Chapter 01.

1861 Words
"Jambret! Tolong ... tolong...!!! " teriak seorang wanita dewasa yang sedang berbelanja di pasar minta tolong karena tas miliknya di ambil orang saat ia hendak membayar gamis yang akan di belinya. "Tolong ... Tasku di jambret...!" teriak wanita dewasa itu lagi hingga membuat orang-orang sekitar mendatanginya. "Mana jambretnya?" tanya salah satu pria bertubuh gempal saat menghampiri ibu itu. "Dia lari ke sana..." ucap Wanita itu seraya menunjuk ke arah jambret yang sedang berlari sekitar sepuluh meter darinya dengan membawa sebuah tas. "Ayo kita kejar...!" seru mereka bersamaan seraya berlari mengejar Namira. Ya benar gadis yang tadi mengambil tas itu adalah Namira. Gadis itu terpaksa menjambret karena sudah dua hari ini tidak makan. Ia sangat kelaparan sekarang. Namira kini berlari dengan napas tersengal menghindari kejaran orang-orang itu. Seandainya saja ibu tirinya tidak menjual rumah ayahnya, Namira pasti tidak akan jadi seperti ini. Perut Namira terus saja berbunyi minta di isi. "Sial. Aku lapar, perutku memang tidak bisa di ajak kerja sama. Di saat seperti ini kenapa bunyi terus, sih." gerutu Namira seraya berlari menghindari kejaran orang-orang itu. Gadis itu berlari di jalan raya hingga menabrak beberapa orang yang ia lewati. "Woy! Jambret berhenti...!" teriak semua orang yang mengejar Namira. 'Oh, Tuhan. Maafkan aku karena sudah mencuri tas milik orang lain. Aku terpaksa, Tuhan...' batin Namira dalam hati saat mendengar teriakan orang- orang yang mengejarnya. Sungguh dalam hati Namira sangatlah malu kala ia di teriaki jambret. Brak!!! Tiba-tiba saja Namira terjatuh ketika ada motor yang hendak menyeberang di depannya. Tanpa sengaja Namira menabrak motor itu hingga dirinya dan pemilik motor itu terjatuh di pinggir jalan raya. "Woy! Kalau jalan pakai mata dong!" pria itu memarahi Namira karena berlari tanpa melihat ke depan, tapi malah sambil menengok ke samping. "Maaf, pak." Namira meminta maaf. Ia hendak berdiri namun tak bisa. Karena tiba-tiba saja mengalami keram di pergelangan kakinya. "Auw, sakit." ucapnya lirih. Wajahnya meringis kesakitan. Tangan Namira memegang kakinya yang sakit sambil mencoba berdiri. Namun, tak bisa. "Hayo ... Mau lari kemana kamu?!" seru salah satu pria yang mengejar Namira. Lalu dengan cepat pria itu menangkap Namira dan memegang tangan gadis itu dengan erat. Agar Namira tidak bisa lari. Memang Namira sedang sial hari ini. Ia tertangkap sekarang. Mungkin nasib Namira akan berakhir di tangan orang- orang pasar yang akan memukuli wajahnya hingga babak belur atau mereka akan mengarak Namira keliling pasar sebagai hukumannya. "Ayok bangun!" pria itu menarik Namira dengan paksa, hingga gadis itu berdiri. Kakinya terasa sangat sakit kalau dibuat berdiri. Tapi Namira harus kuat. Perutnya sedari tadi juga terus berbunyi minta di isi. Itu membuat Namira sedikit lemas. "Cantik - cantik mencuri tas orang. Kamu masih muda seharusnya kerja bukan mencuri." Namira hanya diam menundukkan wajahnya. Ia merasa sangat malu sekarang. Tak ada niatan dirinya untuk mencuri milik orang lain, tapi itu semua terpaksa Namira lakukan untuk makan, walau gadis itu tahu mencuri tidak baik. "Ini tasnya, bu. Coba di cek dulu, siapa tahu ada yang hilang." Kata salah satu pria yang ikut mengejar Namira. Pria itu memberikan tas pada pemiliknya. Ibu itu menatap Namira sejenak setelah mengambil tas miliknya. Kemudian membuka dan memeriksa isi tas miliknya. Masih utuh tak ada satupun barang yang hilang. "Mira minta maaf, bu. Mira terpaksa mencuri tas ibu." Mendengar ucapan Namira, ibu itu menatap wajah Namira yang terlihat sedikit pucat. Mungkin karena kelelahan atau karena belum makan. "Pencuri tetap saja pencuri. Walau terpaksa, itu tetap saja namanya mencuri." ucap pria yang kini menarik tangan Namira dengan sedikit kasar membuat gadis itu kesakitan. "Kita bawa ke kantor polisi saja." usul salah satu dari mereka, dan di setujui semua orang. Mereka membawa Namira ke kantor polisi yang tak jauh dari pasar. Namira hanya bisa diam saat orang- orang membawa dirinya ke kantor polisi. Namira sadar kalau ia salah, Namira juga sadar kalau dia sudah mencuri, tapi dia benar-benar sangat terpaksa. Dan sekarang sudah menyesali perbuatannya. Di dalam kantor polisi. Namira duduk dengan borgol melingkar di kedua pergelangan tangannya. Matanya menatap sekeliling ruangan itu dengan tatapan kosong. 'Ya Tuhan. Nasibku berakhir di dalam penjara. Maafkan aku ibu, ayah. Maafkan anakmu ini yang sudah mencuri.' batin Namira dalam hati. Tatapan matanya terlihat sayu dan lemah karena belum makan. Suaranya perutnya pun sekarang sudah tidak lagi terdengar, mungkin cacing yang ada di dalam perut Namira sudah kenyang makan angin. Setelah menjelaskan semuanya pada Polisi. Kini orang- orang yang membawa Namira ke tempat ini sudah kembali ke pasar meninggalkan gadis itu sendirian dengan hukuman yang sudah menunggunya. "Siapa namamu?" tanya polisi muda yang kini duduk di depan Namira seraya menatap gadis itu dengan penuh selidik. Tangannya memegang bolpoin dan selembar kertas yang ada di depannya. "Saya tanya, siapa nama kamu?" Polisi itu mengulangi pertanyaannya karena Namira tak kunjung menjawab. Gadis itu masih enggan membuka mulut apa lagi menyebutkan namanya. Namira kini berfokus pada sosok polisi yang ada di depannya. Mata gadis itu menatap papan nama yang bertengger di baju polisi itu yang bertuliskan Teguh S. "Ekhem! " Teguh berdeham membuat Namira tersentak dari lamunannya. "Maaf, pak." jawab Namira lirih namun terdengar oleh Teguh. "Saya tanya sekali lagi. Nama kamu siapa?" lagi- lagi Teguh mengulangi pertanyaan yang sama karena Namira belum menjawabnya. "Na-Namira Dewi, pak." jawab Namira. Teguh kini menulis nama Namira Dewi di atas kertas yang ada di depannya. "Berapa umurmu?" "Em ... D-dua puluh satu tahun, pak." Teguh mengangguk kemudian kembali menulis. "Apa alasan kamu mencuri tas itu?" tanya Teguh. Belum sempat Namira menjawab polisi itu kembali berkata. "Kamu masih muda, kenapa mencuri? Di luar sana banyak orang yang lebih tua, kondisinya lebih memprihatinkan dari pada kamu, tapi mereka masih tetap mau bekerja. Tidak mencuri." Teguh mulai memberikan nasihat pada Namira. "Sa-saya terpaksa, pak." "Mana ada pencuri yang mau ngaku. Apapun alasannya kamu tetap mencuri. Kamu tetap bersalah karena sudah mengambil barang milik orang lain." Namira terdiam. Ingatannya kembali ke beberapa hari lalu saat dirinya pulang ke rumah keluarganya. Sejak ayahnya mulai sakit-sakitan Namira memutuskan untuk bekerja di pabrik garmen yang ada di luar kota semarang. Di sana gadis itu bekerja dan tinggal di mess yang disediakan oleh perusahaan. Namira bersama dua teman yang rumahnya tak jauh dari rumah keluarga Namira. Sebulan sekali Namira pulang ketika tanggal gajian dan memberikan lima puluh persen gajinya untuk ayahnya yang sakit. Tapi ibu tirinya tetap saja memarahi Namira. Musim pandemi seperti ini membuat banyak pabrik menuju kebangkrutan karena tidak bisa mengekspor barang ke luar negeri. Itulah yang kini di alami pabrik garmen tempat Namira bekerja. Perusahaan itu mengurangi separuh karyawannya agar tidak memberatkan perusahaan. Namira termasuk yang tidak beruntung. Gadis itu dan dua temannya ikut diberhentikan dari pekerjaannya. Namira sedih, bingung harus berkata apa pada keluarganya nanti. Satu bulan ini Namira tidak pulang karena gaji masih di tahan dan kondisi keuangan perusahaan itu juga terkena imbasnya. Hampir enam minggu Namira menunggu gaji terakhirnya. Dan setelah gaji itu cair Namira baru bisa pulang bersama dengan kedua temannya. Dengan perasaan sedih Namira terpaksa pulang ke rumah. Ia membawa serta semua pakaian dan juga barang miliknya. Ia bingung akan mengatakan apa nanti pada ayahnya ketika sampai di rumah. Tok Tok Tok. Dengan sedikit takut namira mengetuk pintu rumahnya. Rumah itu terlihat sepi, tidak seperti biasanya yang selalu ramai karena ibu tirinya selalu mengomel setiap hari. Tok Tok Tok. "Kok sepi, ya?" ujar Namira bicara sendiri seraya mengintip di jendela kaca yang tertutup tirai dari dalam. "Mira. Kamu pulang?" tanya bu Wanda tetangga Namira. "Iya, bu. Mira baru pulang. Kok rumahnya sepi ya, bu. Pada kemana?" Namira menatap bu Wanda yang berjalan mendekat. "Kamu, belum tahu ya, Ra?" ucap bu Wanda pelan seperti berbisik tapi terdengar oleh Namira. "Tentang apa ya, bu?" tanya Namira dengan wajah bingung. "Kamu beneran tidak tahu, Ra?" Namira menggeleng pelan seraya menatap wajah tetangganya itu. "Bapak kamu sudah meninggal dua minggu yang lalu, Ra. Dan rumah ini sudah dijual ibu tirimu." Kata tetangga Namira yang diketahui bernama bu Wanda. "Inalillahi, bapak." ucap Namira lirih. Seketika tetesan bening jatuh membasahi pipinya. Namira sungguh tidak menyangka kalau kehidupannya akan menjadi serumit ini. Gadis itu bingung mau tinggal di mana sekarang. Rumah satu satunya yang keluarganya miliki sudah dijual ibu tirinya. Ayahnya juga sudah meninggal, ia juga di pecat dari pekerjaannya. "Ekhem!" Teguh berdeham. Membuat Namira tersadar dari lamunannya. "Di tanya malah melamun." "Ma-maaf, pak." jawab Namira seraya menahan perutnya yang lapar dan kini kembali berbunyi. Perlahan tangan Namira mengusap perutnya yang mulai terasa sakit. "Pak..." Namira menatap Teguh. "Iya, ada apa?" "Saya lapar, pak. Dua hari belum makan. Perut saya sakit, pak." Akhirnya Namira punya keberanian juga untuk mengatakan itu. Teguh yang semula sibuk menulis di kertas, kini menatap gadis yang ada di depannya. Sejenak Teguh menatap Namira hingga beberapa detik. Tatapan itu membuat jantung Namira berdetak lebih kencang dari pada sebelumnya. Tatapan mata Teguh sungguh sangat mengagumkan, hingga membuat Namira segera menundukkan wajahnya karena tak tahan menatapnya lama. "Baiklah. Saya pesan makanan dulu." tangan Teguh meraih gagang telepon yang ada di atas meja. "Halo, bawakan makanan dan minuman ke ruangan saya, ya." perintah Teguh pada orang yang ada di seberang sana. [Iya, pak.] Setelah itu Teguh menutup sambungan teleponnya. Dan kembali menatap Namira yang kini juga menatapnya. "Sebentar lagi makanan datang." "Iya, pak." Beberapa menit kemudian makanan yang Teguh minta datang. Satu kotak makan yang berisi nasi juga lauk. Teguh memberikannya pada Namira. "Makanlah, setelah itu saya akan kembali menginterogasi kamu." "Pak, saya tidak bisa makan..." Teguh menatap Namira. "Tadi bilang lapar. Sekarang bilang tidak bisa makan, mau alasan apalagi?" Namira mendengus kesal. "Pak, tangan saya bapak borgol. Bagaimana mungkin saya bisa makan?" "Saya tidak mungkin melepaskan borgol itu. Kamu memang gadis yang banyak alasan. Mau mencoba untuk kabur?" tuduh Teguh. "Di sini banyak teman-teman bapak, mana mungkin saya bisa kabur, pak?" "Teman-teman saya sedang makan siang. Di ruangan ini hanya ada saya dan kamu. Kita." 'Haish. Dasar polisi aneh. Aku sumpahin kamu jomblo seumur hidup.' batin Namira dalam hati. Ia benar-benar sebal sama Teguh. 'Dasar gadis aneh. Masih muda sudah mencuri, sekarang banyak sekali alasannya. Merepotkan saja.' batin Teguh dalam hati. "Baiklah, saya bantu kamu makan." Teguh mengambil kotak makan itu dan membukanya. Kemudian menyuapi Namira. "Buka mulutmu," ucap Teguh seraya mendekatkan sendok yang berisi nasi dan lauk di depan wajah Namira. "Tidak mau." tolak Namira. "Katanya tadi lapar?" Teguh menatap Namira dengan tatapan curiga. Pria muda itu berpikir Namira hanya mencari alasan saja. "Saya mau makan sendiri, pak. Tolong lepas sebentar. Saya tidak akan lari dari sini." Namira memohon. "Alasan saja kamu. Bilang saja kalau mau melarikan diri dari sini." sindir Teguh. Namira memutar bola matanya malas. "Ya sudah, a..." Namira membuka mulutnya memberi isyarat agar Teguh menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. "Katanya tidak mau?" ucap Teguh seraya menaikkan kedua alisnya. "Saya sangat lapar, pak. Kalau bapak tidak mau, saya bisa mati kelaparan." Teguh menggelengkan kepalanya pelan. Kemudian mulai menyuapkan makanan ke dalam mulut Namira. "A," Namira kembali membuka mulutnya lebar. Kemudian Teguh menyuapinya. "Ekhem - ekhem. Kalian kelihatan cocok, pak Teguh." goda teman Teguh sesama polisi yang baru saja masuk ke ruangan itu setelah selesai makan siang. Yang diketahui bernama Syarif. "Iya bener tuh kata pak Syarif, kalian kelihatan romantis pula pakai acara suap-suapan segala." sambar teman Teguh lagi yang bernama Rifki. Teguh dan Namira terdiam malu karena kedua teman Teguh menggoda mereka. Wajah keduanya kini memerah seperti tomat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD