempat kerjanya dan diikuti oleh Namira yang kini duduk di kursi yang ada di depannya. "Pak Teguh, gadis itu minta di penjara di hatimu, pak. Ha ha ha." "Betul banget itu, pak Teguh." Seluruh teman- teman Teguh tertawa melihat Namira merengek minta kembali ke dalam penjara. Tapi Teguh hanya diam saja tak menggubris dan sibuk dengan tumpukan kertas yang ada di depannya. Mencari catatan kasus Namira kemarin. "Pak, aku ingin di sini untuk beberapa hari ya, pak. Please. Aku tidak punya tempat tinggal pak." ucap Namira memohon. Kedua tangannya menangkup di depan. Teguh masih sibuk mencari catatan kasus Namira yang belum ketemu diantara tumpukan kertas putih itu. "Ajak pulang ke rumah saja, pak Teguh. Siapa tahu jodoh. Iya kan pak Syarif?" Kata Rifki di sela tawanya menggoda Teguh sahabat sekaligus rekannya. "Bener itu, pak Rifki. Jodoh tidak ada yang tahu." jawab Syarif. Teguh tak menghiraukan celotehan mereka. "Tanda tangan di sini." ucap Teguh seraya memberikan bolpoin dan menggeser kertas ke depan Namira. Gadis itu enggan menandatanganinya. Dan hanya diam saja menatap selembar kertas putih itu. "Kenapa tidak mau tanda tangan?" tanya Teguh pada Namira. "Kamu itu masih muda, setelah keluar dari sini kamu jangan mencuri lagi, cari pekerjaan yang halal. Jangan yang haram, apalagi mencuri milik orang lain. Dosa." Teguh mulai menceramahi Namira membuat gadis itu sebal mendengarnya. Namira tidak butuh ceramah saat ini, tapi Namira butuh tempat tinggal. Namira mendengus kesal. Akhirnya ia pun mau menandatanganinya. Namira malas mendengarkan ceramah polisi yang diketahui bernama Teguh itu. "Nih, pak." selesai tanda tangan Namira menggeser kertas dan bolpoin ke depan Teguh. "Baiklah, sekarang kamu resmi bebas. Ingat jangan mencuri lagi. Ingat itu." ucap Teguh seraya menatap mata Namira. Seketika membuat Namira salah tingkah. "Iya, pak." ucap Namira dengan malas. Kemudian berjalan keluar meninggalkan ruangan Teguh. "Nyebelin banget polisi itu. Aku benci dia." gerutu Namira ketika berjalan keluar dari polres. Sejenak Namira menatap kantor polisi itu seraya mengembuskan napas kasar. Antara senang dan sedih ketika Namira keluar dari tempat itu. Sekarang Namira tak tahu lagi harus kemana. Tak ada tujuan untuk sekarang ini. 'Apa yang harus aku lakukan sekarang. Kemana aku harus pulang? Rumah bapak sudah dijual, bapak juga sudah meninggal. Uang juga tidak punya. Begini amat nasibku.' gumam Namira dalam hati. Kakinya menendang batu-batu kecil yang ada di jalanan yang ia lewati. Bahkan batu yang tak bersalah pun kini menjadi sasaran amukan Namira. Seandainya saja ayah Namira masih hidup dan rumahnya tidak di jual, mungkin Namira bisa tinggal di rumah ayahnya walau Namira tahu ibu tirinya akan ngomel setiap hari tapi itu lebih baik dari pada seperti sekarang ini. Dengan langkah berat Namira berjalan menyusuri jalanan yang macet. Banyak mobil yang merayap di jalan raya kota ini. Sengatan sinar matahari dan asap yang keluar dari kendaraan membuat Namira terbatuk. "Uhuk, uhuk. Haus sekali, kenapa tadi aku tidak meminta uang pada polisi itu. Siapa tahu dia mau memberi. Lumayan buat beli minuman dingin." Gumam Namira bicara sendiri seraya berjalan. Kemudian mencari tempat duduk di samping trotoar untuk ia istirahat sejenak agar tidak lelah dan semakin haus. Tangan Namira mengusap keringat yang kini membasahi keningnya. "Kemana aku akan pergi? Rumah saja tidak punya. Uang juga tidak ada." gumamnya seraya memijat kakinya yang sakit. Bruk!!! Namira terkejut ketika mendengar suara itu. Kemudian matanya mencari asal suara tadi. "Ya Tuhan. Kasihan ibu itu." Namira segera berlari ketika matanya melihat sosok seorang wanita dewasa berhijab yang sedang membawa tas dan berisi barang belanjaan yang berceceran di jalan. Wanita dewasa itu sedang memungut satu persatu barang belanjaannya. "Ibu tidak apa-apa kan?" tanya Namira khawatir karena tadi ia sempat melihat wanita dewasa itu terjatuh dan juga barang belanjaannya. "Alhamdulillah tidak apa-apa, nak." ucap wanita dewasa itu seraya tersenyum pada Namira. "Namira bantu ya bu?" Wanita dewasa itu mengangguk pelan. Kemudian berjongkok membantu wanita dewasa yang di ketahui bernama bu Arini, Namira membantu mengambil barang belanjaan yang terjatuh dan memasukkan ke dalam tas belanja milik bu Arini. "Kenapa ibu bawa belanjaan sebanyak ini sendirian, bu? Ibu kan sudah tua. Apa tidak ada anak atau..." Namira tak melanjutkan ucapannya karena wanita dewasa itu memotong ucapannya. "Anak ibu sedang bekerja." "Oh..." Namira manggut-manggut. "Sudah selesai, nak. Terima kasih banyak sudah membantu." bu Arini tersenyum. "Sama-sama, bu. Hati-hati di jalan." Namira tersenyum. "Siapa nama kamu, nak?" tanya bu Arini. "Namira, bu. Panggil saja Rara." "Kamu cantik sekali, baik lagi mau menolong ibu." bu Arini tersenyum seraya memegang pipi Namira. "Tidak usah berterima kasih, bu. Kita memang harus saling tolong menolong." jawab Namira. Bu Arini mengangguk. "Sepertinya kaki ibu sakit?" tanya Namira ketika melihat kaki bu Arini berdarah. "Tidak apa-apa, nanti sembuh sendiri." Namira masih menatap kaki wanita dewasa itu. "Ibu pamit ya nak Mira?" ucap wanita dewasa itu kemudian berjalan beberapa langkah meninggalkan Namira. "Bu. Namira antar ibu pulang, ya?" "Tidak usah, nak. Ibu bisa pulang sendiri. Lagi pula rumah ibu dekat dari sini." ucapnya seraya melanjutkan langkah kakinya meninggalkan Namira. Setelah berjalan dua meter. Namira melihat bu Arini berjalan hampir terjatuh. Dengan cepat Namira menghampiri wanita dewasa itu. "Biar Namira antar, bu." Namira meraih tas belanja yang ada di tangan bu Arini. Kemudian tangan yang satunya membantu bu Arini berjalan. "Tidak usah nak Mira. Ibu bisa sendiri." "Ibu tidak boleh menolak. Namira tidak tega melihat ibu pulang sendirian membawa belanjaan seberat ini. Apalagi kaki ibu juga sedang sakit." Bu Arini mengangguk pelan seraya tersenyum. "Terima kasih, nak Mira." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD