13. Akhir yang Diharapkan

1244 Words
Jam dinding menunjukkan tepat pukul dua belas siang. Sudah hampir tiga jam diriku terpaku, tak bergerak sedikit pun, di break room semenjak kepergian Rama tadi. Air mataku telah mengering, menyisakan rasa kaku di kedua pipi. Kurasakan mata yang masih panas dan bengkak, kutebak, pasti warnanya sangat merah. Kujilat bibir yang terasa pecah-pecah. Entah seberapa buruk rupaku saat ini sampai-sampai tak ingin bercermin. Namun, aku juga tidak punya keinginan untuk membasahi muka dengan air agar lebih segar. Apakah ini bentuk penyesalan atau hukuman untuk diri sendiri karena telah menyakiti perasaan Rama? Entah. Bila akan membuat merasa lebih baik, aku ingin mematung saja sepanjang sisa hidup. Rama tidak pernah semarah ini padaku. Apa pun yang aku lakukan padanya, dia tidak akan pernah semurka ini. Apa yang telah membuatnya begitu marah? Pernikahanku? Kepergianku ke Chicago? Tidak. Pastilah dia marah karena aku memutuskan semua secara sepihak. Yang tidak diketahui Rama saat ini adalah betapa sepihaknya keputusanku, sampai-sampai Liam dan papa saja belum tahu kalau aku menyetujui rencana pernikahan ini. Huuhhh ... kuhembuskan napas panjang sambil meletakkan kepala ke meja. Apakah gerangan yang akan aku lakukan tentang perjodohan dengan Liam? Rasanya, penampilan Liam yang nilainya sepuluh dari sepuluh sekalipun tidak bisa meyakinkanku untuk menikahinya saat ini. Sejujurnya, aku masih belum ingin menikah. Apalagi kondisiku masih labil seperti ini. Aku tak ingin menjadikan suamiku sebagai pelampiasan karena kehilangan Rama. Nanti sajalah aku menikah. Saat sudah dewasa dan lebih bijak menyikapi kehidupan. Kemudian, aku menelepon papa, meminta tolong pada beliau untuk menghubungi Liam malam ini. Aku hendak meminta maaf kepada Liam dan berpura-pura untuk menyetujui perjodohan ini sampai Rama memutuskan untuk pergi ke Paris. Setelahnya, aku akan memutuskan perjodohan ini dengan berbagai cara, meskipun aku harus kabur dari rumah. Kedengaran terlalu jahat dan antagonis, bukan? Anggap saja seperti membalas persekongkolan orangtuaku dengan Liam. Impas. *** Sore hari, telepon berbunyi, menghentikan aktivitasku yang sedang membersihkan pecahan mug yang tadi dilempar Rama ke dinding. "Selamat sore, dengan Butik Rama and Sinta, ada yang bisa dibantu?" jawabku dengan bosan sambil merapikan kertas-kertas sketsa di meja Rama yang berantakan. "Sin, Rama ada di sana enggak? Tante telepon ke ponselnya dari tadi enggak diangkat," tanya suara di seberang yang ternyata adalah Tante Ratih. Aku menelan ludah, masih ingat kata-kata Tante semalam tentang diriku. Sungguh pandai manusia bersandiwara. Sekarang nada bicara beliau sudah penuh kasih sayang seperti biasa. "Rama nggak di sini, Tan," jawabku pelan. "Nanti Sinta kabarin ya, Tan. Kalau Rama balik ke sini." Kudengar suara ringtone pendek, mungkin ada pesan masuk di ponsel Tante Ratih karena beliau terdiam. "Oh, ini dia balas pesan Tante. Katanya lagi ngurus visa untuk keberangkatan ke Perancis." Jantungku seolah berhenti berdetak mendengarnya. Jadi, Rama sudah membuat keputusan. Secepat itukah? Aku kira, dia akan berusaha meyakinkanku dulu agar tidak menikah. Huuhh, sungguh aku ini benar-benar egois dan plin-plan. Seharusnya aku senang bukan, karena Rama sudah membuat keputusan sesuai harapan semua orang? "Makasih ya, Sin. Kamu pasti sudah membantu meyakinkan Rama agar ... ... ..." Aku menaruh gagang telepon di meja, membiarkan suara ceria ular berkepala dua itu mengoceh, menyalurkan kebahagiaannya dengan makhluk lain yang tinggal di ruangan ini. Terserah, siapa pun itu, yang penting bukan aku. Aku tak peduli. Aku tak mau tahu. *** Aku mempercepat langkah dari lobi hotel menuju restoran tempatku bertemu dengan Liam. Aku tak ingin terlambat karena kali ini karena harus memberi kesan baik. Namun, Stiletto yang kupakai menghalangiku untuk berlari. Apalagi gaun krem ketat yang kukenakan menambah sempit ruang gerak. Sepertinya, aku akan tetap terlambat beberapa menit. Sesampai di restoran, seperti yang kuduga sudah ada Liam yang duduk menunggu di salah sudut restoran yang viewnya bagus. Aku agak sedikit kecewa karena papa tidak memesan private room. Padahal kami akan membicarakan hal yang penting. Tapi setelah kuperhatikan sekitar, sepertinya tidak ada masalah karena suasana sangat sepi. Seperti kemarin, malam ini pun dia menyambutku dengan senyuman lady killernya. Dengan gaya gentleman, dia menarik kursi dan mempersilakanku untuk duduk. Entah kenapa dia bisa melakukan hal seperti ini mengingat aku telah menyakitinya dengan perkataan yang kasar. Ditambah lagi, aku memang sengaja membayar semua pesanan untuk melukai harga dirinya. Kukira, setidaknya dia akan 'sedikit jengkel', kalau tidak 'sangat jengkel'. "Liam aku ...." "Sssttt, kita makan dulu. Aku yakin, kemarin kamu tidak sempat makan karena kamu pergi dalam keadaan sangat marah," katanya sambil menghujaniku dengan pandangannya yang penuh kekaguman, seperti saat pertama kali bertemu. Membuatku merasa sangat cantik, bahkan paling cantik di dunia. "Sorry, aku tidak bermaksud berbohong padamu tentang alasan perjodohan ini. Hanya saja, seseorang mengatakan padaku kalau pernikahan paksa dengan billionaire sangat populer di kalangan wanita Indonesia, bagaikan fairy tale. Dia pikir kamu akan menyukainya," katanya menjelaskan panjang lebar sambil terlihat malu-malu. Mau tak mau, aku pun tertawa geli. Aku berani bertaruh, siapa pun yang menasihatinya, pasti adalah penggemar atau penulis novel roman di platform novel online kekinian. Jangan-jangan, penasihatnya adalah mama sendiri. Karena akhir-akhir ini kulihat beliau sering nangis-nangis atau senyum-senyum sendiri di depan layar ponselnya. "Aku juga minta maaf, sudah berkata tidak sopan mengenai teman kamu–Rama." Akhirnya dia tahu juga di mana letak kesalahan terbesarnya. "Sorry, I will never do that again to you and your bestfriend. I promise, I will pay him some respects, as your bestfriend." Wajahnya benar-benar terlihat sangat menyesal. Membuatku merasa bersalah karena ingin memanfaatkannya untuk alasan egois. Seandainya saja, keadaannya berbeda, bisa jadi aku akan benar-benar jatuh cinta padanya. Aku menunduk, memainkan buku-buku jari yang berkeringat dingin. "From now on, I will woo you properly ...," godanya dengan senyuman menawan yang membuat hati semua wanita meleleh. Hatiku pun dibuatnya berdesir. Dengan cara apa nanti dia akan membujuk dan merayuku? Bibirku menyunggingkan sedikit senyuman. Dengan kondisi seperti ini, aku mungkin akan benar-benar bisa jatuh cinta padanya. Apa kehidupanku nanti akan berujung seperti cerita para putri negeri dongeng? Sekelebat bayangan wajah Rama yang sedang marah tiba-tiba merusak imajinasiku. Tenggorokanku tercekat. Apa yang sedang kulakukan? Aku harus fokus kepada rencana awal. Bukan membayangkan hal-hal yang tidak ada dalam program. Pembicaraan kami dijeda dengan datangnya pramusaji membawa makanan pembuka berupa bruschetta dengan topping sayuran, tuna, dan fresh mozzarella. Kemudian dilanjutkan dengan hidangan utama, spaghetti meat ball. Karena rasa makanan yang sangat enak, pembicaraan kami selanjutnya hanya membahas berbagai makanan favorit kami. Untuk hidangan penutup, sepertinya restoran ini memiliki selera yang cukup baik. Mereka menghidangkan custard pudding yang ditutup rapat dengan kubah cokelat gelap yang diberi sepuhan bubuk emas dan perak. Sangat cantik dan mewah. Terlalu berlebihan menurutku, untuk sekadar menghidangkan custard pudding. Sebagai pelengkap, mereka menyediakan secawan cokelat panas. Sang pramusaji, hendak menuangkan coklat panasnya ke atas kubah cokelat itu untukku. Namun, Liam bergegas mencegahnya. Dia berdiri dan meminta cawan cokelat panas dari tangan pramusaji. "Biar saya saja," katanya dengan sopan ke pramusaji tersebut. Bukan hanya penampilan hidangan penutup yang berlebihan, tapi tindakan Liam juga berlebihan, sekalipun dia memang bermaksud meminta maaf setulusnya padaku. Tak seharusnya dia melayaniku layaknya pramusaji restoran. Pemandangan selanjutnya begitu memukau, coklat panas itu melelehkan kubah coklat yang kokoh, sehingga tersibaklah tirai coklat, menampakkan hidangan penutup yang menggoda selera ... eh .... Tunggu! Mataku mengerjap untuk memastikan apa yang sedang kulihat. Sekali lagi, aku mengamati benda yang terletak di atas piring, di antara genangan coklat. Namun, memang tak ada yang salah dengan penglihatanku. Aku merasakan mataku melebar disertai kerutan hebat di kening, menatap Liam dengan tak percaya. Itu bukan pudding! Itu cincin berlian! *** Note: Hi, Pembaca! Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. Jangan lupa tap love, komentar, dan tunggu terus kelanjutannya, ya! Semoga kalian suka dan baca terus kelanjutannya. Terima kasih! Inget, tap love biar nggak hilang. Love you all!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD