Bab 5. Tebing Redcliff

1016 Words
                                                                        ANGEL Sebagian besar siswa bersorak sorai menyambut liburan musim panas yang akan dimulai besok. Kota Prisscot tempat tinggalku ini menyimpan pesona musim panas. Meski Prisscot termasuk kota kecil namun seringkali dijadikan salah satu tujuan wisata, terutama pada musim panas. Kota kecil yang dikelilingi oleh pantai pasir putih yang memanjang sejauh mata memandang. Selain pantai juga diapit oleh pegunungan dan tebing yang menjulang. Salah satu tebing yang dibuka untuk wisata adalah Redcliff. Seringkali Redcliff dipadati oleh remaja seumuranku. Setahun sekali diadakan kejuaran lompat tebing. Pesertanya bisa siapa saja dan dari dari mana saja. Salah satu event olahraga yang membuat kota Prisscot terkenal. Redcliff ini memiliki tempat ketinggian yang berbeda untuk lompat. Titik tertinggi tebing ini 22,6 meter, selain itu masih ada tebing yang lebih rendah yaitu 19,2 meter dan yang lebih rendah lagi 8,7 meter. Siang yang cerah ini Jeff mengajakku lompat ke laut dari atas tebing Redcliff. Cuaca yang hangat menyambut permulaan musim panas. Aku mengiyakan karena sudah sangat ingin berlama-lama menikmati sinar matahari. Rencana awalku hanya berdiri di atas tebing saja sambil melihat pemandangan yang indah dari ketinggian. Tidak ada niatan untuk melompat. Tidak, sampai Jeff mengajak lompat dengan sedikit memaksaku.     “Tunggu, berapa persen probalititas orang kecelakaan karena loncat dari tebing ini?” tanyaku yang sebenarnya tidak memerlukan jawabannya.     "Ayolah Angel, ingat tekniknya, lupakan takut. Ini sangat menyenangkan,” ujar Jeff setengah memohon.     "Resiko berbahaya selain kematian yang disebabkan oleh meloncat dari tebing ini menjadi cacat, bisa kerusakan otak, kehilangan kaki atau kemampuan menggerakan tubuh. Aku tidak mau,” ujarku panjang lebar. Semoga argumenku bisa diterima olehnya, sehingga aku tidak perlu menuruti permintaanya. Jeff tertawa terkekeh sambil berkata, “ini hanya setinggi 8 meter, tebing ini sangat aman. Kamu lihat di bawah sana. Air di sana cukup dalam jadi tidak perlu takut tertabrak batu di dasarnya. Tidak perlu mahir, orang yang tidak pernah terjun sekalipun bisa lompat di sini”     “8.7 meter Jeff,” ujarku meralat pernyataan Jeff.     “Terserah,” kesalnya.     “Untuk apa aku lompat?” tanyaku untuk mengulur waktu.     “Kamu pernah merasakan stress, rasa takut sekaligus euforia disaat yang bersamaan?” tanya Jeff dengan tangannya mengacak-acak rambut basahnya. Fokusku pada salah satu rambutnya ada yang berwarna merah terang yang terletak di deretan rambut pertama bagian dahinya. Persis di tengah. Dikelilingi rambut cokelat terangnya. Salah satu ciri unik Jeff.     “Dopamine. Tubuh akan mengeluarkan dopamine,” ujarku kembali fokus pada perkataan Jeff sebelumnya.     “Ya hormon itu. Menyenangkan bukan,” ujar Jeff dengan tatapan sedikit merasa lelah untuk meyakinkanku betapa serunya lompat, sebegitu amannya lompat.     “Ayolah, sekali kamu mencobanya, dijamin kamu pasti ingin mengulanginya,” desaknya lagi.     “Seperti morfin,” ujarku membandingkan sensasi dopamine ketika memakai morfin. Mencoba mengulur waktunya untuk mendesakku lagi.     “Ini aman Angel, lompat dengan posisi kaki lebih dulu,” ujarnya sambil mengedikkan tubuhnya yang basah. Setetes air masih turun dari rambutnya. Turun tepat ke tengah mengalir diantara d**a bidang Jeff dan terus menuruni kotak-kotak perut Jeff. Kalau saja aku bisa memilih. Aku lebih ingin berada tak berjarak dengan tubuh itu.  Entah sudah berapakali Jeff melompat.                                                                                                                                                                           Matahari sudah mulai menggelincir. Jam anti air di pergelangan tanganku menunjukkan hampir setengah tujuh. Di prisscot ini mulai terbenamnya matahari jam setengah delapan. satu jam sebelum gelap. Thania terlihat berjalan bak model di belakang Jeff. Mengenakan baju renang dengan tankini. Meskipun ia sangat langsing dan ukuran badannya ideal. Ia memiliki jenis pinggul yang lebar. Baju renang model tankini menyamarkan tampilan pinggul lebarnya. Rambut pirang panjangnya basah. Ia mendengus seolah mencemooh ketidakberanianku. Ia menempelkan jari telunjuk dan jempolnya di dahinya membentuk huruf L. Loser. Bibirnya bergerak tanpa bersuara. Seketika dadaku terasa panas, hatiku tersengat. Tidak bisa dibiarkan. Aku mencopot kaos ketat pink dan celana jeans robek-robekku. Oh iya, semenjak Sarra tidak bersekolah, pilihan bajuku sekarang menyedihkan. Pink dan pink. Pink mendominasi isi lemari yang aku dapatkan dengan mengumpulkan uang saku dan uang hasil kerja paruh waktu di toko dekat rumah. Entah kenapa lama-lama warna ini bagus juga. Tidak menyedihkan. Pink membuatku semakin cantik. Saat ini tubuhku hanya terbalut pakaian renang model two piece. Bikini berwarna kuning terang. Sudut di bibir Jeff mulai terbentuk. Pancaran mata hijaunya berseri. Ia memelukku seraya membisikan, “Lakukan sayang, ini sangat menyenangkan.” Sementara di balik punggung Jeff, ekspresi wajah Thania berubah. salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas. Dengusan kesalnya sedikit terdengar olehku yang aku balas dengan senyum merekahku. Ini saatnya aku melompat. Ingat tekniknya. Kaki lebih dulu. Dan aaah aku berteriak senang. Udara menerpa wajahku. Aku merasa terbang. Bebas. Sampai gaya gravitasi menarikku. Menceburkanku ke laut dalam. Tenang. Tenang Angel. Dan 'yippie' aku berhasil mengapung. Aku berenang ke tepian. Melihat ke atas tebing Jeff bertepuk tangan. Berteriak, “I love you Angel.” Aku hanya ingin melompat sekali lagi.                                                             ***          Masih dengan rambut setengah basah, aku pulang ke rumah. Keadaan rumah sudah gelap. Aku berjalan berjingkat setengah mengendap-endap seperti pencuri. Hening tidak ada suara.Ketika tanganku menyentuh handel pintu kamarku, aku mendengar suara langkah kaki dan bunyi kursi berderak. Belum sempat aku mengelak, Halbert berdiri tepat di belakangku. Ia menggengam tanganku sehingga tidak bisa membuka pintu kamarku. Nafasnya memburu. Bau alkohol menyeruak hidungku.     “Darimana saja kamu,” suara paraunya.     “Kamu anak manis seharusnya tidak pulang selarut ini. Kamu ingin jadi anak nakal. Anak nakal harus dihukum” Ia mendorongku. Menggiringku ke ranjang. Melucutiku. Tanganku mencari-cari benda yang bisa menghentikan ini. Benda apapun itu. Sayangnya tanganku tidak menemukannya. Pisau aku butuh pisau. Sekedar untuk menakut-nakutinya. Menggertaknya dan menghentikannya. Ia menghukumku. Lagi dan lagi. Sudah cukup. Tolong hentikan. Ini pertama kalinya ia berbuat sejauh ini. Tanpa ada penyesalan dan tangisannya. Diakhiri dengan kata-katanya,“anak manis, tetaplah jadi anak manis.” Semenjak malam itu, aku selalu tidur dengan pisau di bawah bantalku.                   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD