12. Keputusan

1147 Words
Mama dan papa heran dengan kelakuanku pagi ini. Mereka bahkan menduga ada sesuatu yang terjadi saat makan malam dengan Liam. Kecurigaan yang tak salah walaupun hal itu bukan penyebab utamanya. Mereka pasti tidak mengira yang membuatku begini justru sahabat kesayangan mama–Tante Ratih. Suara telepon membuyarkan lamunanku pagi itu. Biasanya, kalau ada Kiki, dialah yang selalu bertugas melakukan hal menyebalkan ini. "Butik Rama and Sinta ... ada yang bisa dibantu?" Aku mengangkat telepon markas dengan semangat tinggal tiga puluh persen. Kejadian kemarin dan perut yang tak terisi semalaman membuatku tidak bisa tidur dengan baik. Ditambah lagi Kiki yang izin tidak masuk hari ini, membuatku ingin menutup markas sebelum jam dua belas siang agar bisa pulang cepat dan mengunci diri dalam kamar. 'Mengapa ada telepon jam segini, sih? Apakah pelanggan baru yang tidak tahu jam kerja kami?' gerutuku dalam hati. "Puis-je parler à Monsieur Rama Wijaya?" Rupanya telepon dari orang berbahasa Perancis untuk Rama. Ini masih jam 8:30. Biasanya Rama akan datang jam 9:45. Aku tidak bisa menjawab dalam bahasa Perancis, sehingga aku jawab saja dalam Bahasa Inggris. Semoga si penelepon mengerti. "Mr. Wijaya will be available after 9 a.m. ... oh ... please wait! He is here already," jawabku meralat saat kulihat Rama membuka pintu. Aku pun menutup lubang suara telepon dengan tangan kiriku dan mengatakan ke Rama bahwa ada telepon dari orang Perancis. Saat kuserahkan gagang telepon ke Rama, dia mengamati wajahku yang pasti sedikit berbeda karena menangis semalaman. Kutundukkan wajah, berpura-pura sibuk dengan dokumen-dokumen transaksi jual beli pekan lalu. Dia pun akhirnya mengalihkan perhatian sepenuhnya ke telepon tersebut, dan aku menggunakan kesempatan ini untuk kabur ke break room, berpura-pura menikmati kopi dan camilan. "Tadi malam kamu nggak jadi ke rumah." Suara Rama tiba-tiba muncul di belakang, mengagetkanku yang sedang menikmati kopi panas dan sekeping biskuit. "Kenapa?" Aku menelan ludah. Memikirkan alasan. Bodohnya diriku tidak mengirimkan pesan apa pun dan membiarkannya menunggu. Kubuka ponsel yang ternyata berisi banyak pesan dari Rama, menanyakan mengapa aku tidak muncul sampai malam. Dia pasti sangat khawatir. "Maaf, aku lupa kirim kabar. Kencannya berjalan lancar, dan aku menikmatinya," kataku berbohong, memaksakan diri untuk tersenyum kepadanya yang kini telah duduk di sampingku. Rama menatapku penuh selidik sambil menyeruput kopi dari cangkirku dan mengambil kepingan biskuit milikku. "Kencan yang luar biasa. Jadinya, aku pulang larut malam." Aku menambahkan kebohongan agar semakin dramatis. "Kamu nangis semalaman," katanya mengetahui kebohonganku, "mata kamu lebih jujur dari semua kalimatmu." Aku tak menjawab. Suasana saat ini sungguh teramat canggung untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Diam adalah jawaban terbaik. Setidaknya, dia tidak tahu pasti apa yang sedang aku pikirkan. "Tadi telepon apa?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Berharap dia akan menyerah dan bersedia mengganti topik pembicaraan. "Dari Adele Moreau," katanya menyebut nama seorang desainer Perancis yang terkenal, teman Tante Ratih. "Menanyakan kesanggupanku untuk bekerjasama dengannya untuk koleksi musim semi tahun depan." Ketegangan dan kecanggungan yang dari tadi meliputi suasana break room menjadi semakin intens. "Apakah ini yang pertama kalinya dia menawarimu?" tanyaku tanpa melihat Rama, berusaha menahan air mata agar tidak menetes sedikit pun. Kurasakan tatapan Rama yang tajam melalui sudut mata. Kemudian dia menghembuskan nafas panjang dan mengusap mukanya, sebelum akhirnya menjawab, "Tidak. Ini yang ketiga kalinya. Tentu bunda yang membuatnya menawariku kembali walaupun sudah dua kali kutolak." Iya, dia benar akan hal itu. Aku berani bertaruh bahwa Tante Ratih pulalah yang meminta Moreau menelepon markas, agar aku tahu apa yang sedang terjadi pada Rama. "Dan yang sekarang?" tanyaku menyelidik. Entah kenapa, walaupun aku telah menyiapkan mental untuk melepasnya, tapi jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku masih ingin Rama memilihku di atas karirnya. Sungguh egois bukan? "Aku menolak," jawab Rama singkat, sambil menatapku lekat, sementara aku masih belum berani menatap matanya. Tahukah kamu bahwa saat ini hatiku bersorak, mengkhianati logika. Tubuhku nyaris bergerak sendiri hendak memeluknya. Aku bahkan merasa sudut bibirku terangkat karena tak bisa menahan senyum. Kukepalkan tangan keras-keras sampai sakit, agar logika memegang kendali atas tubuhku. "Kenapa?" tanyaku, berusaha menahan kebahagiaan. "Seharusnya kamu terima. Itu bagus untuk karir kamu." "Sinta," katanya lembut tapi tajam, kode keras untuk membuatku berhenti meracau. "Dengerin! Aku enggak akan kemana-mana. Enggak akan!" "...." "Aku ada meeting dengan Kak Doni siang ini. Dia nawarin invest di R&S untuk membuat outlet daily outfit," jelasnya padaku tentang tawaran kerjasama dari kakaknya. Kemudian dia memegang tanganku dan memelukku. Erat ... sambil membelai rambut dan punggungku. "Kamulah alasanku menjadi desainer, kamulah inspirasiku, aku nggak akan pergi dari kamu. Akan kutunjukkan ke Bunda dan siapa pun itu, kalau aku bisa berprestasi dengan baik di Indonesia," bisiknya mengalirkan gelombang panas yang akhirnya membuat leleh air mataku. Aku menangis sesenggukan, entah karena sedih atau senang. Namun, aku telah semalaman membulatkan tekad untuk mendukung keinginan Tante Ratih. Kusadarkan diriku bahwa Tante Ratih lebih objektif dalam menilai apa yang kami perbuat saat ini. Kami adalah anak-anak labil yang menggunakan alasan kekanak-kanakan untuk berkarir, yang akan merusak masa depan kami berdua. "Aku ...," kutelan ludah untuk membasahi tenggorokanku yang tercekat, "... akan pergi ke Chicago bulan depan." Pernyataan bohongku yang mengejutkan ini membuat Rama melepaskan pelukannya dariku. Dicengkeramnya bahuku dan dilontarkannya pandangan tajam ke mataku untuk membuktikan apakah aku bicara benar. Kutantang dia dengan tatapan yang tak kalah tajamnya untuk menutupi kebohongan ini. "Ternyata orang yang dijodohkan denganku adalah Liam, yang kita temui di pesta pernikahan Ardi dan Rania," tambahku, "kamu tentu tahu, 'kan, kalau aku suka ke dia. Kami akan segera menikah dan pindah ke Chicago." Air mata yang mengalir deras di mataku, mengaburkan pandangan. Kuamati wajah Rama walau tidak begitu jelas, seperti agak merah. Apakah ia sedang menangis juga? Ataukah hanya imajinasiku saja? "Kamu tentu lebih tahu dari siapa pun di dunia ini bahwa aku hanya main-main saja dengan butik R&S. Sudah saatnya aku kembali ke jalan takdir," lanjutku dengan suara bergetar, "Aku adalah pemalas yang enggak punya bakat apa pun selain penampilan fisik. Takdir orang sepertiku adalah menikah dengan orang kaya dan hidup parasit selamanya tanpa harus repot-repot bekerja." Maafkan aku, Rama ... maaf. Jika aku harus mengulang waktu, aku akan memilih untuk tidak pernah mengenalmu, agar kamu tidak merasakan betapa sakitnya perlakuanku padamu hari ini. Yang bisa kulakukan saat ini adalah membuatmu membenciku, agar kita bisa kembali ke masa-masa sebelum kita saling mengenal. Agar kamu bisa menjalani takdirmu tanpa aku. Agar kamu mengerti bahwa kehadiranku hanyalah penghalang kesuksesanmu. Perlahan Rama melepaskan cengkeramannya dari bahuku, menurunkan tangannya yang lemas, memalingkan wajahnya dariku. Dia berjalan gontai keluar break room menuju ruang kerja. Kudengar suara ribut dari sana. Bunyi gedebuk dari tumpukan kertas dan buku berat yang terbanting di lantai. Disusul suara nyaring dari beling yang menghantam dinding, disertai teriakan-teriakan serak frustrasi Rama. Tak lama kemudian, aku mendengar pintu depan markas dibanting sangat keras, menandakan bahwa dia telah pergi. Pergi dengan sangat marah! *** Note: Hi, Pembaca! Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. Jangan lupa tap love, komentar, dan tunggu terus kelanjutannya, ya! Semoga kalian suka dan baca terus kelanjutannya. Terima kasih! Inget, tap love biar nggak hilang. Love you all!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD