Bab 19. Putusan Sidang

917 Words
Suasana dingin, kaku, formal  membosankan sekaligus memberi sedikit sentuhan mencekam terpancar pada ruangan persidangan ini. Didominasi dengan kayu yang menutupi tembok ruangan ini. Kayu berwarna cokelat tua yang dipelitur. Ada tiga pintu masuknya. Pintu pertama merupakan pintu khusus bagi hakim yang terletak di sebelah kanan. Hal itu dikarenakan hakim dilarang bertemu dengan pihak berperkara, sehingga setiap pengadilan memberikan pintu khusus bagi hakim atau panitera sebagai akses masuk ke ruang sidang. Pintu itu menghubungkan langsung ke ruang kerja para hakim di pengadilan.   Pintu kedua mengarah ke pusat ruangan-kursi dan meja hakim. Terletak didekat bangku pengujung.  Pintu ketiga terletak di tengah, sebelah kanan ruangan di hadapannya terdapat sepasang jendela dengan d******i kaca berukuran besar dari atas sampai ke bawah ruangan hanya menyisakan sedikit tembok di atasnya.  Di sebelah jendela itu ruangan para juri. Ada enam belas kursi dengan roda dibawah kaki-kakinya. Kursi itu ditata dua deret, dengan satu deret berisi delapan kursi. Ruangan juri dibatasi kayu dengan tinggi sepegangan kursi. Dihadapannya terdapat ruangan dengan dua meja dan enam kursi ditata dua deret. Deret pertama tim kuasa hukum/pengacara terdakwa, dibelakangnya atau deret kedua tim jaksa penuntut umum. Disebelah kiri deret kedua terdapat meja untuk panitera yang bertugas untuk membuat berita acara persidangan.   Sementara kursi ibu atau terdakwa berada di depan hakim. Mengarah ke pintu utama dengan meja kecil yang berdiri di tengahnya. Biasanya meja itu dipakai tempat bertanya baik itu pengacara atau jaksa penuntut umum. Walau gerak mereka tidak dibatasi. Seperti Nancy seringnya ia berdiri di dekat para juri. Dengan pembawaan yang tenang dan simpatik. Aku memainkan rambutku dengan jariku. Memutar-mutarkan perlahan. Kebiasaan jika aku merasa cemas. Aku berdiri di bangku pengunjung deret pertama.                      Saksi demi saksi menyampaikan pendapat dan kesaksiannya. Para tetangga, teman-teman kerja Halbert semuanya bersaksi betapa baiknya Halbert. Semenjak kejadian pertengkaran Halbert dan kemarahannya di rumah, kami tidak memiliki tetangga sebelah rumah. Mereka kabur meninggalkan banyak hutang pada banyak orang. Tetangga yang bersaksi merupakan tetangga satu blok yang sering bertegur sapa dengan Halbert ketika mereka jogging atau mengadakan acara di rumahnya. Ia jelas tidak pernah mengetahui perangai Halbert di dalam rumah. Tidak mendengarkan umpatan kasarnya pada ibu, suara pukulan, tendangan yang dilayangkan pada ibu dan aku. Serta lirihan dan tangisan kami. Kebetulan yang menyedihkan, bukan? Seperti diatur sedemikian rupa untuk menghukum aku yang mengumpankan ibu. Tidak. Itu kemauan ibu.   Ada fakta yang baru aku tahu ketika sidang, seorang wanita dengan rambut kelabu dengan telapak tangan kurus yang memperlihatkan tulang. Ia berkata, “Tahun 2000-an Halbert menjadi donatur tetap yayasan anak dan remaja yang aku dirikan. Ia salah seorang malaikat yang paling baik yang pernah aku temui. Ia sangat menyayangi anak-anak. Tidak pernah ia berkata kasar apalagi memukul. Ia sering datang berkunjung dan bermain bersama anak-anak itu. Anak-anak senang karena ia selalu datang membawa boneka dan mainan lainnya.”   Sebelum salah satu perwakilan juri berdiri menuju mikrofon untuk mengumumkan hasil perundingan. Hatiku berdentam-dentam. Pilihannya dua. Bersalah. Tidak bersalah. Seorang pria kurus, tinggi dengan rambut abu-abu tipis  membuka bibirnya, ia berkata “bersalah.” Nancy menghela nafas panjang, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ibuku mencoba tersenyum padaku. Walau aku tahu itu berat baginya, juga bagiku. “Masih menunggu putusan hakim mengenai berapa tahun hukuman yang akan diberikan, masih ada langkah yang bisa kita ambil, yaitu banding,” ujar Nancy dengan muka kusutnya.   Aku berlari. Menelusuri lorong-lorong ruang pengadilan. Berlari di sebelah deretan pohon poplar. Berlari menelusuri deretan perumahan. Berlari dan terus berlari. Sampai berhenti di hadapan rumah dominan hijau. “Hallo manis, sweetheart...sudah pulang kamu?” tanya Milly tersenyum sambil mengikir kuku yang dicat dengan warna hijau mint. Aku berlalu begitu saja. Palsu. Aku masukan beberapa baju serampangan dalam tas ransel hitamku. Menjejalkan barang-barangku. Merobek-robek kalender dengan lingkaran merah yang seakan mengejekku. sekali lagi aku melintasinya begitu saja. Tanpa kata. Dari sudut mataku terlihat ia memicingkan matanya. Memperhatikanku lebih seksama. “Hey, mau kemana kamu?” Aku tak peduli. Selanjutnya aku bingung hendak, kemana, harus bagaimana, tinggal dimana. Satu-satunya yang terlintas dalam pikiranku adalah rumah. Rumah yang aku tempati selama  enam belas tahun. Sesampainya di halaman rumahku. Tanaman mawar di sudut taman menyeruak melewati pagar. Batang berdurinya tumpang tidih tidak beraturan. Tidak ada kuntum bunga. Semuanya berguguran ke tanah. Kakiku bergetar hebat. Aku tidak kuasa untuk dapat melangkah lebih dekat. Alih-alih masuk ke dalam, aku malah berlari. Ketika melewati gerbang sekolah, aku teringat. ada barang penting di lokerku. Buku harian dan beberapa barang yang aku simpan di dalam kotak kecil yang aku terkunci. Kuncinya tergantung di ranselku.     Jam di tanganku menunjukan pukul 16.00, sudah tidak ada aktivitas belajar mengajar. Setelah mengambil benda di dalam lokerku. Selanjutnya aku merasa ingin berlama-lama di tempat ini. Di prisscot senior high school. Masih tercium sisa aroma kentang rebus dan keju, bacon dan sosis serta mayones dan saus pedas. Kruuuk perutku berbunyi. Aku lupa sedari pagi belum makan. Aku mengacuhkan rasa laparku.   Di lapangan basket aku tidak melihat gerombolan Thania. Tidak ambil pusing mereka menang atau kalah kejuaraan cheerleader. Bukannya belok ke kiri aku malah berjalan lurus. Memasuki lapangan basket. Menikmati kenangan demi kenangan. Jeff. Wangi parfumnya. Mata hijau. Senyum berlesung pipinya. Sikap mau mengalah dan pengertiannya. Biarlah Jeff menjadi kenangan terindah. Walau aku terlihat mencampakkannya namun jauh di lubuk hati nama Jeff masih terukir. Terpatri.  Kakiku melangkah mengikuti kata hati. Menuju sebuah ruangan. Ruang rahasia. Melewati papan tenis meja, aku mendengar suara-suara. Lirihan. Desahan. Adakah seseorang di dalam sana? Sedang apa. Siapa? Hatiku tergelitik. Membuat penasaran saja. Namun saat ini hening. Tidak ada suara. Jangan-jangan hanya halusinasiku saja. Aku membuka pintu ruangan itu menimbulkan bunyi berderit yang kencang.  "Hey, siapa itu jangan masuk" "Sial," umpat seseorang dibalik sana. Terbelalak dengan apa yang ada dibaliknya...                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD