Bab 6. Eiditic Memori

1114 Words
                                                                        ANGEL Meskipun tersembunyi dibalik awan yang berbentuk menyerupai gerombolan domba, sinar matahari sesekali terasa menyilaukan mata siang ini. Segerombolan remaja seusiaku memenuhi lorong sekolah yang menghubungkan kelas-kelas dengan sebuah kantin. Lorong yang hanya berjarak 50 meter ini terasa sangat panjang. Aku ingin segera menyantap makan siang dan bersantai sejenak. Setelah mengikuti ujian semua mata pelajaran dan tidak ada yang mengulang tentunya aku pantas bermalas-malasan. Ketika memasuki kantin, tanganku ditarik oleh seorang cowok berbadan kurus dan berkacamata. Ia menggunakan kemeja kotak-kotak dan bercelana jeans biru kumal. Sesekali ia membetulkan poni yang menutupi mata. Aku dibawa ke arah meja yang dipenuhi sekumpulan orang setipe dengan cowok yang masih menarik tanganku. Melewati meja segerombolan Thania namun kali ini tanpa kehadiran Thania. Gerombolan Thania seketika diam. Mereka memandangiku. Memperhatikan penampilanku dari ujung ke ujung. Seperti ditelanjangi. Aku melewati mereka begitu saja, tanpa berkata apa-apa. Seperginya aku dari pandangan mereka, mereka kembali berbicara. Sedikit banyak aku menangkap pembicaraan mereka yang membahas soal kutek, pemain baseball, warna cat rambut, lipstik. Aku masih sedikit menguping mereka ketika sampai di meja yang berisi anak-anak berkacamata. Andy Huctnock, cowok yang sedari tadi menarik tanganku.     “Halo  Angel,” serempak mereka menyapaku. Aku mengernyitkan dahi. Memandangi mereka dengan tatapan aneh.     “Jangan bingung Angel, kami hanya ingin menanyaimu tentang pelajaran ini ,” ujar Andy.     “Bagaimana kamu bisa tidak mengulang?” tanya anak yang memakai kemeja bermotif abstrak. Kemejanya sangat rapi dimasukan ke dalam celana jeansnya.     “Untuk pertanyaan ini, apa jawabannya?” mereka serempak mengeluarkan soal.     “Astaga aku lapar, aku belum makan,”ujarku sambil menoleh ke arah antrean makan.     “Tenang si kecil Malvin sudah mengantrekan makan untukmu,” ujar Andy berlagak bos.     “Bagaimana bisa?”     “Kamu kan kesayangan para guru, sedangkan si kecil Malvin yang penurut itu kesayangan ibu kantin,” seru Ben yang sedari tadi fokus melihat kertas soal ujian tahun lalu.     “Lihat dia datang membawa dua nampan, hey kamu bantu dia Jack.” Jack yang bertubuh besar itu tergopoh-gopoh menuju ke arah Malvin .     “Ha...ha...ha, betul kamu Ben, Angel ini kesayangan Mr Quinn, James Quinn”     “Kalian tahu, nama Angel selalu disebut ketika Mr Quinn mengajar”     “Tatapan mata Mr Quinn juga tidak bisa berkedip melihat Angel” Aku cemberut.                                                                                              “Kalian ingin mengejekku saja ya, ya sudah aku cari bangku yang lain”     “Jangan, jangan Angel”     “Makananmu datang”     “Oke ayok kita lanjutkan untuk pertanyaan ini,” ujar Andy sembari menunjuk lembaran soal. Sambil memakan selada salad aku berkata, “Lihat di buku halaman 157 disitu disebutkan” Mereka menatapku tidak percaya, “Kau mengafal sampai halamannya juga”     “Aku tidak menghafal, aku hanya melihatnya, entah bagaimana langsung terekam dalam kepalaku.” Eiditic memori atau juga disebut ingatan fotografis, mereka menyebutnya begitu terhadap kemampuan yang aku miliki. Kemampuan mengingat sesuatu hal berupa gambar, tulisan dengan cepat, tepat dan rinci. Jika ingatan ini sudah terekam di otak maka akan mudah sekali mengambil kembali informasi itu dengan cepat. Kemampuan ini merupakan faktor genetik. Nenek dari garis ibu yang mewariskannya padaku. Nenek memiliki kemampuan itu dan menderita schizoprenia di usia 40 tahun. Tiga tahun kemudian ia meninggal dalam kebingungan.     “Kamu alien, alien yang cantik,” ujar Andy. Mereka serempak berkata “booo...” Sebelum hendak meninggalkan kantin aku dihadang oleh gerombolan Thania. Lima orang gadis berpakaian serupa. Plastik sebutannya. Berlagak bak boneka barbie. Mereka mengelilingiku. Entah apa mau mereka, setelah tadi menatapku seolah menelanjangiku. Apakah mereka mau melakukan hal buruk padaku. Merundungiku? Selama aku bersekolah baik sedari SD sampai saat ini aku tidak mengalami perundungan. Kalaupun ada, aku tak menggubrisnya. Dipastikan hal itu sama sekali tidak mempengaruhi hidupku. Alis mataku mengernyit.  Clara berkata, “Aku tahu kamu bisa split kan Angel?”       “Entah.” Aku curiga, kenapa mereka tiba-tiba bertanya seperti itu. Apakah ini jebakan.     “Jangan berpura-pura, aku ingat melihatmu ketika ujian olahraga sewaktu SMP”     “Memangnya kenapa”     “Yah kamu tahu...untuk melakukan formasi split-lift, kita membutuhkan satu orang lagi”     “Bukannya biasanya Thania... ehm well, kemana dia akhir-akhir ini aku lihat dia tidak bersama kalian lagi,” ujarku pura-pura tidak mengetahui kejadian ribut-ribut mereka di lapangan basket.     “Dia menyebalkan,” Seru Lucy.     “Jadi bagaimana, kamu mau kan bergabung bersama kami, tim cheerleader?” Anehnya kepalaku mengangguk, sebagaian otakku masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Aku bergabung dengan cheerleader. Ha, sudah gila. Membayangkan aku bagian dari para plastik itu. Apa mereka tidak bisa menemukan orang lain yang sesuai. Kenapa aku? Kalau aku bergabung dengan orang-orang nerd seperti Andy, mungkin masih bisa diterima. Entahlah dunia semakin gila.     Lucy bertepuk tangan sembari berseru, “Yeeee.”      “Sudah kubilang kan, ia mau,” ujar Lucy lagi.      “Tim cheerleader kita, bakalan menjadi tim yang paling keren. Kita bisa memenangkan kompetisi antar negara bagian,” ujar Kate. Haley dan Laura memelukku berbarengan. Aku tersenyum sedikit rikuh. Aku membiasakan diri dengan hal-hal seperti ini. Khas cewek-cewek plastik.     “Untuk itu kita harus sering berlatih dengan formasi baru,” sela Clara. Sepertinya Clara yang sekarang pegang komando, menggantikan Thania. Sementara dari lorong arah toilet, seseorang mengamatiku. Dengan tatapan kebencian ingin membunuhku. Ketika aku berjalan menuju toilet, sosok yang mengamatiku penuh kebencian itu sudah berlalu. Aku tidak menggubrisnya dikarenakan desakan alam. Rasa kebelet ini menyiksaku. Rasa itu berubah menjadi jijik tatkala melihat sisa-sisa potongan sandwitch, wortel dan buncis berserakan di bawah dudukan toilet. Ada yang habis makan di sini. Orang yang menyedihkan. Semenyedihkan apa hidup orang yang makan di dalam toilet? Orang itu sanggup makan dengan bau yang menguar dari bilik sebelah. Walau memang toilet sekolahku-terutama toilet wanita, cenderung lebih bersih dibanding toilet umum lainnya. Adanya pengharum ruangan otomatis setiap berapa menit akan menyemprotkan parfum. Kondisi yang selalu kering dan petugas kebersihan dengan singap membersihkan tiap satu jam sekali. Tapi meskipun begitu kenapa tidak di kantin saja? Ketersediaan kursi kantin jelas bukan alasannya. Korban perudungan? Setahuku di SMA Priscot Selatan tempatku saat ini tidak pernah ada kasus perudungan yang serius. Para anak-anak nerd atau yang tidak punya teman selalu punya tempat tersendiri duduk dibangku pojok kantin. Tidak punya temankah? Atau dijauhi oleh gerombolan teman terdekat? Aku tidak ambil pusing. Segera pergi dari toilet dan melanjutkan jadwal bimbingan dengan Miss Delaney. Miss Delaney tersenyum melihat hasil ujianku.     “Kamu sudah lulus semua ujian untuk semester ini pada tengah semester”     “Aku rasa kamu bisa langsung mengikuti kelas semester atas. Bukan hanya pelajaran sejarah, kamu bisa setahun lulus lebih cepat.” Aku mengangguk dan menyetujui idenya.  Ketika akan keluar dari ruangannya iya berdeham dan berkata “Kamu masih berhubungan dengan Sarra?”     “Aku tidak punya nomer telepon barunya, sedangkan nomer teleponnya yang lama sudah tidak aktif.”     “Semoga polisi menemukannya secepatnya. Aku khawatir, dia anak yang baik.”     “Semoga.” Miss Delaney memegang pergelangan tanganku.     “Jangan pernah berpikiran untuk berhenti sekolah, jangan mengikuti Sarra.”     “Siap Miss, tidak akan pernah,” ujarku sambil melihat tangannya menahanku yang perlahan ia lepaskan.      "Berjanjilah, entah bagaimana...aku memiliki firasat.”     “Aku berjanji,” ujarku sambil keluar dari ruangannya. Dari mendengar percakapan di dalam ruang rapat guru, aku semakin yakin bahwa yang berbicara itu Miss Delaney dan Mr. Smith. Miss Delaney yang mendatangi rumah Sarra. Ia sangat perhatian. Tapi tadi kata-katanya yang terakhir sedikit mengganggu pikiranku. Firasat. Sejak kapan ia menjadi ahli nujum. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD