14. Serangan Kejutan

1500 Words
Bukan hanya penampilan hidangan penutup yang berlebihan, tapi tindakan Liam juga berlebihan, sekalipun dia memang bermaksud meminta maaf setulusnya padaku. Tak seharusnya dia melayaniku layaknya pramusaji restoran. Pemandangan selanjutnya begitu memukau, coklat panas itu melelehkan kubah coklat yang kokoh, sehingga tersibaklah tirai coklat, menampakkan hidangan penutup yang menggoda selera ... eh .... Tunggu! Mataku mengerjap untuk memastikan apa yang sedang kulihat. Sekali lagi, aku mengamati benda yang terletak di atas piring, di antara genangan coklat. Namun, memang tak ada yang salah dengan penglihatanku. Aku merasakan mataku melebar disertai kerutan hebat di kening, menatap Liam dengan tak percaya. Itu bukan pudding! Itu cincin berlian! "Will you marry me?" Mataku masih terpaku, memandang Liam yang kini duduk berlutut di hadapan, memegang cincin berlian di tangan kanannya serta menengadahkan tangan kirinya, menunggu aku mengulurkan tangan kiri. Senyuman lembut terpampang di wajahnya, begitu tulus dan mempesona. Namun, entah mengapa tanganku tidak segera terulur. Tiba-tiba saja, dari arah dapur restoran, terdengar suara tepuk tangan dan seruan. Membuatku semakin tidak fokus. "Say, yes!" "Say, yes!" "Say, yes!" Saat suara-suara itu mendekat, mulai tampaklah wajah riang mereka satu persatu. Papa, mama, Ardi, Rania, Kiki, Tante Larasati, Riska, beberapa orang bule yang tak kukenal, dan Erika? Wartawan yang tempo hari mewawancarai R&S? Untuk apa dia di sini? Oh, tidak! Paru-paruku terasa sempit tatkala melihat Tante Ratih di antara kerumunan itu. Di sebelahnya, berdirilah menjulang sosok Rama yang memandang dengan tatapan kosong. "Say, yes!" "Say, yes!" "Say, yes!" Aku kembali menoleh ke arah Liam yang masih memandang dengan senyuman penuh percaya diri. Baru beberapa menit yang lalu aku hampir percaya kalau dia adalah orang yang baik dan akan melakukan pendekatan dengan cara yang benar. Bodoh sekali. He said, he would woo me properly, my ass! "If you want to use me, you have to use me the rest of your life," bisiknya sangat pelan, namun cukup bagiku untuk mendengar. Ya Tuhan ... darimana dia tahu semua ini? Jadi, dia tahu rencanaku bahwa aku akan memanfaatkannya sementara waktu dan sengaja melakukan ini di depan Rama agar aku tak bisa menolak lamarannya. Oke, aku akui aku kalah. Aku tak punya pilihan lain. Kuulurkan tangan kiri kepadanya, dan dengan gestur gentleman, dia memasangkan cincin itu di jari manisku. Tepuk tangan riuh dan sorak sorai membahana di seluruh sudut restoran. Liam tersenyum penuh kemenangan ke arah para tamu. Sementara mataku memanas, air mata sudah menggenang di pelupuk mata. Dengan sembunyi-sembunyi, sudut mataku mencari Rama yang kini tengah berdiri bersandar di dinding, memasukkan tangan ke saku celananya dan pandangan berpaling dari kami. Saat ini, aku benar-benar ingin berlari ke arahnya, bersembunyi, mencari perlindungan dari konspirasi orang-orang di sekitarku. Kugigit bibir untuk menahan tangis, agar logikaku tidak tunduk pada perasaan yang sedang kacau balau. Papa dan mama mendekat ke arahku, mengapit aku dan Liam agar berada di tengah. Papa menenangkan para tamu, meminta izin untuk menyampaikan sesuatu. Sepertinya, serangan mendadak dari mereka tak akan berhenti sampai di sini. "Saya ingin menyampaikan, bahwa pekan depan putri saya, Sinta Putri Bramantyo dan William Aaron Smith akan melangsungkan pernikahan ...." Entah karena gempa bumi atau apa, aku merasa daratan yang kuinjak bergoyang hebat. Tanganku mencengkeram lengan papa agar tidak jatuh limbung. Kudengar orang-orang di sekitarku bertepuk tangan dan mengucapkan selamat kepada kami. Liam, mama, dan papa menanggapi obrolan para tamu dengan antusias. Sementara aku, masih bingung dengan semua yang terjadi dengan begitu tiba-tiba. Berbagai makanan dan minuman mulai dihidangkan oleh para pramusaji. Sementara semua orang sibuk bercakap-cakap dan menikmati hidangan, aku lagi-lagi mencari keberadaan Rama. Kali ini, dia mengobrol bersama Rania, Ardi, dan Riska. Segalanya terlihat familiar, kecuali Riska yang begitu dekat dengan Rama, nyaris menempelkan semua asetnya, memeluk lengan Rama yang kekar. Andai saja yang saat ini berdiri di tempatku adalah orang lain, pasti bukan Riska yang kini bergelayut manja di lengan Rama, melainkan aku. Kalau kau ingin tahu apa yang aku rasakan saat ini, aku ingin sekali menjambak rambut Riska kemudian menyeret dan mengurungnya di toilet semalam suntuk. Ya, persahabatanku dan Rama begitu dekat, sampai aku tidak ingin ada 'femme fatale' menyentuh Rama dengan tangan kotornya. Aku yakin saat ini, Rama merasakan hal yang sama denganku. Dilihat dari sudut pandang manapun, Liam bukanlah orang yang tampak polos. Dia terlihat sudah sangat berpengalaman dengan wanita yang mungkin saja dengan senang hati melemparkan raga kepadanya. Penampilan Liam memang menampakkan hal apa pun di dunia ini selain kata polos. "Baby, bagaimana kalau kita menyapa teman-teman kamu?" tanya Liam lembut membuyarkan lamunanku. Dia pasti menyadari apa yang aku perhatikan sejak tadi. Aku hendak menolak, tapi tak kuasa melawan tenaganya yang begitu kuat kala menarik badanku untuk berjalan di meja tempat Rama dan yang lain berada. Liam dengan sopan berjabat tangan dan menyapa mereka. Mereka pun dengan antusias mengucapkan selamat untuk kami, kecuali Rama tentunya. Selanjutnya, mereka mengobrol tentang di mana tempat yang menyenangkan untuk dijadikan lokasi pesta pernikahan kami nanti. "Bagaimana kalau restoran Pantai Lor?" usul Riska menyebutkan restoran di tepi pantai yang aku dan Rama kunjungi beberapa waktu lalu. "Nggak!" ("Tidak!") seruku dan Rama bersamaan, membuat semua mata memandang penuh tanya ke arah kami. "Kenapa? Bukannya tempat itu bagus dan romantis?" tanya Riska. "Aku nggak suka di sana. Banyak angin. Takut orang tua nggak kuat," jawabku bohong. Rupanya, warisan bakat akting mama muncul sebagai penyelamat di keadaan genting seperti ini. Mana mungkin kenangan indah di tempat romantis bersejarah itu akan kunodai dengan kenangan pernikahan paksa dengan Liam? "Oh, ya. Wedding gownnya bagaimana? Semua busana kamu rancangan Rama, 'kan?" tanya Riska, menimbulkan persoalan baru lagi. "Apakah kali ini Rama juga akan membuat wedding gown buat kamu?" "Kedengaran bagus sekali. Ya, 'kan, Sayang?" komentar Liam antusias. Aku dan Rama terdiam. Tak satu pun dari kami menjawab atau pun berkomentar. "Mungkin karena waktunya terlalu singkat, itu tidak mungkin," kata Rania menyelamatkan kami dari keheningan. Mata Rania mungkin tidak bisa melihat kondisiku dan Rama. Tapi, bagaimanapun juga, aku merasa dia ikut merasakan ketegangan di antara kami. Terbukti, dia dan suaminya tidak terlalu bersuka cita saat ini. "Sepertinya Rama juga sedang sibuk akan hal lain." Ardi menguatkan pernyataan Rania. Membuatku merasa sedikit tertolong. Walaupun ketegangan di wajah Rama makin bertambah. "Permisi, bisakah saya mengambil gambar kalian untuk tabloid?" tanya Erika, si wartawati majalah mode yang seperti membuntuti aku ke mana saja aku pergi. Ternyata saat ini dia sedang bertugas. Apakah papa yang mengundangnya? "Sure," jawab Liam. Wartawati itu mulai mengangkat kameranya dan mengarahkan gaya. Dia tidak segera mengambil gambar karena pose kami yang canggung. "Lovebirds, that's not fun! You should kiss her hard!" teriak salah satu dari lelaki bule yang aku tidak kenal, mengomentari gaya foto kami sambil tertawa terbahak-bahak. "Yeah, kiss!" "Kiss!" Teriak yang lain mengikuti, bersorak-sorai. Papa dan mama pun mengkhianatiku dengan meminta Liam mencium juga. Oh, tidak ... mereka sudah lebih awal melakukan pengkhianatan ini. Entahlah, aku sungguh tak ingin bermesraan dengan siapa pun di depan Rama. Tiba-tiba terdengar bunyi gelas pecah diikuti ambruknya seseorang ke lantai, Tante Ratih! Tanpa kusadari, aku berlari ke arah Tante Ratih dan menjadi orang pertama yang datang untuk menolongnya. Entah mengapa badanku bergerak secara otomatis. Bukankah aku membenci wanita bermuka dua ini? Wanita yang menyudutkanku hingga aku mengambil keputusan mengenaskan ini? "Tante! Tante nggak apa-apa?" tanyaku panik sambil mengangkat tubuh bagian atasnya. Mata Tante Ratih terbuka, mengedipkan mata kanannya kepadaku, kemudian tertutup lagi. Diam-diam beliau menyelipkan sesuatu di genggaman tanganku. Saat itulah, aku tahu bahwa diriku tak berjuang sendiri di sini. Aku harus memanfaatkannya dengan baik untuk keluar dari situasi canggung ini. "Ambulans! Tante harus dibawa ke rumah sakit!" teriakku keras sambil memandangi orang-orang. "Biar aku saja yang membawa Bunda ke rumah sakit. Kalian teruskan saja acaranya," kata Rama kemudian. Dengan badan kekarnya, Rama membopong tubuh bundanya keluar restoran, seolah-olah tidak terasa berat sedikit pun. Riska yang ditinggalkan, memandang pemandangan itu dengan muka melongo. Dasar receh! Dia pasti terkagum-kagum dengan betapa kuatnya fisik Rama, dan ingin menggantikan posisi Tante Ratih. Aku memang tidak berhasil ikut keluar restoran dan memanfaatkan sandiwara yang dibuat oleh Tante Ratih. Namun, ketidakhadiran Rama di sini, setidaknya akan mengurangi ketegangan suasana. Lagi pula, muka mama sudah pucat pasi seakan mau menangis karena sahabatnya sakit. Tak lama lagi, pasti acara ini akan segera berakhir. "Pa, kita pulang, yuk! Kasihan mama, takut ambruk juga," saranku yang langsung disetujui papa. Untuk papa, mama adalah prioritas utama di atas segalanya. Bahkan aku pun tidak akan mengalahkan posisi mama di hati papa. Menjadi anak mereka selama dua puluh satu tahun membuatku sangat mengerti hal ini. Acara pun selesai dan semua pulang, kecuali Liam dan teman-teman bulenya. Mereka sepertinya ingin semalaman berpesta. *** Dalam perjalanan pulang, aku membuka tangan kiri yang sedari tadi menggenggam sesuatu. Kulihat gelang emas yang kuberikan pada Mas Tono kemarin dan sepucuk kertas bertuliskan tangan latin khas Tante Ratih. 'Maaf and terima kasih, Sinta! Sayang tante selalu buat kamu.' Air mata yang dari tadi menggenang serta merta menetes perlahan. Tak mungkin aku bisa membenci beliau. *** Note: Hi, Pembaca! Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. Jangan lupa tap love, komentar, dan tunggu terus kelanjutannya, ya! Semoga kalian suka dan baca terus kelanjutannya. Terima kasih! Inget, tap love biar nggak hilang. Love you all!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD